Jumat, 23 November 2012

"Korupsi dan Hak Asasi Manusia"




Bicara korupsi di Indonesia tak habis-habisnya, mulai kelas teri hingga kelas kakap, mulai ketua RT hingga presiden, dari pusat hingga daerah. Seolah korupsi adalah budaya nasional yang wajib dilestarikan oleh dan antar generasi.

Korupsi di era Orde Lama

Korupsi bukan saja baru dikenal, diwacanakan sekarang, tapi sejak Orde Lama. Tahun 1951-1956 korupsi sudah diwacanakan media lokal seperti Indonesi Raya pimpinan Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Tahun 1961 Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar dijebloskan ke penjara selain medianya dibredel.

Kolonel Soeharto, panglima Diponegoro pada era itu sudah terlibat dalam korupsi. Kasus Korupsi gula, diperiksa oleh Mayjen Suprapto, S. parman, M.T. Haryono, dan Sutoyo dari Markas Besar Angkatan Darat. Hasilnya, jabatan panglima Diponegoro diganti oleh Letkol Pranoto, kepala Stafnya. Sedang Kolonel Soeharto dihentikan oleh Mayjen Gatot Subroto, yang kemudian mengirim Soeharto ke Seskoad di Bandung. Kasus ini membuat D.I. Panjaitan menolak pencalonan Soeharto menjadi Ketua Senat Seskoad.

Media Pimpinan Muchtar Lubis dan Rosihan Anwar dibredel, berawal dari pemberitaan kasus korupsi Ruslan Abdulgani (Menteri Luar Negeri) tahun 1956. Intervensi politik Perdana Menteri Ali Sostroamidjodjo, akhirnya Ruslan Abdulgani gagal ditangkap polisi militer. Sebelumnya, Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara Pemilu. Dalam kasus itu, mantan Menteri Penerangan Kabinet Burhanuddin Harahap dan direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap. Jendral Nasution sempat memimpin tim pemberantasan Korupsi pada era itu, tapi juga gagal. Hal itu (korupsi) kemudian membawah hingga ke era Orde Baru pimpinan mantan Koruptor Jendral Soeharto, berbudaya hingga kini dibawah rezim Korup Susilo Bambang Yudoyono. Tiga zaman berbeda korupsi selalu gagal diberantas.

KPK - institusi antikorupsi yang diharap bisa menangkap dan mengungkap “big fish” untuk memperlihatkan kesungguhan pemberantasan korupsi juga belum berhasil. Jangan hanya bisa menghukum penerima suap tetapi juga harus bisa menghukum pemberi suap (strategi penting).

Melanggar HAM

Korupsi di Indonesia menurut survei PERC tahun 2010 berada pada peringkat pertama sebagai negara terkorup di 16 negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi. Doing Business (diukur dari kemudahan berusaha) tahun 2010 Indonesia berada diperingkat 122 dari 183 negara. Bribery index tahun 2011 Indonesia pada skor 7,1. Skor 0-10, semakin tinggi skor, semakin banyak suap. Human deplopment index (HDI) oleh UN, tahun 2008 0,588, tahun 2009 0,593, tahun 2010 0,600.

Selama KPK bekerja dari 2004-2011 menurut Doni Muhardianysah, Direktur Litbang KPK sudah 155,3 triliun yang diselamatkan dan disetor ke kas negara. Dapat dibayangkan berapa uang rakyat yang dikorup tapi tidak diselamatkan oleh penegak hukum kita?.

Begitu besarnya korupsi, maka yang menjadi korban adalah publik/masyarakat luas. Karena korbannya adalah rakyat maka HAM bisa menjadi salah satu pintu masuk atau menjadi pisau analisis terhadap korupsi. Korupsi selalu menimbulkan korban, yaitu masyarakat luas (publik). Ini yang membedakan secara mendasar antara korupsi dan maling. Kalau maling, bila ia curi di Dinas PPO yang hilang mungkin hanya uang, atau seperangkat peralatan kantor, dan sebagainya. Tetapi bila korupsi terjadi di Dinas PPO, seluruh lembaga pendidikan bisa runtuh karenanya, atau kalau ada maling di daerah, yang hilang cuma sekeping uang, tapi jika korupsi terjadi didaerah---daerah bisa ambruk karenanya. Adanya korban (publik) dalam korupsi menjadi penghubung antara korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Ada dua dimensi pemberantasan korupsi kaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM);

Pertama, korupsi merupakan pelanggaran hak atas hidup, kesehatan tubuh dan hak integritas, terutama hak atas kesehatan, hak atas standar kehidupan memadai.

Kaitan dengan itu, pertanyaan penting yang layak dikemukakan; berapa persen APBD/APBN yang dialokasikan untuk kesehatan, pendidikan? Bila masyarakat mengalami kesulitan untuk mendapatkan pengobatan, bila banyak masyarakat tidak mendapat pelayanan pendidikan, atau tidak memperoleh kesempatan untuk memperoleh pendidikan karena tidak ada biaya, maka disana ada masalah berupa tidak dipenuhi hak-hak tersebut oleh negara.

Jika ternyata APBD justru dialokasikan untuk berbagai fasilitas pemerintah (aparatur) dan anggota DPR/DPRD, maka masyarakat harus menuntut pemenuhan hak tersebut, karena pemenuhan hak-hak itu adalah kewajiban Negara kepada individu-individu warga negara.

Kedua, hak atas pembangunan sosial dan ekonomi. Termasuk dalam kategori ini adalah kondisi kerja dan ekonomi layak, kemiskinan (hak-hak integritas tubuh). Kedua hak ini dapat dilanggar melalui alokasi anggaran yang tidak adil (baca belanja langsung dan tidak langsung).

Hal ini dapat dilacak dalam politik anggaran (APBN/APBD), misalnya politik anggaran 60% untuk belanja aparatur dan 40% belanja untuk publik. Sudah tidak adil dalam pembagian anggaran, dalam 40% itupun dikorup kembali. Ada lima titik korupsi dalam 40%; 1) penerimaan pajak, 2) penerimaan non pajak, 3) belanja barang dan jasa, 4) bantuan sosial, 5) DAU/DAK/Dekonsentrasi. Pola korupsi dilakukan baik secara konvensional dan atau state capture; political corruption dan birokrasi kleptokratik dengan modus yang kualitatif (kualitas tinggi). Biasanya pemimpin politik menggunakan tangan-tangan lain untuk mengkorup uang rakyat itu, pola-pola demikian kemudian dibiarkan oleh Penegak Hukum tanpa ada upaya represif dan prefentif.

Pola-pola demikian jika dibiarkan maka negara/bangsa/daerah akan ambruk suatu saat. Padahal apa yang dilakukan jelas dalam kategori ini---negara telah melakukan pelanggaran HAM melalui Bupati/Gubernur/Presiden/DPR/DPRD. Karena jika mengacu pada dokumen hak asasi manusia, seluruh persoalan hak asasi manusia harus dipertalikan dengan peran Negara. Tidak ada persoalan pelanggaran HAM tanpa mempersoalkan peran Negara. Dengan begitu, Negara berurusan dengan pelanggaran hak asasi mansusia.

Strategi pemberantasan

Pada rana strategi, pola pemberantasan korupsi selama ini masih bersifat elitis, mempercayakan kepada Polisi, Jaksa, KPK tanpa peran serta masyarakat. Dan masyarakat sendiri tidak tahu, tidak memahami atau tidak diberitahu kalau pemerintah dan elit politik telah mengkorup hak-hak mereka melalui anggaran baik langsung maupun tidak langsung.
Karena cenderung elitis atau tidak mengikut sertakan masyarakat dalam gerakan pemberantasan korupsi, maka sebagian besar koruptor seolah tidak bisa disentuh oleh hukum. 

Pemberantasan korupsi, dalam kerangka kerja strategi, adalah tugas ahli hukum, peneliti dan kelompok – kelompok sosial yang mempunyai keterampilan tinggi. Yang trend saat ini bukan partisipasi pemberantasan korupsi, tapi mobilisasi dukungan politik dan kelompok masyarakat untuk melegitimasi kebijakan yang tidak berpihak pada individu-individu warga, padahal nyata telah melanggar hak asasi warga.

Karena itu, walau berbagai peraturan dan UU dibuat, lembaga dan komisi pemberantasan korupsi dibentuk, pemberantasan korupsi tidak akan menunjukkan hasil maksimal jika pada rana strategi masih bersifat elitis. Karena strategi orang-orang korup dengan berbagai modus, mereka dilindungi dalam system negara, karena warga individu tidak pernah mengawal proses itu. Dan para elit politikpun  menjalankan tanpa malu-malu karena memang legal adanya.

Nyatanya, tidak mudah menegakkan hukum melawan koruptor. Korupsi selalu melibatkan mereka yang memiliki kekuasaan. Sementara hukum tidak berada pada ruang hampa. Hukum diproduk dan dijalankan oleh kekuasaan, hukum juga hidup dan ditegakkan di tengah-tengah kompetisi kekuasaan.

Dari uraian diatas, korupsi dan HAM berpautan dan erat kaitan. Korupsi menjadikan kewajiban negara untuk memenuhi hak asasi warga tidak terpenuhi. Bahkan korupsi justru mengalihkan hak yang seharusnya diterima oleh individu-individu warga kepada para elit yang sesungguhnya bukan hak mereka.

Dengan menggunakan HAM sebagai perspektif dalam melihat dan menganalisis korupsi, kita dapat menunjukkan korban bagi masyarakat dan kewajiban mereka yang wajib dipenuhi oleh negara. Melalui analisis HAM, wacana korupsi dapat dibersihkan dari kajian dalam bentuk angka dan perhitungan teknis serta analisis hukum yang manipulatif.

Melalui HAM, kita dapat melihat deretan korban korupsi yang terus bertambah tiap tahun; kemiskinan warga bangsa apalagi, anak usia produktif tidak sekolah dan putus sekolah kian berjejer se-nusantara.

Pada giliran, menggunakan instrumen HAM dapat mendorong partisipasi masyarakat untuk lebih mengetahui hak-hak mereka yang dirampok, dapat ditunjukkan dengan nyata bagaimana individu-individu warga menjadi korban pembantaian dari anggaran negara itu.

Dengan menggunakan kaca pandang HAM, strategi pemberantasan dapat diarahkan untuk meminta pertanggung jawaban negara terhadap sejumlah praktek-praktek haram dimaksud, dapat pula membangkitkan naluri perlawanan rakyat kepada penguasa Negara. Melalui perspektif HAM rakyat dapat menarik dukungan mereka dan membantai elit-elit politik terhormat---tidak amanah, dan menjadikan mereka sebagai sampah bangsa---karena telah menodai esensi dasar kedaulatan warga secara luas.##