Hukum progresif yang dikembangkan dari pemikiran orisinil
Prof. Satjipto Rahardjo yang menyandingkan kepastian dan keadilan hukum berkembang
luas dikalangan cendikiawan dan praktisi hukum, dan dikenal sebagai hukum
modern.
Hukum itu bagian dari manusia, bukan bagian dari Negara.
Hukum lahir dari hakikat manusia untuk memanusiakan dirinya dalam hidup bersama
didalam Negara. Karena manusia dalam hidupnya selalu dinamis, berubah dan
berkembang maka hukum juga bersifat dinamis, berubah dan berkembang. Hukum yang
dinamis dan berubah itulah oleh Prof. Satjipto Raharjo dinamakan hukum “mengalir”.
Jika dilacak istilah
hukum “mengalir”, hasil pemikiran besar Prof. Satjipto Raharjo yang
menggagas hukum progresif, istilah “mengalir” itu diambil dari filsafat “pantha
rei” dari filsuf Yunani kuno, Heraklitos.
Pantha Rei
adalah jawaban Heraklitos terhadap
pertanyaan fundamental dalam filsafat, apa yang merupakan dasar terdalam dari realitas atau apa yang membuat
sesuatu itu menjadi benar-benar real “ada” sehingga dibedakan dari yang
mungkin saja?
Ada 2 (dua) jawaban dalam menjawab pertanyaan diatas;
Pertama, yang paling real adalah ketidaktepatan karena tidak ada sesuatu
didunia ini yang tetap, tetapi selalu berubah. Kedua, yang paling real
bukan ketidaktepatan tetapi ketetapan, jadi yang tinggal tetap itulah yang
paling real.
Jika lebih dalam, sebenarnya patha rei
Heraklitos memiliki esensi seperti jawaban kedua, yang mengatakan yang tinggal
tetap itulah yang paling real. Berubah artinya tidak tetap, dan karena tidak
tetap itu terus menerus, maka sebenarnya yang terjadi adalah tidak tetap itu
tetap. Selalu tidak tetap berarti tetap tidak tetap. Karena itu menurut
Heraklitos, perubahan adalah dasar terdalam dari realitas.
Permenides menolak perubahan sebagai dasar
terdalam dari realitas. Bagi Permenides, “ada” itu inti dari realitas. Segala
apa saja memiliki arti sejauh sesuatu itu “ada”. Sesuatu ada atau tidak ada,
kalau tidak ada maka tidak ada arti dan tidak ada guna untuk kita memikirkannya.
Kalau ada itu ditiadakan, maka segala yang disebutkan (ada) tidak terjadi atau
tidak ada. Dasar terdalam ada bukan
perubahan. Segala sesuatu yang lain menjadi ada karena adalah dasarnya.
Akan tetapi, “ada” itu tidak dapat berubah, karena berubah berarti menjadi lain. Tapi, tidak ada yang lain selain dari yang ada. Oleh Permenides, “ada” dapat berubah hanya terdapat 2 (dua) kemungkinan; Pertama, ada dapat berubah menjadi ada. Kedua, ada dapat berubah menjadi tidak ada. Akan tetapi, ada itu tidak dapat menjadi ada sebab dia sudah ada. Dan ada tidak dapat menjadi tidak ada sebab dalam hal itu ia sudah tidak ada, dan kalau sudah tidak ada maka tidak ada guna lagi kita memikirkannya. Atas dasar itu, Permenides menyimpulkan bahwa perubahan itu tidak real, yang real hanya “ada”.
Oleh Heraklitos mengakui perubahan sebagai dasar
dari segala realitas. Karena tidak ada realitas yang tetap melainkan selalu berubah. Yang tetap hanya
satu hal yakni perubahan. Segalanya mengalir bagaikan air (pantha rei).
Perubahan adalah kenyataan yang paling nyata dan merupakan hukum yang paling
dasariah dari realitas. Tapi bagi Heraklitos, yang paling jelas bukan “ada”
tetapi perubahan, karena perubahan itu terjadi dengan terus menerus. Tidak
tetap itu berlangsung terus. Jadi tidak tetap itu tetap.
