Kata Islam terdapat dalam Al-qur’an), dan orang-orang
Islam mengenal kata itu untuk meneguhkan keimanan mereka. Nama Islam bukan
lahir berdasarkan nama pendirinya seperti Budha karena tokoh yang mendirikan
adalah Budha Gautama. Atau Confusianisme yang dibawah oleh Confucius atau Kong
Hucu. Nama Islam bukan berdasar nama tempat kelahiran seorang tokoh, seperti
agama Hindu karena lahir di India atau Hindustan yakni lembah atau seberang
sungai Indus.
Juga Islam tidak berdasar nama kebangsaan, suku atau dinasti
Yahuda atau Yuda. Nama Islam bukan pula seperti ditulis para orentalis (penulis barat) yang menyebutkan Islam
adalah “Mohammadanism”.
Tapi nama Islam adalah nama pemberian Allah (Tuhan Yang
Maha Esa) yang dibawah oleh Muhamad (Rasul
Allah). Nama Islam bukanlah nama sebuah agama baru yang dibawakan
oleh Muhamad. Muhamad datang hanya untuk menyempurnakan dari sebelumnya. Semua makhluk
ciptaan Allah yang menyerahkan diri, patuh dan tunduk kepada Tuhan Yang
Maha Esa adalah Islam.
Tauhid (mengimani
Tuhan Yang Maha Esa) sudah ada sejak nabi Adam as. Kisah Adam berdoa kepada
Allah Swt mohon petunjuk diberikan jodoh silang kepada empat anak kembar
pertama dan keduanya; turunan kembar pertama Qabil dan Iqlima, turunan kembar
kedua Habil dan Labuda.
Saat dewasa, nabi Adam as ingin menjodohkan Qabil dengan
Labuda dan Habil dengan Iqlima, tapi Qabil menolak karena Iqlima lebih cantik
daripada Labuda. Akhirnya nabi Adam as memutuskan hal tersebut untuk diserahkan
kepada Allah Swt. Allah Swt memberikan petunjuk kepada nabi Adam as menyuruh
Qabil dan Habil untuk berkurban. Siapa yang diterima kurbannya, dialah yang
menentukan jodohnya. Habil mengambil seekor kambing yang paling ia sayangi dan
Qabil mengambil sekarung gandum paling jelek yang ia miliki. Akhirnya Allah Swt
menerima kurban Habil, dengan demikian Habil berhak menentukan jodohnya.
Qabil tidak puas, dan ketidakpuasan itu dihasut oleh
iblis, akhirnya Qabil membunuh saudaranya Habil, peristiwa ini merupakan
pembunuhan pertama dalam sejarah manusia. Dengan kisah nabi Adam berdoa kepada
Allah Swt, itu pertanda Adam as tunduk, patuh dan mengimani atas Tuhan Yang
Maha Esa, Tauhid (Islam), hal itu dikisahkan dalam QS. al-Maida: 27 hingga 32.
Nabi Nuh as, ketika Allah mengutus nabi Nuh adalah untuk
memperbaiki kebanyakan manusia di zaman nabi Idris as yang hidupnya menyimpang
dari aqidah yang dibawakan oleh nabi Adam as. Dalam dakwah nabi Nuh menghadapi
kaum yang keras kepala pada saat itu termasuk anaknya nabi Nuh as (Kan’an) yang
condong pada kafir (tidak mengimani Tuhan), akhirnya nabi Nuh as berdoa kepada
Allah Swt memohon agar Allah menurunkan azab. Allah Swt mengabulkan dan
memerintahkan nabi Nuh as untuk membuat perahu. Setelah perahu selesai, azab
Allah Swt datang berupa bencana alam yang dasyat menghanyutkan seluruh kaumnya,
termasuk anaknya nabi Nuh as tersebut juga tenggelam. Nabi Nuh as adalah keturunan
ke-9 dari nabi Adam as. Kisah nabi Nuh mengimani Allah sambil berdoa kepadaNya terdapat
dalam 43 ayat dalam al-Qur’an, 28 ayat diantaranya terdapat dalam surah Nuh.
Nabi Ibrahim as pernah ditangkap, diadili di Babylonia
(Irak) saat ia menyampaikan dakwanya untuk menyembah kepada Allah Swt, bukan
menyembah berhala. Nabi Ibrahim dalam kisahnya pernah memasuki suatu ruangan
dimana orang sedang menyembah berhala, nabi Ibrahim as masuk dan merusak semua
berhala, kecuali sebuah patung besar. Patung besar itu, nabi Ibrahim
mengalungkan dengan kapak.
Dari peristiwa itu, Ibrahim as ditangkap dan diadili oleh
raja Namrud. Namrud memutuskan nabi Ibrahim perlu dibakar hidup-hidup, atas mukjizat
Allah, Ibrahim selamat dari kobaran api. Nabi Ibrahim as pun diperintahkan
Allah Swt untuk memperbaiki baitullah di Mekka (rumah suci), Ibrahim as
memperbaiki dengan anaknya nabi Ismail as. Nabi Ibrahim adalah nenek moyang
bangsa Arab dan Israel, keturunannya banyak yang menjadi nabi. Kisah nabi
Ibrahim terdapat dalam 102 ayat pada 13 surah dalam al-Qur’an diantaranya QS. al-Baqarah:
127, QS. Maryam: 41 sampai 48, QS. Al-Anbiya: 51 sampai 72, QS. Al-An’am: 74
sampai 83.
Nabi Musa as hidup di zamannya raja Fir’aun. Fir’aun
memproklamirkan dirinya sebagai Tuhan, inilah tantangan terbesar saat nabi Musa
menjalankan dakwahnya.
Menghadapi Fir’aun yang kejam, nabi Musa pernah
mengasingkan diri disebuh bukit Tursina. Dibukit ini, nabi Musa mendapat
mu’jizat dari Allah Swt berupa tongkatnya bisa berubah jadi ular, tangannya
putih bersinar. Allah Swt memerintah nabi Musa berdakwah, menyerukan untuk
menyembah Allah Swt termasuk diserukan untuk berdakwa kepada Fir’aun.
Nabi Musa as menjumpai Fir’aun dan mengajaknya berdialok
tentang Tuhan seperti yang dikisahkan dalam QS. Asy-sura: 18 sampai 31, didepan
Fir’aun, nabi Musa menunjukan mukjizatnya, akhirnya Fir’aun tidak berdaya. Nabi
Musa as pernah berdoa kepada Allah Swt agar Fir’aun dan pengikutnya diberikan
azab, akhirnya doa nabi Musa as dikabulkan berupa kerajaan Fir’aun dilanda
krisis, dan wilayah Mesir dilanda kekeringan dan kemudian banjir besar,
kemudian kisah nabi Musa membelah laut dengan tongkatnya, akhirnya laut
terbelah dan Fir’aun bersama pasukankanya tenggelam, kisah nabi Musa terdapat
dalam QS. al-Qasas: 76-82, al-kahfi: 60 hingga 82, al-Maida; 20 hingga 26,
al-Baqarah: 55, 56, 63, 64. Taha: 85 sampai 98 dst).
Nabi Isa as, putra Maryam binti Imran, ia tidak mempunyai
ayah karna Maryam hamil tanpa berhubungan dengan laki-laki siapapun, kejadian
itu semata-mata karena kehendak Allah. Kisah kelahiran nabi Isa disebutkan
dalam al-Qur’an surah al-Imran: 45 sampai 48 dan 59, surah Maryam: 16 sampai
35, surah al-Anbiya: 91 dan surah Tahrim: 12. Maryam adalah seorang wanita
saleh dan sehari-hari hanya berdoa kepada Allah Swt. Nabi Isa dalam agama
Kristen dikenal dengan nama Yesus Kristus, menerima tugas kenabian diusia ke-30
dibukit Zaitun, Allah Swt memberikan banyak mu’jizat kepada nabi Isa as,
termasuk Allah menganugerahkan satu kitab kepadanya yang dikenal dengan injil
sebagaimana tergambar dalam QS. al-Imran: 49 dan 50 dan surah al-Maidah: 110. Kisah
yang sama terdapat pula pada nabi-nabi lain.
***
Kisah tersebut, menggambarkan bahwa semua nabi / rasul
sebelum Muhamad adalah bertauhid dalam arti yang dalam. Karena semua nabi /
rasul mengimani Allah Swt, kemudian berserah diri kepadanya dengan patuh. Islam
dan kerasulan Muhamad Saw datang untuk menyempurnakan kaum-kaum sebelumnya yang melakukan penyimpangan. Muhamad Saw adalah rasul Allah yang
tertinggi dan termasuk dalam golongan ulul azmi atau mereka yang mempunyai
keteguhan hati. Silsilah nabi Muhamad Saw adalah keturunan nabi Ibrahim as,
nabi Ibrahim adalah bapak segala agama, proklamator keadilan ilahi.
Implikasi penamaan Islam dalam Al-qur’an menggambarkan
bahwa Islam adalah agama universal, berasal dari Zat yang menguasai, mengatur
dan memelihara sekalian alam. Olehnya, Islam dan ajarannya diturunkan untuk
seluruh umat manusia (QS. Al-anbiya: 107). Berbeda dengan agama lain, Nabi / Rasul
selain Muhamad diutus hanya bagi kaum, bangsa tertentu.
Olehnya, prinsip fundamental dalam Islam adalah
mempercayai Nabi / Rasul (mengimani)
sebelumnya dengan beragam kepercayaan yang diturunkan Allah kepada Nabi / Rasul
tersebut (Al-baqarah: 4 dan 136). Itulah bedanya Islam dan kepercayaan lain.
Kalau orang Yahudi hanya mempercayai Nabi-nabi keturuan Israel, agama Nasrani
hanya mempercayai Nabi Isa as, dan seterusnya, tapi Islam mempercayai (mengimani) semua, karena Islam mencakup
semuanya, Islam yang rahmatan lil ‘alamin, ini tanda keinternasionalisasinya
Islam.
Makna Islam
Kata Islam berasal
dari kata kerja aslama, yang berarti “menyerahkan diri, pasrah,
tunduk, dan patuh”. Islam dengan arti menyerahkan diri cukup banyak dijumpai
dalam al-Qur’an, salah satunya dalam Q.S. Al-Baqarah: 112 disebutkan; “Ya,
barangsiapa menyerahkan diri kepada Allah dan ia berbuat baik, maka ia mendapat
pahalanya pada Tuhannya dan tak ada ketakutan padanya dan tidak ia berduka
cita”.
Dengan demikian Aslama adalah
kata kerja, yang menyebut obyek, yaitu “diri” atau “jiwa” (arti sebenarnya
adalah “muka”, atau menurut keterangan Muhammad Ali, “seluruh jiwa dan
raganya”). Disini dapat diartikan kata aslama sebagai “menyerahkan
dengan tulus hati” atau “mengikhlaskan”. Aslama agak berbeda dengan kata
“Uslam” yang lebih diartikan sebagai sikap jiwa seseorang dan “Islam” sebagai
nama sebuah Agama, berdasarkan Q.S. Al Imran: 19;
“Pada hari ini, Aku sempurnakan bagimu agamamu dan
Kulengkapkan atasmu kurnia-Ku dan Aku memilih bagimu Islam sebagai agama”.
Dengan demikian Islam
mengandung makna penyerahan diri, pasrah, tunduk, patuh oleh semua makhluk
terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Tauhid).
Hakikat dari kata penyerahan
diri, pasrah, tunduk dan patuh (Islam) bukan hanya berlaku bagi hamba (manusia)
tetapi juga hakekat dari seluruh alam, olehnya bagi manusia dan alam yang
tunduk, patuh dan menyerahkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa adalah Islam.
Artinya tunduk, patuh, penyerahan diri (Islam) dari seluruh ciptaannya kepada
penciptanya (Tuhan).
QS. Fushilat: 11 menyebutkan; “Kemudian
Dia menuju kelangit dan (langit) itu masih berupa asap, lalu Dia berfirman
kepadanya dan kepada bumi, “datanglah kamu berdua menurut perintahKu dengan
patuh atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami datang dengan patuh”.
Dalam QS. An Nahl: 49
disebutkan: “Dan segala apa yang ada dilangit dan apa yang ada dibumi hanya
bersujud kepada Allah yaitu semua makhluk yang bergerak (bernyawa) dan (juga)
para Malaikat, dan mereka (Malaikat) tidak menyombongkan diri”.
Demikian juga dalam QS. Al
Imran: 83 disebutkan; “Maka mengapa mereka mencari agama yang lain selain
agama Allah, padahal apa yang ada dilangit dan dibumi berserah diri kepadaNya,
(baik) dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepadaNyalah mereka
dikembalikan”.
Dari keterangan ayat diatas
menggambarkan, alam beserta isinya (langit dan bumi) juga patuh, menyerahkan diri
secara total kepadaNya, dan itulah Islam. Olehnya Islam
bukan hanya berlaku pada manusia tapi seluruh makhluk dialam ini yang
menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Alam semesta berjalan secara
alami, teratur, seimbang mengikuti ketentuan Tuhan (sunnatullah) berarti tunduk
dan patuh secara totalitas pada Tuhan. Karena semua makhluk diciptakan dari
bahan langit dan bumi (materi) dan immateri. Maka wajar jika semuanya memiliki
fitrah kepasrahan kepadaNya, Tuhan Yang Maha Esa (Tauhid).
Manusia baik secara materi dan
non materi, semuanya tunduk dan pasrah pada Tuhan. Dari segi materi, manusia
berasal dari (saripati) tanah, sedangkan tanah merupakan bagian dari alam yang
secara mutlak tunduk dan pasrah pada ketentuan Tuhan. Dari segi immateri,
manusia pernah melakukan perjanjian dengan Tuhan sebelum ia tiba dibumi,
sehingga ia akan siap untuk patuh dan pasrah kepadaNya, inilah disebut manusia ber-iman.
Mengamalkan atau mempraktekkan
ajaran Islam, sama nilainya dengan alam yang berjalan mengikuti hukum-hukum
Tuhan (sunnatullah). Islam bersifat alami, natural, fitri. Olehnya jika manusia
menentang terhadap kehendak Tuhan berarti manusia itu tidak fitrawi, demikiam
pula alam semesta ini.
Kaitan Iman, Islam dan Ihsan
Kata aslama memiliki
kaitan dengan kata iman dan ihsan. Itulah yang disebut trilogi
ajaran Islam (Iman, Islam dan Ihsan).
Jika mencermati kata Islam dalam hubungannya dengan Iman, maka kata-kata
tampak berdiri sendiri tapi mengandung satu pengertian.
Kata yang bukan sepokok, tapi sekategori dalam
pengertiannya antara iman, islam, dan ihsan. Iman, yang berarti
kepercayaan (percaya yang benar, karena tidak semua yang kita percaya adalah benar). Pembenaraan atas penerimaan itu disebut Islam. Penerimaan apa yang disampaikan oleh Rasul Saw,
dan ihsan, perbuatan baik / perwujudan dalam perbuatan.
Dengan perkataan lain, iman adalah tindakan
interiorisasi dan internalisasi, sedangkan Islam adalah eksteriorisasi
atau eksternalisasi apa yang ada dalam keyakinan seseorang. Dalam analisis, terdapat
kesimpulan bahwa penjelasan substantif
Nabi Saw mengenai iman sama dengan penjelasannya tentang Islam.
Penjelasan seperti itu juga dilakukan oleh Fazlur Rahman,
dalam kata iman, terkandung pengertian Islam. Lebih jauh, Fazlur
menambahkan bahwa tumpang tindih makna itu terjadi juga dengan kata taqwa.
Karena itu, konsep etik al-Qur’an, menurut Fazlur terkandung pada trilogi Iman-Islam-Taqwa.
Islam, menurut Fazlur, berakar pada kata s-l-m,
artinya “aman” (to be safe), “keseluruhan” (whole), dan
“menyeluruh” (integral). Kata silm, pada Q.S. al-Baqarah : 208,
berarti “perdamaian” (peace), sedangkan kata salam, dalam Q.S.
al-Zumar : 29, berarti “keseluruhan” (whole), sebagai kebalikan dari
“terpecah dalam berbagai bagian”, walaupun salam dalam Q.S.
al-Nisa : 91, mengandung arti “perdamaian”. Dalam berbagai penggunaannya, kata Islam
ini berarti “perdamaian”, “keselamatan” atau “salam”.
Dengan melihat berbagai maknanya itu, maka secara
keseluruhan tertangkap ide bahwa dengan penyerahan diri kepada Tuhan (Islam),
seseorang akan mampu mengembangkan seluruh (whole) kepribadiannya secara
menyeluruh (integral).
Sementara itu iman, yang arti umumnya, adalah
percaya, berakar dari kata a-m-n, yang artinya “(dalam keadaan) damai
dengan diri sendiri” (to be at peace with oneself). Atau “merasakan
tidak adanya kegoncangan dalam diri seseorang”. Dalam Q.S. al-Baqarah : 283,
kata iman disebut dalam arti “menitipkan sesuatu pada seseorang untuk
disimpan” (depositing something with someone for safe keeping”). Dalam
kaitan ini, kata amanah pada Q.S. al-Nisa: 58, dan yang lain, berarti
“penyimpanan yang aman” (safe deposit). Pada Q.S. al-Azhab: 33, berarti
“mempercayakan” atau “mengandalkan” (trust). Pada Q.S. al-Nisa: 83, al-Baqarah:
125, dan ayat-ayat lain, iman menunjuk pada pengertian “keselamatan dari
bahaya (luar)”.
Karena itu, aman untuk mengatakan bahwa makna dasar dari iman,
adalah “kedamaian” (peace) dan “keamanan” (safety). Kata-kata
amana bil-Allah berarti “percaya pada” atau “mempercayakan diri pada
Allah”. Bukankah kita dapat pula mengatakan “menyerahkan diri pada Allah”, yang
merupakan tindakan aslama, guna memperoleh salam?
Lain dari pada itu, kata taqwa yang juga
ditampilkan oleh Fazlur, arti populernya adalah “patuh pada Allah”, atau saleh (peity).
Tapi, dengan menengok pada akar katanya w-q-y, maka kita peroleh
arti kata taqwa, “melindungi” (to protect), “mengamankan dari
kehancuran” (to save from destruction), atau “memelihara” dan “melestarikan”
(to preserve). Dalam bentuk kata kedelapan, kata ini menimbulkan
arti “memelihara seseorang dari kemungkinan bahaya atau serangan”, dan
karena itu merupakan tindakan “berhati-hati” (to be careful).
Dalam arti keagamaan yang dimaksudkan oleh al-Qur’an,
kata ini berisikan kandungan moral, “terpelihara dari kegoncangan moral” atau
“takut karena bertanggung jawab”. Di sini pun, terjadi artinya yang paralel dengan
“menyerahkan diri pada Tuhan”, agar terpelihara dari kegoncangan atau krisis kejiwaan.
Menurut Willfred Cantwell Smith dalam bukunya On
Understanding Islam (Mouton Publisher, The Hague, 1981), memberikan tiga
karakteristik tentang Islam. Pertama, Islam bersifat pribadi (personal), sebagai
kepercayaan seseorang secara aktif. Di sini, keseluruhan keberadaan seseorang
terlibat, semacam transaksi, antara jiwanya dengan jagad. Dalam keyakinannya
ini, nasibnya dalam keabadian, dipertaruhkan. Hal ini menyangkut pengambilan
keputusan yang bersifat pribadi dan tak teringkari. Penyerahan dirinya, apabila
kita mengacu pada makna “Islam”, bersifat sangat khusus dan tersendiri,
dibanding dengan keputusan orang lain.
Dalam kategori ini, Islam bukan sekedar nama dari suatu
agama, melainkan jenis atau macam komitmen dan sikap pribadi seseorang, yaitu
“menyerahkan diri” pada sesuatu, yaitu Tuhan Yang Esa, Tauhid.
Kategori kedua dan ketiga, bersifat non-pribadi (impersonal).
Yang kedua adalah Islam sebagai sistem keagamaan yang bersifat ideal, dan
ketiga, Islam sebagai sistem keagamaan yang bersifat historis. Keduanya telah
mengalami obyektifikasi (objectified). Dimana Islam telah mengalami sistematisasi yang sifatnya
rasional atau mengandung upaya rasionalisasi. Inilah yang disebut Lewis sebagai
Islam yang telah diinterpretasikan. Lebih jauh lagi, Islam telah mengalami
proses pelembagaan (institusionalized) dalam masyarakat.
Dari penjelasan diatas tertangkap makna bahwa Islam (dan
juga agama lain) mengajarkan persaudaraan dan perdamaian. Tapi mengapa gejala
aktualnya memperlihatkan konflik, permusuhan, saling membantai dan perang?.
Padahal semuanya pasrah dan tunduk (Islam)
kepadaNya. Barangkali, seperti ditekankan oleh Smith, dalam kasus agama, jurang
pemisah itu sangat dalam dan luas, karena di sini, aspirasi agama dan cita
agama, dalam sifatnya yang paling alamiah, adalah sesuatu yang tinggi, yang
mulia.
Demikian pula menurut Prof. Dr. P.A. Hoesein
Djajadiningrat yang dilukiskan dalam bukunya Apa artinya Islam (J.B.
Wolters, Jakarta, Groningen), yang berasal dari pidatonya pada peringatan Dies
Natalis ke-4 Universitas Indonesia, 4 Februari 1954, ia menampilkan arti dari kata
Islam yang berasal dari kata jadian yang sama yakni makna Islam yang ditarik dari kata salima min
(dari), artinya selamat dari; Muslim, orang yang menyerahkan diri; dan salam,
yang artinya sejahtera, kesejahteraan, tempat sejahtera. Salah satu nama Tuhan
yang disebut dalam al asma al-husna (Q.S. Al-Hasyr : 23), nama-nama yang
indah, adalah al-Salam, yang ditafsirkan oleh Djajadiningrat sebagai
“selamat (yakni suci) dari kekurangan dan keburukan apapun juga”.
Pada pokoknya, dari segi harfiah, Djajadiningrat
menjelaskan makna kata Islam, dari jurusan kata kerja aslama,
menyerahkan diri pada, yang membentuk kata Islam dan Muslim dari
kata salima, selamat dari, yang membentuk kata salam, yang
artinya kesejahteraan atau kedamaian.
Sementara kata Islam menurut Afif Abd al-Fatah dalam
bukunya Ruh al-Din al-Islami, ia menarik dari kata al-silmu atau al-salmu
yang berarti damai dan aman. Artinya orang-orang yang tunduk dan patuh pada
Allah adalah orang-orang yang masuk dalam perdamaian dan keamanan. Dan seorang
muslim adalah seorang yang membuat perdamain dengan Tuhan, manusia, dirinya
sendiri dan alam. Damai dengan Tuhan berarti tunduk dan patuh secara menyeluruh
kepada kehendakNya, demikian juga dengan lainnya.
Pengertian diatas adalah konsekwensi dari makna al-Islam
yang berarti penyerahan diri secara totalitas kepada Tuhan. Dengan kepasrahan
kepada Tuhan maka seseorang akan mampu mengembangkan seluruh kepribadiannya
secara menyeluruh untuk berbuat kebaikan dimuka bumi ini.
Karena Tuhan telah memberikan peringatan baik kepada manusia bahwa seluruh alam
ini pasrah kepada Tuhan, demikian pula seluruh makhluk hidup dilangit dan
dibumi selain manusia, sehingga semuanya dapat hidup serasi dan hidup dalam kebaikan dengan seluruh ciptaanNya, baik manusia dengan manusia maupun manusia dan
ciptaaan lain.
QS. Al Imran: 84 mengatakan; “Katakanlah (Muhamad), “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang
diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub
dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan para Nabi dari
Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan hanya
kepadaNya kami berserah diri (Islam)”.
Demikain juga ditegaskan dalam QS. Al Baqarah: 213 bahwa:
“Manusia adalah umat yang satu”. Manusia
memang diciptakan dalam berbagai ras, suku, bangsa tapi untuk saling mengenal
satu dan yang lain, bukan saling untuk memusuhi, membantai, membunuh. Karena perbedaan
manusia satu dengan manusia lain hanya pada intensitas Takwanya (Iman) kepada
Tuhan Yang Maha Esa, bukan pada ras, suku, bangsa, kedudukan, harta, pangkat
dan jabatan.
Sekalipun demikian berbeda pandangan adalah fitrah sesuai
keputusan dan kehendak Tuhan. Manusia sudah diputuskan untuk selalu berbeda
pandangan.
QS. Hud: 118 menjelaskan; “Seandainya Tuhanmu menghendaki niscaya dia menjadikan manusia menjadi
satu umat (tetapi Tuhan tidak menghendaki itu), sehingga mereka akan terus
menerus berbeda”.
Karena perbedaan manusia adalah kehendak Tuhan, maka
tugas manusia adalah membangun kerjasama menciptakan perdamaian dan
berlomba-lomba mencari kebaikan dan ridhaNya, QS. Al Hujrat: 13. Lebih dalam memaknai itu sebaiknya mencari esensi. Mencari esensi berarti mencari kebenaran, condong pada jalan
yang lurus atau condong pada kebenaran, Tuhan Yang Esa. Orang yang condong pada
kebenaran, inilah dinamakan hanief.#