Sabtu, 22 Juni 2013

"Politik migas, agenda global"



Polemik Migas, buntut kenaikan BBM dan dampak ikutan tiada akhir. Dari papua hingga aceh, dari kampung hingga kampus, dari diskusi hingga aksi terus mewarnai dinamika kenaikan ini. Banyak sudut yang dianalisis, bacaan kita, hegemoni antar kekuatan negara-negara utara terhadap negara-negara selatan memainkan peran kunci dalam drama ini.



Amerika Serikat, pembuat sknario

Konstalasi politik dan ekonomi ditingkat global hingga hari ini lebih banyak didominasi oleh Amerika Serikat. Hampir bisa dipastikan perubahan politik dan ekonomi yang terjadi di semua belahan dunia tidak lepas dari pengaruh AS. Sebaliknya, perubahan ekonomi dan politik yang terjadi di AS akan berpengaruh terhadap perubahan secara keseluruhan.

Dirunut, pemboman gedung WTC (11 September 2001) atau serbuan AS atas Irak beberapa tahun silam yang keduanya menelan ribuan nyawa manusia itu dijadikan legitimasi AS untuk melakukan invasi ekonomi ke negara-negara selatan untuk terus bergantung kepadanya. Dengan dalih memerangi terorisme, AS bisa semaunya melakukan embargo ekonomi atau memutuskan bantuan ekonominya ke negara-negara yang dianggap tidak mau mendukung kebijakan perang melawan teroris itu. Yang terjadi kemudian adalah negara-negara selatan tidak bisa melepaskan ketergantungannya dari lembaga-lembaga penghutang seperti IMF, Bank Dunia Group, CGI dan ADB atau lembaga perbankan lain.

Dibalik semua dalih itu, sebenarnya AS punya kepentingan untuk menguasai dan terus mendominasi kekuatan ekonomi dunia. Invasi AS ke Irak atau Afganistan misalnya, belakangan terungkap bahwa pemenang tender migas di negara kaya minyak kedua dunia itu dikuasai oleh perusahaan-perusahaan migas asal AS seperti ExxonMobil, Shell, Chevron-Texaco, dan sebagainya.

Kita tahu bahwa AS sebenarnya sedang dilanda krisis energi migas. Sadar dengan kondisi itu maka AS lebih memilih untuk melakukan invasi eksploitasi migas ke negara-negara yang dinilai memiliki cadangan migas melimpah. AS berharap, cadangan migas dalam negerinya bisa dihemat dan pada saatnya nanti negara-negara dunia ketiga yang belum memiliki kemampuan mengembangkan energi alternatif terbarukan akan tetap tergantung kepadanya.

Bagi kita, perubahan global yang drastis ini patut dilihat sebagai ancaman saat ini dan dimasa mendatang terhadap perubahan kearah negatif disitus-situs perubahan dunia maupun nasional. Dominasi atas sumber daya alam oleh perusahaan-perusahaan transnasional yang berkolaborasi dengan kekuasaan negara-negara utara akan memaksa laju pengerukan di negara-negara selatan sesuai dengan keinginan negara-negara utara. Kontrol atas harga dan jalur distribusi pun dikendalikan oleh perusahaan transnasional. Skenario ini perlu dipandang sebagai bagian dari keberlanjutan dominasi utara terhadap negara-negara selatan. Untuk melegalkan percepatan pengerukan tersebut berbagai institusi digunakan yang kemudian melahirkan berbagai inisiatif dan ditopang oleh berbagai instrumen yang dihasilkan.

Dalam Rencana Aksi Pembangunan Berkelanjutan misalnya disebutkan dengan jelas bagaimana pentingnya pertambangan dan Migas berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan. Salah satu cara yang digunakan meningkatkan pertanggung jawaban perusahaan (Corporate responsibility) dengan mendorong kalangan investor untuk meningkatkan kinerja sosial dan lingkungan melalui prakarsa-prakarsa sukarela, seperti kode etik (code of conduct) dan sertifikasi. Padahal mengaitkan pertambangan dengan sesuatu yang berkelanjutan adalah hal yang tidak masuk akal.

Tak hanya itu, untuk menjamin pendanaan mereka terhadap industri sektor ini terus berlanjut, lembaga pendanaan internasional macam IMF, Bank Dunia (World Bank) juga melakukan hal yang sama dengan memfasilitasi apa yang disebut sebagai Extraktif Industri Review (WB EIR). Hasil kajian dan riset yang dilakukan,  terbukti IMF, Bank Dunia tidak menghentikan pendanaannnya bagi industri sektor ini seperti pertambangan minyak dan gas. Demikian juga dengan lembaga-lembaga lain yang bernaung dibawah Bank Dunia seperti MIGA, IBRD, IDA, dan IFC tetap mendanai proyek-proyek industri ekstraktif.

Proses EIR sejak awal memang sengaja digiring untuk menguntungkan pelaku-pelaku bisnis. Selain prosesnya yang tidak transparan, kesimpulan akhir dari semua ini kemudian dipresentasikan dalam forum Pembangunan berkelanjutan di Johanesberg, Afrika Selatan beberapa tahun lalu memang lebih banyak mengakomodir kepentingan negara-negara maju dan para pemilik modal. Dalam konteks ini antara lembaga-lembaga keuangan internasional dengan pelaku industri terdapat hubungan mutualisme, keduanya saling mendapat keuntungan dari dilanggengkannya pendanaan terhadap industri sektor ini. Seperti diketahui, salah satu penopang penting industri tambang dan migas adalah lembaga keuangan, lebih dari 50% modal pelaku bisnis berasal dari pinjaman.

Situasi menjelang politik nasional

Menjelang tahun 2014, saat ini disebut tahun ‘ancang-ancang’ bagi banyak pihak yang terlibat atau menaruh harapan pada peristiwa-peristiwa politik. Ditahun ini terjadi konsolidasi dan tawar-menawar antar aktor dan antar partai untuk memenangkan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden di tahun 2014. Politik uang juga merupakan satu peristiwa yang diprediksikan akan terjadi di tahun 2014 sehingga banyak partai di tahun ini menjalin hubungan diam-diam atau terang-terangan dengan pelaku bisnis, karena dari situ sumber pendanaan partai diharapkan mengucur. Bagi pelaku pertambangan minyak dan gas bumi, peluang ini dimanfaatkan dengan baik, dengan berbagai cara dan pendekatan, yang sangat sulit dibuktikan oleh publik. Tapi dapat diyakini kedekatan sektor bisnis dengan partai-partai sudah lama terjalin.

Bahkan disinyalir telah terjalin hubungan harmonis antara kelas komprador domestik tersambungkan dengan kepentingan perusahaan transnasional dan menjalin hubungan dengan partai-partai besar. Hampir semua partai saat ini memiliki aktor yang dapat dikategorikan sebagai bagian dari kelas komprador domestik. Mereka yang menjadi salah satu mesin uang bagi partai-partai besar, dan sebagian dari mereka adalah pelaku bisnis di sektor pertambangan, minyak dan gas, atau sumber daya alam lainnya.

Situasi politik semacam ini semakin menyulitkan terjadinya perubahan yang signifikan terhadap kebijakan-kebijakan negara yang diharapkan berpihak pada rakyat. Bahkan dalam banyak inisiatif perubahan kebijakan negara, terlihat bahwa wakil pemerintah dan wakil partai-partai yang duduk di parlemen tidak lagi berfikir cerdas bagi kepentingan rakyat, akan tetapi telah melakukan langkah-langkah blunder karena merancang kebijakan yang masuk dalam bingkai neo-liberalisasi ekonomi dan liberalisasi politik yang di dorong oleh IMF, Bank Dunia, Negara-negara utara serta pelaku bisnis domestik dan transnasional. Sebagai misal tentu kita masih ingat saat persiapan rumusan dibuatnya perangkat perundang-undangan bidang penanaman modal dan UU Migas. Kebijakan model ini sedang ditunggu-tunggu oleh pelaku bisnis karena pemerintah menjanjikan insentif dan disinsentif pada pelaku bisnis, termasuk diberlakukan tax-holiday.

Tidak itu saja, dalam UU Pertambangan, Migas, dan pembaharuan agraria, IMF dan Bank Dunia berperan penting baik terang-terangan seperti mendanai seminar atau lewat orang-orang yang sepaham dengan mereka sebagai konsultan. Betapa menyedihkan beberapa tahun silam, seorang profesor dari universitas ternama dinegeri ini menjadi tim pembuat RUU Pertambangan, sementara pada saat bersamaan dia juga sedang menjadi tim RUU Pesisir dan konsultan hukum lingkungan perusahaan pertambangan besar. Tentu tidak sulit membayangkan kebijakan yang bakal lahir selain mengakomodasi kepentingan-kepentingan para pemodal.

Model yang saat ini dipakai tidak jauh beda dengan model yang dulu pernah diterapkan pada masa transisi dari orde lama ke orde baru. Saat itu Bank Dunia Group, beberapa negara-negara utara dan pelaku bisnis lain mendesain model ekonomi Indonesia yang dilegalkan dengan instrumen hukum. Di tahun 1967 banyak peraturan perundangan yang keluar sebagai tindak lanjutnya antara lain UU Kehutanan, UU Penanaman Modal Asing, atau UU Pertambangan. Dari regulasi yang ada seluruh instrumen ekonomi digerakkan, dan tulang punggungnya adalah ekstraksi sumber daya alam. Aksi rakyat diredam dengan kekuatan militer. Tidak heran jika masa itu banyak terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia.

Bagi kita (rakyat Indonesia), kencenderungan ini menjadi ancaman serius, karena kasus-kasus pengelolaan sumber daya alam yang berada dibawah perut bumi Indonesia tidak diselesaikan dengan baik melalui jalur politik, bahkan pemerintah membuka ruang seluas-luasnya kepada asing mengelolahnya. Kebijakan-kebijakan yang seharusnya dikeluarkan untuk merespon persoalan minyak dan gas akan terbengkalai atau diredesain berdasarkan kepentingan pemilik modal dan partai-partai politik yang akan berkompetisi.

Sebagai kesiapan menghadapi masa depan dari ancaman ini adalah ‘penyusunan landasan juang bersama’. Gagasan besar adalah mempertemukan seluruh komponen anak bangsa yang faham akan denyut nadi kehidupan bangsa, memikirkan serius kondisi yang saat ini sedang berlangsung. Ancaman ini jika tidak dipikirkan maka kedaulatan ekonomi bangsa, seluruh SDA dibawah perut bumi Indonesia menjadi mangsa individu-individu swasta dan negara-negara asing (kapitalisme).Sekaligus merumuskan naskah penyelamatan bangsa dan negara yang lebih luas. Menyusun naskah yang diharapkan bisa jadi platform juang bersama untuk Indonesa ditengah keterpurukan tanpa harga diri dan keluar dari agenda global atas politik Migas Indonesia.#



1 komentar:

  1. BAGI PARA PECINTA TOGEL YANG SERING KALAH DALAM PERMAINAN TOGEL KAMI PUNYA SOLUSINYA DAN UNTUK MENDAPATKAN ANGKA JITU SGP/HK 2D . 3D ATAU 4D 5D 6D SILAHKAN HUB 0823-1014-2255-AKI DARMO

    BalasHapus