Kembali kepada Pantha Rei bahwa segalanya
berubah. Tetapi, kalau segalanya terus berubah, selalu berada dalam proses
menjadi lain, maka pengetahuan manusia menjadi tidak mungkin, sebab yang dapat
dikenal hanyalah yang ada. Lagi pula pantha rei ini justru menghapus
kemungkinan perubahan itu sendiri. Padahal yang ditangkap oleh pengalaman kita,
betul perubahan, akan tetapi bukan perubahan murni, melainkan perubahan dari
sesuatu. Jadi ada sesuatu yang berubah.
Dari pemikiran itu maka dapat ditarik; Pertama,
tidak ada oposisi mutlak antara ada dan perubahan, sehingga tidak perlu
disangkal adanya perubahan yang hanya membuktikan bahwa realitas itu dari ada. Kedua,
segala yang berubah adalah terbatas dalam adanya. Keterbatasan itu terletak
dalam kenyataan bahwa sesuatu itu memperoleh suatu sifat atau ciri baru.
Prof. Rahardjo mendasarkan hukum progresif bahwa hukum itu mengalir. Ia mendasarkan diri
pada filsafat hukum progresif pada realitas perubahan. Manusia adalah salah
satu realitas di alam ini, dan karenannya itu ia mengalir dan berubah. Karena
hukum itu bagian dari manusia atau bagian dari kehidupan manusia, makanya hukum
juga mengalir. Hukum itu berubah mengikuti perkembangan hidup manusia. Manusia
baik secara individu maupun sosial adalah makhluk yang tidak sempurna. Karena
tidak sempurnanya itu memungkinkan manusia selalu berubah atau berkembang.
Fakta keterbatasan itulah titik tolak Rahardjo dalam membangun pemikiran
tentang hukum progresifnya.
Dekonstruksi hukum progresif Rahardjo dilakukan
dalam rangka menemukan keadilan, karena keadilan adalah unsur konstitutif dari
hukum. Kehilangan nilai keadilan dari hukum adalah kehilangan hukum itu
sendiri. Dengan demikian hukum progresif oleh Rahardjo menghubungkan secara mutlak
antara hukum dan keadilan, begitu kita menamakan sesuatu itu hukum, ketika itu
juga kita memikirkan keadilan sebagai konsekwensinya.
Bagi kaum legalis, konsekwensi logis dari
kehadiran hukum adalah kepastian hukum, keadilan tidak menjadi sesuatu yang
orisinil. Oleh Rahardjo menyandingkan kepastian hukum dan keadilan jalan beriringan
sebagai satu nilai fundamental dalam hukum.
Menurut Rahardjo, hukum itu diadakan oleh manusia
untuk kepentingan manusia, yakni kepentingan keadilan. Dalam rangka keadilan
itu maka Rahardjo berbicara tentang apa yang disebut keterpurukan keadilan.
Maksudnya, kita selalu dituntut untuk bersikap tepat dihadapan
ketidakterbatasan orang-orang kongkrit yang kepada mereka hukum itu dijalankan.
Karena keadilan itu bagian dari manusia maka
begitu hakiki keadilan itu berarti bagi manusia. Olehnya jika penegakkan hukum
membuat keadilan semakin jauh dari hukum maka kita harus berani melakukan
dekonstruksi hukum, karena jangan sampai hukum itu ditegakkan dengan
mengabaikan keadilan. Jika mengabaikan keadilan, maka hukum itu sendiri dibuat
menjadi cacat, jika cacat maka hukum menjadi tidak berguna bagi manusia.
Olehnya hukum ditegakkan dengan paradigma dan
karakter progresif. Hukum hanya pantas dipandang sebagai hukum manakala hukum
tidak menentang keadilan. Bahkan bukan hukum namanya kalau tidak adil. Hukum
yang tidak adil praktis kehilangan arti sebagai hukum meskipun sebagai
peraturan harus ditaati. Hanya saja, ketaatan pada peraturan bukan karena
peraturan memiliki kekuatan hukum (esensi) melainkan ia ditetapkan oleh
penguasa. Hukum yang ditetapkan oleh penguasa menjadi hukum bukan atas dasar
hukum adalah hukum yang konservatif.
Pemikiran Prof Rahardjo itu sebagai pukulan
terhadap penegak hukum dan cara kita berhukum sekarang ini. Karena kita bangga
dengan membuat banyak hukum, padahal banyak hukum yang kita buat tidak layak
disebut sebagai hukum karena absennya keadilan ditengah penegakkan hukum.#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar