Senin, 22 Juli 2013

"Islam, nama pemberian Tuhan"




 
Kata Islam terdapat dalam Al-qur’an), dan orang-orang Islam mengenal kata itu untuk meneguhkan keimanan mereka. Nama Islam bukan lahir berdasarkan nama pendirinya seperti Budha karena tokoh yang mendirikan adalah Budha Gautama. Atau Confusianisme yang dibawah oleh Confucius atau Kong Hucu. Nama Islam bukan berdasar nama tempat kelahiran seorang tokoh, seperti agama Hindu karena lahir di India atau Hindustan yakni lembah atau seberang sungai Indus. 


Juga Islam tidak berdasar nama kebangsaan, suku atau dinasti Yahuda atau Yuda. Nama Islam bukan pula seperti ditulis para orentalis (penulis barat) yang menyebutkan Islam adalah “Mohammadanism”.

Tapi nama Islam adalah nama pemberian Allah (Tuhan Yang Maha Esa) yang dibawah oleh Muhamad (Rasul Allah). Nama Islam bukanlah nama sebuah agama baru yang dibawakan oleh Muhamad. Muhamad datang hanya untuk menyempurnakan dari sebelumnya. Semua makhluk ciptaan Allah yang menyerahkan diri, patuh dan tunduk kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah Islam.

Tauhid (mengimani Tuhan Yang Maha Esa) sudah ada sejak nabi Adam as. Kisah Adam berdoa kepada Allah Swt mohon petunjuk diberikan jodoh silang kepada empat anak kembar pertama dan keduanya; turunan kembar pertama Qabil dan Iqlima, turunan kembar kedua Habil dan Labuda.

Saat dewasa, nabi Adam as ingin menjodohkan Qabil dengan Labuda dan Habil dengan Iqlima, tapi Qabil menolak karena Iqlima lebih cantik daripada Labuda. Akhirnya nabi Adam as memutuskan hal tersebut untuk diserahkan kepada Allah Swt. Allah Swt memberikan petunjuk kepada nabi Adam as menyuruh Qabil dan Habil untuk berkurban. Siapa yang diterima kurbannya, dialah yang menentukan jodohnya. Habil mengambil seekor kambing yang paling ia sayangi dan Qabil mengambil sekarung gandum paling jelek yang ia miliki. Akhirnya Allah Swt menerima kurban Habil, dengan demikian Habil berhak menentukan jodohnya.

Qabil tidak puas, dan ketidakpuasan itu dihasut oleh iblis, akhirnya Qabil membunuh saudaranya Habil, peristiwa ini merupakan pembunuhan pertama dalam sejarah manusia. Dengan kisah nabi Adam berdoa kepada Allah Swt, itu pertanda Adam as tunduk, patuh dan mengimani atas Tuhan Yang Maha Esa, Tauhid (Islam), hal itu dikisahkan dalam QS. al-Maida: 27 hingga 32.

Nabi Nuh as, ketika Allah mengutus nabi Nuh adalah untuk memperbaiki kebanyakan manusia di zaman nabi Idris as yang hidupnya menyimpang dari aqidah yang dibawakan oleh nabi Adam as. Dalam dakwah nabi Nuh menghadapi kaum yang keras kepala pada saat itu termasuk anaknya nabi Nuh as (Kan’an) yang condong pada kafir (tidak mengimani Tuhan), akhirnya nabi Nuh as berdoa kepada Allah Swt memohon agar Allah menurunkan azab. Allah Swt mengabulkan dan memerintahkan nabi Nuh as untuk membuat perahu. Setelah perahu selesai, azab Allah Swt datang berupa bencana alam yang dasyat menghanyutkan seluruh kaumnya, termasuk anaknya nabi Nuh as tersebut juga tenggelam. Nabi Nuh as adalah keturunan ke-9 dari nabi Adam as. Kisah nabi Nuh mengimani Allah sambil berdoa kepadaNya terdapat dalam 43 ayat dalam al-Qur’an, 28 ayat diantaranya terdapat dalam surah Nuh.

Nabi Ibrahim as pernah ditangkap, diadili di Babylonia (Irak) saat ia menyampaikan dakwanya untuk menyembah kepada Allah Swt, bukan menyembah berhala. Nabi Ibrahim dalam kisahnya pernah memasuki suatu ruangan dimana orang sedang menyembah berhala, nabi Ibrahim as masuk dan merusak semua berhala, kecuali sebuah patung besar. Patung besar itu, nabi Ibrahim mengalungkan dengan kapak.

Dari peristiwa itu, Ibrahim as ditangkap dan diadili oleh raja Namrud. Namrud memutuskan nabi Ibrahim perlu dibakar hidup-hidup, atas mukjizat Allah, Ibrahim selamat dari kobaran api. Nabi Ibrahim as pun diperintahkan Allah Swt untuk memperbaiki baitullah di Mekka (rumah suci), Ibrahim as memperbaiki dengan anaknya nabi Ismail as. Nabi Ibrahim adalah nenek moyang bangsa Arab dan Israel, keturunannya banyak yang menjadi nabi. Kisah nabi Ibrahim terdapat dalam 102 ayat pada 13 surah dalam al-Qur’an diantaranya QS. al-Baqarah: 127, QS. Maryam: 41 sampai 48, QS. Al-Anbiya: 51 sampai 72, QS. Al-An’am: 74 sampai 83.

Nabi Musa as hidup di zamannya raja Fir’aun. Fir’aun memproklamirkan dirinya sebagai Tuhan, inilah tantangan terbesar saat nabi Musa menjalankan dakwahnya.

Menghadapi Fir’aun yang kejam, nabi Musa pernah mengasingkan diri disebuh bukit Tursina. Dibukit ini, nabi Musa mendapat mu’jizat dari Allah Swt berupa tongkatnya bisa berubah jadi ular, tangannya putih bersinar. Allah Swt memerintah nabi Musa berdakwah, menyerukan untuk menyembah Allah Swt termasuk diserukan untuk berdakwa kepada Fir’aun.

Nabi Musa as menjumpai Fir’aun dan mengajaknya berdialok tentang Tuhan seperti yang dikisahkan dalam QS. Asy-sura: 18 sampai 31, didepan Fir’aun, nabi Musa menunjukan mukjizatnya, akhirnya Fir’aun tidak berdaya. Nabi Musa as pernah berdoa kepada Allah Swt agar Fir’aun dan pengikutnya diberikan azab, akhirnya doa nabi Musa as dikabulkan berupa kerajaan Fir’aun dilanda krisis, dan wilayah Mesir dilanda kekeringan dan kemudian banjir besar, kemudian kisah nabi Musa membelah laut dengan tongkatnya, akhirnya laut terbelah dan Fir’aun bersama pasukankanya tenggelam, kisah nabi Musa terdapat dalam QS. al-Qasas: 76-82, al-kahfi: 60 hingga 82, al-Maida; 20 hingga 26, al-Baqarah: 55, 56, 63, 64. Taha: 85 sampai 98 dst).

Nabi Isa as, putra Maryam binti Imran, ia tidak mempunyai ayah karna Maryam hamil tanpa berhubungan dengan laki-laki siapapun, kejadian itu semata-mata karena kehendak Allah. Kisah kelahiran nabi Isa disebutkan dalam al-Qur’an surah al-Imran: 45 sampai 48 dan 59, surah Maryam: 16 sampai 35, surah al-Anbiya: 91 dan surah Tahrim: 12. Maryam adalah seorang wanita saleh dan sehari-hari hanya berdoa kepada Allah Swt. Nabi Isa dalam agama Kristen dikenal dengan nama Yesus Kristus, menerima tugas kenabian diusia ke-30 dibukit Zaitun, Allah Swt memberikan banyak mu’jizat kepada nabi Isa as, termasuk Allah menganugerahkan satu kitab kepadanya yang dikenal dengan injil sebagaimana tergambar dalam QS. al-Imran: 49 dan 50 dan surah al-Maidah: 110. Kisah yang sama terdapat pula pada nabi-nabi lain.

***
Kisah tersebut, menggambarkan bahwa semua nabi / rasul sebelum Muhamad adalah bertauhid dalam arti yang dalam. Karena semua nabi / rasul mengimani Allah Swt, kemudian berserah diri kepadanya dengan patuh. Islam dan kerasulan Muhamad Saw datang untuk menyempurnakan kaum-kaum sebelumnya yang melakukan penyimpangan. Muhamad Saw adalah rasul Allah yang tertinggi dan termasuk dalam golongan ulul azmi atau mereka yang mempunyai keteguhan hati. Silsilah nabi Muhamad Saw adalah keturunan nabi Ibrahim as, nabi Ibrahim adalah bapak segala agama, proklamator keadilan ilahi.

Implikasi penamaan Islam dalam Al-qur’an menggambarkan bahwa Islam adalah agama universal, berasal dari Zat yang menguasai, mengatur dan memelihara sekalian alam. Olehnya, Islam dan ajarannya diturunkan untuk seluruh umat manusia (QS. Al-anbiya: 107). Berbeda dengan agama lain, Nabi / Rasul selain Muhamad diutus hanya bagi kaum, bangsa tertentu.

Olehnya, prinsip fundamental dalam Islam adalah mempercayai Nabi / Rasul (mengimani) sebelumnya dengan beragam kepercayaan yang diturunkan Allah kepada Nabi / Rasul tersebut (Al-baqarah: 4 dan 136). Itulah bedanya Islam dan kepercayaan lain. Kalau orang Yahudi hanya mempercayai Nabi-nabi keturuan Israel, agama Nasrani hanya mempercayai Nabi Isa as, dan seterusnya, tapi Islam mempercayai (mengimani) semua, karena Islam mencakup semuanya, Islam yang rahmatan lil ‘alamin, ini tanda keinternasionalisasinya Islam.

Makna Islam

Kata Islam berasal dari kata kerja aslama, yang berarti “menyerahkan diri, pasrah, tunduk, dan patuh”. Islam dengan arti menyerahkan diri cukup banyak dijumpai dalam al-Qur’an, salah satunya dalam Q.S. Al-Baqarah: 112 disebutkan; “Ya, barangsiapa menyerahkan diri kepada Allah dan ia berbuat baik, maka ia mendapat pahalanya pada Tuhannya dan tak ada ketakutan padanya dan tidak ia berduka cita”. 

Dengan demikian Aslama adalah kata kerja, yang menyebut obyek, yaitu “diri” atau “jiwa” (arti sebenarnya adalah “muka”, atau menurut keterangan Muhammad Ali, “seluruh jiwa dan raganya”). Disini dapat diartikan kata aslama sebagai “menyerahkan dengan tulus hati” atau “mengikhlaskan”. Aslama agak berbeda dengan kata “Uslam” yang lebih diartikan sebagai sikap jiwa seseorang dan “Islam” sebagai nama sebuah Agama, berdasarkan Q.S. Al Imran: 19;

Pada hari ini, Aku sempurnakan bagimu agamamu dan Kulengkapkan atasmu kurnia-Ku dan Aku memilih bagimu Islam sebagai agama”.

Dengan demikian Islam mengandung makna penyerahan diri, pasrah, tunduk, patuh oleh semua makhluk terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Tauhid).

Hakikat dari kata penyerahan diri, pasrah, tunduk dan patuh (Islam) bukan hanya berlaku bagi hamba (manusia) tetapi juga hakekat dari seluruh alam, olehnya bagi manusia dan alam yang tunduk, patuh dan menyerahkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa adalah Islam. Artinya tunduk, patuh, penyerahan diri (Islam) dari seluruh ciptaannya kepada penciptanya (Tuhan).

QS. Fushilat: 11 menyebutkan; “Kemudian Dia menuju kelangit dan (langit) itu masih berupa asap, lalu Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi, “datanglah kamu berdua menurut perintahKu dengan patuh atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami datang dengan patuh”.

Dalam QS. An Nahl: 49 disebutkan: “Dan segala apa yang ada dilangit dan apa yang ada dibumi hanya bersujud kepada Allah yaitu semua makhluk yang bergerak (bernyawa) dan (juga) para Malaikat, dan mereka (Malaikat) tidak menyombongkan diri”.

Demikian juga dalam QS. Al Imran: 83 disebutkan; “Maka mengapa mereka mencari agama yang lain selain agama Allah, padahal apa yang ada dilangit dan dibumi berserah diri kepadaNya, (baik) dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepadaNyalah mereka dikembalikan”.

Dari keterangan ayat diatas menggambarkan, alam beserta isinya (langit dan bumi) juga patuh, menyerahkan diri secara total kepadaNya, dan itulah Islam. Olehnya Islam bukan hanya berlaku pada manusia tapi seluruh makhluk dialam ini yang menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Alam semesta berjalan secara alami, teratur, seimbang mengikuti ketentuan Tuhan (sunnatullah) berarti tunduk dan patuh secara totalitas pada Tuhan. Karena semua makhluk diciptakan dari bahan langit dan bumi (materi) dan immateri. Maka wajar jika semuanya memiliki fitrah kepasrahan kepadaNya, Tuhan Yang Maha Esa (Tauhid).

Manusia baik secara materi dan non materi, semuanya tunduk dan pasrah pada Tuhan. Dari segi materi, manusia berasal dari (saripati) tanah, sedangkan tanah merupakan bagian dari alam yang secara mutlak tunduk dan pasrah pada ketentuan Tuhan. Dari segi immateri, manusia pernah melakukan perjanjian dengan Tuhan sebelum ia tiba dibumi, sehingga ia akan siap untuk patuh dan pasrah kepadaNya, inilah disebut manusia ber-iman.

Mengamalkan atau mempraktekkan ajaran Islam, sama nilainya dengan alam yang berjalan mengikuti hukum-hukum Tuhan (sunnatullah). Islam bersifat alami, natural, fitri. Olehnya jika manusia menentang terhadap kehendak Tuhan berarti manusia itu tidak fitrawi, demikiam pula alam semesta ini.

Kaitan Iman, Islam dan Ihsan

Kata aslama memiliki kaitan dengan kata iman dan ihsan. Itulah yang disebut trilogi ajaran Islam (Iman, Islam dan Ihsan). Jika mencermati kata Islam dalam hubungannya dengan Iman, maka kata-kata tampak berdiri sendiri tapi mengandung satu pengertian.

Kata yang bukan sepokok, tapi sekategori dalam pengertiannya antara iman, islam, dan ihsan. Iman, yang berarti kepercayaan (percaya yang benar, karena tidak semua yang kita percaya adalah benar). Pembenaraan atas penerimaan itu disebut Islam. Penerimaan apa yang disampaikan oleh  Rasul Saw, dan ihsan, perbuatan baik / perwujudan dalam perbuatan.

Dengan perkataan lain, iman adalah tindakan interiorisasi dan internalisasi, sedangkan Islam adalah eksteriorisasi atau eksternalisasi apa yang ada dalam keyakinan seseorang. Dalam analisis, terdapat  kesimpulan bahwa penjelasan substantif Nabi Saw mengenai iman sama dengan penjelasannya tentang Islam.

Penjelasan seperti itu juga dilakukan oleh Fazlur Rahman, dalam kata iman, terkandung pengertian Islam. Lebih jauh, Fazlur menambahkan bahwa tumpang tindih makna itu terjadi juga dengan kata taqwa. Karena itu, konsep etik al-Qur’an, menurut Fazlur terkandung pada trilogi Iman-Islam-Taqwa.

Islam, menurut Fazlur, berakar pada kata s-l-m, artinya “aman” (to be safe), “keseluruhan” (whole), dan “menyeluruh” (integral). Kata silm, pada Q.S. al-Baqarah : 208, berarti “perdamaian” (peace), sedangkan kata salam, dalam Q.S. al-Zumar : 29, berarti “keseluruhan” (whole), sebagai kebalikan dari “terpecah dalam berbagai bagian”, walaupun  salam dalam Q.S. al-Nisa : 91, mengandung arti “perdamaian”. Dalam berbagai penggunaannya, kata Islam ini berarti “perdamaian”, “keselamatan” atau “salam”.

Dengan melihat berbagai maknanya itu, maka secara keseluruhan tertangkap ide bahwa dengan penyerahan diri kepada Tuhan (Islam), seseorang akan mampu mengembangkan seluruh (whole) kepribadiannya secara menyeluruh (integral).

Sementara itu iman, yang arti umumnya, adalah percaya, berakar dari kata a-m-n, yang artinya “(dalam keadaan) damai dengan diri sendiri” (to be at peace with oneself). Atau “merasakan tidak adanya kegoncangan dalam diri seseorang”. Dalam Q.S. al-Baqarah : 283, kata iman disebut dalam arti “menitipkan sesuatu pada seseorang untuk disimpan” (depositing something with someone for safe keeping”). Dalam kaitan ini, kata amanah pada Q.S. al-Nisa: 58, dan yang lain, berarti “penyimpanan yang aman” (safe deposit). Pada Q.S. al-Azhab: 33, berarti “mempercayakan” atau “mengandalkan” (trust). Pada Q.S. al-Nisa: 83, al-Baqarah: 125, dan ayat-ayat lain, iman menunjuk pada pengertian “keselamatan dari bahaya (luar)”.  

Karena itu, aman untuk mengatakan bahwa makna dasar dari iman, adalah “kedamaian” (peace) dan “keamanan” (safety). Kata-kata amana bil-Allah berarti “percaya pada” atau “mempercayakan diri pada Allah”. Bukankah kita dapat pula mengatakan “menyerahkan diri pada Allah”, yang merupakan tindakan aslama, guna memperoleh salam?

Lain dari pada itu, kata taqwa yang juga ditampilkan oleh Fazlur, arti populernya adalah “patuh pada Allah”, atau saleh (peity). Tapi, dengan menengok pada akar katanya w-q-y, maka kita peroleh arti kata taqwa, “melindungi” (to protect), “mengamankan dari kehancuran” (to save from destruction), atau “memelihara” dan “melestarikan” (to preserve). Dalam bentuk kata kedelapan, kata ini menimbulkan arti  “memelihara seseorang dari kemungkinan bahaya atau serangan”, dan karena itu merupakan tindakan “berhati-hati” (to be careful).

Dalam arti keagamaan yang dimaksudkan oleh al-Qur’an, kata ini berisikan kandungan moral, “terpelihara dari kegoncangan moral” atau “takut karena bertanggung jawab”. Di sini pun, terjadi artinya yang paralel dengan “menyerahkan diri pada Tuhan”, agar terpelihara dari kegoncangan atau krisis kejiwaan.

Menurut Willfred Cantwell Smith dalam bukunya On Understanding Islam (Mouton Publisher, The Hague, 1981), memberikan tiga karakteristik tentang Islam. Pertama, Islam bersifat pribadi (personal), sebagai kepercayaan seseorang secara aktif. Di sini, keseluruhan keberadaan seseorang terlibat, semacam transaksi, antara jiwanya dengan jagad. Dalam keyakinannya ini, nasibnya dalam keabadian, dipertaruhkan. Hal ini menyangkut pengambilan keputusan yang bersifat pribadi dan tak teringkari. Penyerahan dirinya, apabila kita mengacu pada makna “Islam”, bersifat sangat khusus dan tersendiri, dibanding dengan keputusan orang lain.

Dalam kategori ini, Islam bukan sekedar nama dari suatu agama, melainkan jenis atau macam komitmen dan sikap pribadi seseorang, yaitu “menyerahkan diri” pada sesuatu, yaitu Tuhan Yang Esa, Tauhid.

Kategori kedua dan ketiga, bersifat non-pribadi (impersonal). Yang kedua adalah Islam sebagai sistem keagamaan yang bersifat ideal, dan ketiga, Islam sebagai sistem keagamaan yang bersifat historis. Keduanya telah mengalami obyektifikasi (objectified). Dimana Islam telah mengalami sistematisasi yang sifatnya rasional atau mengandung upaya rasionalisasi. Inilah yang disebut Lewis sebagai Islam yang telah diinterpretasikan. Lebih jauh lagi, Islam telah mengalami proses pelembagaan (institusionalized) dalam masyarakat.

Dari penjelasan diatas tertangkap makna bahwa Islam (dan juga agama lain) mengajarkan persaudaraan dan perdamaian. Tapi mengapa gejala aktualnya memperlihatkan konflik, permusuhan, saling membantai dan perang?. Padahal semuanya pasrah dan tunduk (Islam) kepadaNya. Barangkali, seperti ditekankan oleh Smith, dalam kasus agama, jurang pemisah itu sangat dalam dan luas, karena di sini, aspirasi agama dan cita agama, dalam sifatnya yang paling alamiah, adalah sesuatu yang tinggi, yang mulia.

Demikian pula menurut Prof. Dr. P.A. Hoesein Djajadiningrat yang dilukiskan dalam bukunya Apa artinya Islam (J.B. Wolters, Jakarta, Groningen), yang berasal dari pidatonya pada peringatan Dies Natalis ke-4 Universitas Indonesia, 4 Februari 1954, ia menampilkan arti dari kata Islam yang berasal dari kata jadian yang sama yakni makna Islam yang ditarik dari kata salima min (dari), artinya selamat dari; Muslim, orang yang menyerahkan diri; dan salam, yang artinya sejahtera, kesejahteraan, tempat sejahtera. Salah satu nama Tuhan yang disebut dalam al asma al-husna (Q.S. Al-Hasyr : 23), nama-nama yang indah, adalah al-Salam, yang ditafsirkan oleh Djajadiningrat sebagai “selamat (yakni suci) dari kekurangan dan keburukan apapun juga”.

Pada pokoknya, dari segi harfiah, Djajadiningrat menjelaskan makna kata Islam, dari jurusan kata kerja aslama, menyerahkan diri pada, yang membentuk kata Islam dan Muslim dari kata salima, selamat dari, yang membentuk kata salam, yang artinya kesejahteraan atau kedamaian.

Sementara kata Islam menurut Afif Abd al-Fatah dalam bukunya Ruh al-Din al-Islami, ia menarik dari kata al-silmu atau al-salmu yang berarti damai dan aman. Artinya orang-orang yang tunduk dan patuh pada Allah adalah orang-orang yang masuk dalam perdamaian dan keamanan. Dan seorang muslim adalah seorang yang membuat perdamain dengan Tuhan, manusia, dirinya sendiri dan alam. Damai dengan Tuhan berarti tunduk dan patuh secara menyeluruh kepada kehendakNya, demikian juga dengan lainnya.

Pengertian diatas adalah konsekwensi dari makna al-Islam yang berarti penyerahan diri secara totalitas kepada Tuhan. Dengan kepasrahan kepada Tuhan maka seseorang akan mampu mengembangkan seluruh kepribadiannya secara menyeluruh untuk berbuat kebaikan  dimuka bumi ini. Karena Tuhan telah memberikan peringatan baik kepada manusia bahwa seluruh alam ini pasrah kepada Tuhan, demikian pula seluruh makhluk hidup dilangit dan dibumi selain manusia, sehingga semuanya dapat hidup serasi dan hidup dalam kebaikan dengan seluruh ciptaanNya, baik manusia dengan manusia maupun manusia dan ciptaaan lain.

QS. Al Imran: 84 mengatakan; “Katakanlah (Muhamad), “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan para Nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan hanya kepadaNya kami berserah diri (Islam)”.

Demikain juga ditegaskan dalam QS. Al Baqarah: 213 bahwa: “Manusia adalah umat yang satu”. Manusia memang diciptakan dalam berbagai ras, suku, bangsa tapi untuk saling mengenal satu dan yang lain, bukan saling untuk memusuhi, membantai, membunuh. Karena perbedaan manusia satu dengan manusia lain hanya pada intensitas Takwanya (Iman) kepada Tuhan Yang Maha Esa, bukan pada ras, suku, bangsa, kedudukan, harta, pangkat dan jabatan.

Sekalipun demikian berbeda pandangan adalah fitrah sesuai keputusan dan kehendak Tuhan. Manusia sudah diputuskan untuk selalu berbeda pandangan.

QS. Hud: 118 menjelaskan; “Seandainya Tuhanmu menghendaki niscaya dia menjadikan manusia menjadi satu umat (tetapi Tuhan tidak menghendaki itu), sehingga mereka akan terus menerus berbeda”.

Karena perbedaan manusia adalah kehendak Tuhan, maka tugas manusia adalah membangun kerjasama menciptakan perdamaian dan berlomba-lomba mencari kebaikan dan ridhaNya, QS. Al Hujrat: 13. Lebih dalam memaknai itu sebaiknya mencari esensi. Mencari esensi berarti mencari kebenaran, condong pada jalan yang lurus atau condong pada kebenaran, Tuhan Yang Esa. Orang yang condong pada kebenaran, inilah dinamakan hanief.#


Tidak ada komentar:

Posting Komentar