Jumat, 23 November 2012

"Korupsi dan Hak Asasi Manusia"




Bicara korupsi di Indonesia tak habis-habisnya, mulai kelas teri hingga kelas kakap, mulai ketua RT hingga presiden, dari pusat hingga daerah. Seolah korupsi adalah budaya nasional yang wajib dilestarikan oleh dan antar generasi.

Korupsi di era Orde Lama

Korupsi bukan saja baru dikenal, diwacanakan sekarang, tapi sejak Orde Lama. Tahun 1951-1956 korupsi sudah diwacanakan media lokal seperti Indonesi Raya pimpinan Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Tahun 1961 Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar dijebloskan ke penjara selain medianya dibredel.

Kolonel Soeharto, panglima Diponegoro pada era itu sudah terlibat dalam korupsi. Kasus Korupsi gula, diperiksa oleh Mayjen Suprapto, S. parman, M.T. Haryono, dan Sutoyo dari Markas Besar Angkatan Darat. Hasilnya, jabatan panglima Diponegoro diganti oleh Letkol Pranoto, kepala Stafnya. Sedang Kolonel Soeharto dihentikan oleh Mayjen Gatot Subroto, yang kemudian mengirim Soeharto ke Seskoad di Bandung. Kasus ini membuat D.I. Panjaitan menolak pencalonan Soeharto menjadi Ketua Senat Seskoad.

Media Pimpinan Muchtar Lubis dan Rosihan Anwar dibredel, berawal dari pemberitaan kasus korupsi Ruslan Abdulgani (Menteri Luar Negeri) tahun 1956. Intervensi politik Perdana Menteri Ali Sostroamidjodjo, akhirnya Ruslan Abdulgani gagal ditangkap polisi militer. Sebelumnya, Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara Pemilu. Dalam kasus itu, mantan Menteri Penerangan Kabinet Burhanuddin Harahap dan direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap. Jendral Nasution sempat memimpin tim pemberantasan Korupsi pada era itu, tapi juga gagal. Hal itu (korupsi) kemudian membawah hingga ke era Orde Baru pimpinan mantan Koruptor Jendral Soeharto, berbudaya hingga kini dibawah rezim Korup Susilo Bambang Yudoyono. Tiga zaman berbeda korupsi selalu gagal diberantas.

KPK - institusi antikorupsi yang diharap bisa menangkap dan mengungkap “big fish” untuk memperlihatkan kesungguhan pemberantasan korupsi juga belum berhasil. Jangan hanya bisa menghukum penerima suap tetapi juga harus bisa menghukum pemberi suap (strategi penting).

Melanggar HAM

Korupsi di Indonesia menurut survei PERC tahun 2010 berada pada peringkat pertama sebagai negara terkorup di 16 negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi. Doing Business (diukur dari kemudahan berusaha) tahun 2010 Indonesia berada diperingkat 122 dari 183 negara. Bribery index tahun 2011 Indonesia pada skor 7,1. Skor 0-10, semakin tinggi skor, semakin banyak suap. Human deplopment index (HDI) oleh UN, tahun 2008 0,588, tahun 2009 0,593, tahun 2010 0,600.

Selama KPK bekerja dari 2004-2011 menurut Doni Muhardianysah, Direktur Litbang KPK sudah 155,3 triliun yang diselamatkan dan disetor ke kas negara. Dapat dibayangkan berapa uang rakyat yang dikorup tapi tidak diselamatkan oleh penegak hukum kita?.

Begitu besarnya korupsi, maka yang menjadi korban adalah publik/masyarakat luas. Karena korbannya adalah rakyat maka HAM bisa menjadi salah satu pintu masuk atau menjadi pisau analisis terhadap korupsi. Korupsi selalu menimbulkan korban, yaitu masyarakat luas (publik). Ini yang membedakan secara mendasar antara korupsi dan maling. Kalau maling, bila ia curi di Dinas PPO yang hilang mungkin hanya uang, atau seperangkat peralatan kantor, dan sebagainya. Tetapi bila korupsi terjadi di Dinas PPO, seluruh lembaga pendidikan bisa runtuh karenanya, atau kalau ada maling di daerah, yang hilang cuma sekeping uang, tapi jika korupsi terjadi didaerah---daerah bisa ambruk karenanya. Adanya korban (publik) dalam korupsi menjadi penghubung antara korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Ada dua dimensi pemberantasan korupsi kaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM);

Pertama, korupsi merupakan pelanggaran hak atas hidup, kesehatan tubuh dan hak integritas, terutama hak atas kesehatan, hak atas standar kehidupan memadai.

Kaitan dengan itu, pertanyaan penting yang layak dikemukakan; berapa persen APBD/APBN yang dialokasikan untuk kesehatan, pendidikan? Bila masyarakat mengalami kesulitan untuk mendapatkan pengobatan, bila banyak masyarakat tidak mendapat pelayanan pendidikan, atau tidak memperoleh kesempatan untuk memperoleh pendidikan karena tidak ada biaya, maka disana ada masalah berupa tidak dipenuhi hak-hak tersebut oleh negara.

Jika ternyata APBD justru dialokasikan untuk berbagai fasilitas pemerintah (aparatur) dan anggota DPR/DPRD, maka masyarakat harus menuntut pemenuhan hak tersebut, karena pemenuhan hak-hak itu adalah kewajiban Negara kepada individu-individu warga negara.

Kedua, hak atas pembangunan sosial dan ekonomi. Termasuk dalam kategori ini adalah kondisi kerja dan ekonomi layak, kemiskinan (hak-hak integritas tubuh). Kedua hak ini dapat dilanggar melalui alokasi anggaran yang tidak adil (baca belanja langsung dan tidak langsung).

Hal ini dapat dilacak dalam politik anggaran (APBN/APBD), misalnya politik anggaran 60% untuk belanja aparatur dan 40% belanja untuk publik. Sudah tidak adil dalam pembagian anggaran, dalam 40% itupun dikorup kembali. Ada lima titik korupsi dalam 40%; 1) penerimaan pajak, 2) penerimaan non pajak, 3) belanja barang dan jasa, 4) bantuan sosial, 5) DAU/DAK/Dekonsentrasi. Pola korupsi dilakukan baik secara konvensional dan atau state capture; political corruption dan birokrasi kleptokratik dengan modus yang kualitatif (kualitas tinggi). Biasanya pemimpin politik menggunakan tangan-tangan lain untuk mengkorup uang rakyat itu, pola-pola demikian kemudian dibiarkan oleh Penegak Hukum tanpa ada upaya represif dan prefentif.

Pola-pola demikian jika dibiarkan maka negara/bangsa/daerah akan ambruk suatu saat. Padahal apa yang dilakukan jelas dalam kategori ini---negara telah melakukan pelanggaran HAM melalui Bupati/Gubernur/Presiden/DPR/DPRD. Karena jika mengacu pada dokumen hak asasi manusia, seluruh persoalan hak asasi manusia harus dipertalikan dengan peran Negara. Tidak ada persoalan pelanggaran HAM tanpa mempersoalkan peran Negara. Dengan begitu, Negara berurusan dengan pelanggaran hak asasi mansusia.

Strategi pemberantasan

Pada rana strategi, pola pemberantasan korupsi selama ini masih bersifat elitis, mempercayakan kepada Polisi, Jaksa, KPK tanpa peran serta masyarakat. Dan masyarakat sendiri tidak tahu, tidak memahami atau tidak diberitahu kalau pemerintah dan elit politik telah mengkorup hak-hak mereka melalui anggaran baik langsung maupun tidak langsung.
Karena cenderung elitis atau tidak mengikut sertakan masyarakat dalam gerakan pemberantasan korupsi, maka sebagian besar koruptor seolah tidak bisa disentuh oleh hukum. 

Pemberantasan korupsi, dalam kerangka kerja strategi, adalah tugas ahli hukum, peneliti dan kelompok – kelompok sosial yang mempunyai keterampilan tinggi. Yang trend saat ini bukan partisipasi pemberantasan korupsi, tapi mobilisasi dukungan politik dan kelompok masyarakat untuk melegitimasi kebijakan yang tidak berpihak pada individu-individu warga, padahal nyata telah melanggar hak asasi warga.

Karena itu, walau berbagai peraturan dan UU dibuat, lembaga dan komisi pemberantasan korupsi dibentuk, pemberantasan korupsi tidak akan menunjukkan hasil maksimal jika pada rana strategi masih bersifat elitis. Karena strategi orang-orang korup dengan berbagai modus, mereka dilindungi dalam system negara, karena warga individu tidak pernah mengawal proses itu. Dan para elit politikpun  menjalankan tanpa malu-malu karena memang legal adanya.

Nyatanya, tidak mudah menegakkan hukum melawan koruptor. Korupsi selalu melibatkan mereka yang memiliki kekuasaan. Sementara hukum tidak berada pada ruang hampa. Hukum diproduk dan dijalankan oleh kekuasaan, hukum juga hidup dan ditegakkan di tengah-tengah kompetisi kekuasaan.

Dari uraian diatas, korupsi dan HAM berpautan dan erat kaitan. Korupsi menjadikan kewajiban negara untuk memenuhi hak asasi warga tidak terpenuhi. Bahkan korupsi justru mengalihkan hak yang seharusnya diterima oleh individu-individu warga kepada para elit yang sesungguhnya bukan hak mereka.

Dengan menggunakan HAM sebagai perspektif dalam melihat dan menganalisis korupsi, kita dapat menunjukkan korban bagi masyarakat dan kewajiban mereka yang wajib dipenuhi oleh negara. Melalui analisis HAM, wacana korupsi dapat dibersihkan dari kajian dalam bentuk angka dan perhitungan teknis serta analisis hukum yang manipulatif.

Melalui HAM, kita dapat melihat deretan korban korupsi yang terus bertambah tiap tahun; kemiskinan warga bangsa apalagi, anak usia produktif tidak sekolah dan putus sekolah kian berjejer se-nusantara.

Pada giliran, menggunakan instrumen HAM dapat mendorong partisipasi masyarakat untuk lebih mengetahui hak-hak mereka yang dirampok, dapat ditunjukkan dengan nyata bagaimana individu-individu warga menjadi korban pembantaian dari anggaran negara itu.

Dengan menggunakan kaca pandang HAM, strategi pemberantasan dapat diarahkan untuk meminta pertanggung jawaban negara terhadap sejumlah praktek-praktek haram dimaksud, dapat pula membangkitkan naluri perlawanan rakyat kepada penguasa Negara. Melalui perspektif HAM rakyat dapat menarik dukungan mereka dan membantai elit-elit politik terhormat---tidak amanah, dan menjadikan mereka sebagai sampah bangsa---karena telah menodai esensi dasar kedaulatan warga secara luas.##

Jumat, 28 September 2012

"Sejarah perkaderan di HMI"



Sejarah itu ditulis untuk memahami hal-hal yang terjadi pada masa lampau. Sebagai suatu peristiwa sejarah adalah milik masa lalu dan tak akan kembali lagi. Sebuah peristiwa hanya sekali terjadi dan kemudian kembali menghilang untuk selamanya.
 
Gadamer dan Fazlur Rahman melihat sejarah, sebuah rangkaian peristiwa dan pemaknaan yang tak pernah terputus, karena pemaknaan sejarah selalu mengacu ke depan meskipun dilakukan hari ini sehingga sesungguhnya sulit menciptakan jarak antara masa lalu, kini dan esok. 

Dulu dan esok keduanya dipertemukan oleh pemaknaan hari ini oleh subyek pelaku dan penafsir sejarah itu sendiri, (Komaruddin Hidayat, 1996: 196).

Perkaderan formal di HMI tidak lahir berbarengan dengan kelahiran HMI 5 Februari 1947, melainkan lahir seiring proses waktu dan perubahan zaman. Perkaderan formal HMI, dirintis di masa Ismail Hassan Matereum (Ketua HMI, periode 1957-1960), dan itupun masih dalam batas wacana-wacana yang digulirkan PB HMI. 

Ismail Hasan Matereum adalah penggagas ide perkaderan formal HMI, kehendaknya agar HMI tidak sekedar menjadi tempat kumpul orang-orang yang punya kesamaan hoby atau aktivitas saja, tapi menjadi second campus bagi para kadernya. Faktor penting pendorong gagasan diadakannya perkaderan formal HMI karena waktu itu Ismail Hasan Matereum melihat adanya perbedaan aliran pemikiran dalam dinamika pergerakan aktivitas HMI, dimana ada anggota yang punya background dari lingkungan pesantren dan ada juga yang cenderung sekuler (abangan). 

Selain itu, adanya perbedaan para anggota HMI yang datang dari berbagai lingkungan Ormas semisal NU, Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain. Oleh karenanya, Ismail Hasan Metareum punya obsesi untuk bisa mengambil persamaan serta mengembangkannya dari para anggota HMI agar mampu menciptakan suatu sinergitas pemikiran dan gerakan hingga menjadi satu kesatuan dalam tubuh HMI yang diharapkan menjadi ciri khas dan karakteristik para kadernya. 

Untuk mensinergikan itu, maka difasilitasilah berbagai forum pendidikan dan pelatihan untuk para kader HMI agar bisa mempersatukan visi dan mensinergiskan pemikiran kader HMI. Selain itu, diharapkan agar dengan forum seperti itu bisa menciptakan komunikasi antar kader yang berujung pada terwujudnya ukhuwah Islamiyah sesama kader HMI. Dalam suatu kesempatan dia pernah menjelaskan secara detail maksud tujuan dan teknis pelaksanaan dari sistem perkaderan itu, dimana diungkapkan perlunya suatu sistem yang bertingkat dalam pelatihan sesuai dengan taraf kemampuan kader, dengan aksentuasi materinya pada masalah keorganisasian dan keislaman. Hal inilah yang menjadi dasar dan landasan awal dari sistem perkaderan HMI, karena sejak saat itu perkaderan menjadi trademark dikalangan kader HMI meskipun format yang idealnya belum terwujud. 

Untuk meningkatkan taraf kualitas perkaderan serta membuat format perkaderan ideal yang cocok bagi HMI, maka PB HMI mengutus beberapa anggotanya untuk melakukan pengkajian mengenai masalah tersebut ke beberapa organisasi di luar negeri. Kader-kader HMI itu diantaranya Aisyah Amini, Mahbub Junaedi, Mahmud Yunus, dan Munir Kimin yang berangkat ke Aloka, India. 

Sedangkan Noersal dan Ibrahim Madilao ke Amerika Serikat sekaligus memanfaatkan undangan pemerintah dari Negara itu (Amerika Serikat). Selain ke luar negeri, PB HMI juga melakukan studi dan pengkajian secara teoritik dan empirik di dalam negeri. Hasil dari kunjungan dan kajian itu dicurahkan dalam suatu forum lokakarya yang diadakan PB HMI di Baros Sukabumi tahun 1959, khusus membicarakan format perkaderan HMI. 

Sejak peristiwa itu, HMI sudah mempunyai format baku dalam perkaderan meskipun belum sempurna. Penyempurnaan hasil lokakarya pertama ini dilakukan pada masa kepengurusan Oman Komaruddin (periode 1960-1963) dengan mengadakan forum seminar dan lokakarya perkaderan kedua di Pekalongan tahun 1962. 

Hasil-hasil forum tersebut kemudian disempurnakan lagi dan disahkan menjadi format perkaderan baku yang mempunyai sistem perkaderan berjenjang pada kongres HMI ke VII tahun 1963 di Jakarta. Sejak saat itu HMI menjadi organisasi pertama di Indonesia yang mempunyai sistem perkaderan formal yang baku, lengkap, berjenjang. Penyempurnaan format perkaderan terus dilakukan HMI sebagai bentuk konsistensi HMI akan fungsinya, dengan harapan semakin baik format perkaderan maka outputnya semakin berkualitas. 

Pada masa Sulastomo (periode 1963-1966) dan Nurcholis Madjid (periode 1966-1971) sistem perkaderan ini tidak hanya sebagai bentuk formal penyaringan anggota dan peningkatan kualitas kader saja melainkan diperluas lagi sebagai salah satu prasyarat yang harus dipenuhi para calon pengurus HMI dari PB sampai Komisariat. Sehingga tidak sembarang kader yang bisa jadi pengurus, tetapi harus melewati jenjang tertentu dalam perkaderan formal. Sejak zaman Cak Nur (1967) sampai tahun 1999 tercatat sudah beberapa kali sistem perkaderan mengalami perubahan.
Pada tahun 1970 (zaman Cak Nur) di Pekalongan, sebagai upaya penyempurnaan dan rekomendasi kongres HMI ke IX di Malang, dimana keputusan pentingnya bahwa setiap yang namanya training di HMI harus mengacu pada buku format perkaderan yang sudah dibuat.

Pada tahun 1975 (zaman Ridwan Saidi) di Kaliurang Yogyakarta, sistem perkaderan saat itu banyak dipengaruhi oleh munculnya gerakan pembaharuan keagamaan di Indonesia yang dipelopori Cak Nur, selain itu sedang hangatnya gerakan–gerakan Islam internasional terutama di kawasan Timur Tengah.

Tahun 1983 (zaman Harry Azhar Azis) di Surabaya, pada masa ini banyak dipengaruhi oleh kondisi ketegangan antara umat Islam dengan pemerintah Orba, selain itu wacana developmentalisme yang dikembangkan Orba juga sedikit banyaknya mempengaruhi sisitem perkaderan HMI. Revolusi Islam Iran sedikit banyak mempengaruhi semangat dan antusiasme ber-Islam dikalangan generasi muda Indonesia termasuk para kader HMI.

Pada tahun 1988 (zaman Saleh Khalid) di Cianjur dan Jakarta, akibat terjadinya perubahan internal yang mendasar dalam tubuh HMI, salah satunya perubahan azas, maka dipandang perlu untuk merevisi sistem perkaderan HMI yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan zamannya. Selain itu gerakan depolitisasi mahasiswa di kampus oleh Orba dan berkembangnya logika modernisasi turut andil dalam mempengaruhi sistem perkaderan saat itu.

Pada tahun 1992 (zaman Ferry Mursidan), sistem perkaderan hanya mengalami sedikit perubahan dan saat itu dipengaruhi oleh membaiknya kondisi politik antara umat Islam dan Orba yang ditandai dengan munculnya ICMI. Namun itu hanya pada konteks Islam ibadah belum ke Islam politik. Selain itu jargon pembangunan di segala bidang menjadi isu sentral masa itu sehingga sedikitnya mempengaruhi sistem perkaderan HMI.

Pada tahun 1997 (zaman Taufik Hidayat) di Jakarta, saat itu dipengaruhi oleh iklim politik Indonesia yang sudah mulai goyah akibat adanya akumulasi kekecewaan terhadap pemerintah Orba.

Tahun 2000 (zaman Fakhrudin) di Jakarta, sejak HMI menggunakan kembali Islam sebagai azasnya (kongres XXII di Jambi) maka sudah pasti ada banyak perubahan yang terjadi di HMI. Pedoman perkaderan sebagai salah satu hal yang dijadikan landasan bagi aktifitas HMI, sudah barang tentu mengalami perubahan yang diakibatkan oleh perubahan azasnya. Pendorong utama lokakarya pada masa ini adalah mengantisipasi perubahan azas di HMI, sekaligus membuat rancangan strategis bagi HMI pasca perubahan azas dan dalam menghadapi perubahan zaman.#

"Free fight liberalism?"




BUNG HATTA, adalah penggagas sekaligus selaku konseptor pasal 33 UUD 1945 bagi politik perekonomian Indonesia. Makna pasal 33, kemakmuran rakyat diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Karena kemakmuran adalah bagi semua orang, maka cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya (termasuk Migas) merupakan sumber-sumber kemakmuran rakyat yang harus dikuasai negara untuk dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Olehnya, pasal 33 adalah sendi utama bagi politik perekonomian dan politik sosial Republik Indonesia. Pasal 33 adalah pilar penentang individualisme dan kapitalisme secara fundamental. Pasal 33 mengenai sistem politik - ekonomi Indonesia, pasal 27, 31, 34 dst adalah pelaksana, aturan untuk melaksanakan demokrasi ekonomi Indonesia. Kelahiran pasal 33, untuk mencegah free fight liberalism  agar kepentingan rakyat banyak tidak dirugikan, tidak ditindas demi kepentingan orang-seorang yang mempunyai kuasa dan bagi mereka yang memegang tampuk produksi. Oleh sebab itu usaha untuk mencapai demokrasi ekonomi, mencapai cita-cita terwujudnya pasal 33 merupakan kewajiban sosial dan moral seluruh bangsa.

Dengan demikian, campur tangan negara harus lebih besar dalam menjamin terlaksananya kedaulatan ekonomi. Ekonomi pasar yang bermaksud menempatkan kekuatan pasar untuk mengatur perekonomian Indonesia, seperti perdebatan yang tak kian habis pasal 7 ayat 6A UU APBN-P 2012, dianggap tidak sesuai dengan konsep kepemimpinan negara dalam mendesign konsep politik-ekonomi bangsa.

Negara harus menguasai sumber-sumber kemakmuran rakyat untuk dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Disini tampak penting “Kepemiminan Negara” dan Wakil Rakyat harus berperan besar bersama rakyat dalam keikutsertaannya dalam membawah kedaulatan ekonomi sesuai kehendak pasal 33 UUD 1945. Disini, konsep Bung Karno tentang tatanan politik perekonomian dan demokrasi sosial  ikut menyempurnakan konsep demokrasi ekonomi bangsa. Karena Bung Karno menyebut pandangannya tentang politik perekonomian Indonesia dengan sebutan sosio-demokrasi yaitu demokrasi yang bukan demokrasi barat, tapi politik-economische-democratie, yaitu demokrasi dengan kesejahteraan. Ini dinyatakan Bung Karno dalam pidatonya yang dikenal dengan lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945 didepan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan.

Hanya demokrasi politik belum menyelamatkan rakyat, tapi perlu ada demokrasi ekonomi untuk menjamin keselamatan rakyat (sejahtera). Nasionalisme Indonesia harus ada sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Didalam sosio-nasionalisme ada nasionalisme politik dan nasionalisme ekonomi. Didalam sosio-demokrasi ada demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.

Hakekat demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat yakni pemerintahan yang memberi hak kepada semua rakyat untuk ikut memerintah, ikut menentukan nasib bangsa dan negara. Faham demokrasi awalnya muncul dari revolusi Perancis, sebelum revolusi Perancis, pemerintahan Eropa adalah pemerintahan otokrasi, didalam tangan Raja, rakyat tak ikut bersuara, rakyat hanya nurut saja apa mau Raja. Bahkan Raja mengakui dirinya sebagai wakil Tuhan dimuka bumi.

Dalam soal ini, Raja didukung, dibentengi oleh kaum ningrat dan kepala-kepala agama. Raja, kaum ningrat, kepala-kepala agama adalah gambaran kelompok penguasa pada waktu itu. Kemudian datanglah kaum baru (kaum pergerakan), penentang Raja dan kelompok-kelompoknya dan ingin merebut kekuasaan itu, akhirnya kekuasaan itu direbut, maka terjadilah atau menghasilkan revolusi Perancis. Kaum pergerakan menang, maka muncullah pemerintahan rakyat atau demokrasi difase itu. Raja runtuh, kelompok-kelompok agama runtuh, kaum ningrat runtuh, diadakan parlemen-parlemen, dimana rakyat mengirimkan wakil-wakilnya, timbullah pemerintahan demokrasi dimana-mana.

Indonesia adalah negara demokrasi, pemerintahan oleh rakyat. Dinegara demokrasi seperti Indonesia ini, jika pemerintah (negara) tidak mendengar isi penderitaan rakyat, maka bukan  disebut negara demokrasi, tapi negara otokrasi, negara dipimpin oleh Raja, kemudian didukung kaum-kaum ningrat terpilih, sebuat saja yang berada digelanggang politik. 

Reralitas, dalam negara demokrasi Indonesia, rakyat menjadi tuan didalam urusan politik, disaat bersamaan rakyat juga menjadi budak didalam urusan ekonomi. Pemerintah telah mampu membuat pertentangan antara sistem politik dan sistem ekonomi Indonesia. Pasal 33 adalah pasal hampa dibenak rezim politik Indonesia.

Nasionalisme Indonesia bukan hanya mengkramatkan “demokrasi” dengan mencari kilaunya negeri diluar (kapitalisme), tetapi nasionalisme Indonesia adalah mencari keselamatan seluruh manusia Indonesia untuk hidup sejahtera. Sosio-nasionalisme adalah nasionalismenya rakyat, dan sosio-demokrasi adalah adalah demokrasinya rakyat, olehnya disebut sosio-demokrasi adalah “pencaharian merdeka”---kemerdekaan universal dan hak memperoleh pekerjaan dari kemerdekaan individual (pasal 27 UUD 1945).

Nasionalisme dan demokrasi harus tumbuh dan berdiri didalam hati sanubari rakyat Indonesia, bukan nasionalisme dan demokrasi yang tumbuh dihati kaum kapitalis. Olehnya penting bagi rakyat Indonesia untuk melancarkan asas non-kooperatif dalam memperjuangkan keselamatan rakyat. Yakni, asas yang menolak kerjasama disegala lapangan politik-ekonomi yang beraliran kapitalis, yang lebih menggadaikan bangsa yang kaya raya ini. Non-kooperatif adalah asas perjuangan yang tak kenal damai dengan kaum pertuanan. Oleh sebab itu, non-kooperatif juga berisi radikalisme-radikalisme hati, radikalisme pikiran, radikalisme sepak terjang, radikalisme dalam sikap lahir dan bathin, radikalime dalam menolak free fight liberalism.#

Kamis, 5 April 2012, pkl.15.00 – 17.30 Wita

"Tambang, ketidakadilan global"




Tragedi Bima 24/12, Mesuji April/2011 dan berbagai daerah lain Indonesia disektor pertambangan, menandaskan ketidakmampuan pemerintah dalam pengelolaan Sumber Daya Alam, sejak awal orde baru hingga kini, dan terus melahirkan masalah.

Dalam kebijakan dan praktek pertambangan, peran serta rakyat tidak mendapat tempat yang memadai. Rakyat tidak pernah terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari suatu aktivitas pertambangan. Bahkan rakyat tidak memiliki otoritas untuk menyetujui atau menolak suatu rencana penambangan yang akan berdampak pada wilayah hidup mereka. Bahkan dalam UU Pertambangan, rakyat diwajibkan untuk menyerahkan tanahnya jika ada kegiatan operasi pertambangan di wilayah tersebut. Jika rakyat berkeberatan, mereka dapat di dikenakan sanksi pidana. Dalam soal ganti rugi atas tanah, rakyat dipaksa untuk menerima jumlah yang telah ditetapkan sepihak oleh pemerintah dan perusahaan. Jika rakyat tidak menerimanya, pemerintah akan menitipkan uang kompensasi itu di pengadilan negeri dan dianggap kompensasi telah terjadi.

Pemerintah selalu berdalil, ucapan wellcome bagi pemodal untuk investasi disektor pertambangan, adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sebagai perbandingan, negara sub-Sahara di Afrika yang bergantung pada kekayaan mineral (tambang) maupun Negara Timur Tengah yang bergantung pada kekayaan minyak bumi digolongkan Bank Dunia sebagai negera miskin yang terbelit utang. Tahun 2004 (UNDP), menggariskan Papua dan NTB sebagai daerah paling buruk indeks pembangunan manusianya (HDI), padahal Papua dan NTB adalah negeri sejuta emas/tembaga.

Ketergantungan sebuah daerah pada kekayaan tambang memiliki hubungan negatif terhadap kelompok miskin di daerah bersangkutan. Yang dimaksud dengan “ketergantungan pada kekayaan tambang” adalah perbandingan ekspor mineral dengan Produk Domestik Bruto (PDB) daerah itu. Untuk menaksir keadaan kelompok miskin, salah satu tolak-ukur yang di pilih adalah Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI), suatu ukuran yang dikembangkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) yang menggabungkan data pendapatan per kapita dengan data kesehatan dan pendidikan di satu daerah.

Justru terbalik, daerah yang tidak bergantung pada tambang justru begitu makmur seperti Bali yang lebih sedikit penduduk miskinnya dibanding daerah yang kaya akan tambang tapi terpuruk seperti NTB dan Papua.

Apakah daerah-daerah dengan tingkat pendapatan yang hampir sama, tetapi berbeda tingkat ketergantungannya kepada kekayaan tambang, memiliki kinerja yang lebih baik atau lebih buruk dalam memenuhi kebutuhan kelompok miskin?. Bacaan kita, menemukan hubungan negatif yang kuat antara tingkat ketergantungan suatu negara terhadap kekayaan tambang dengan peringkat HDI. Semakin tinggi suatu daerah mengandalkan ekspor mineral/tambang, semakin buruk standar penghidupannya. Di sepanjang sejarah, negara-negara yang bergantung kepada kekayaan mineral mengalami kemunduran: semakin besar ketergantungan negara tersebut kepada mineral, semakin merosot peringkat HDI-nya, seperti Zambia, Zimbabwe dan Kazakhstan tergolong negara-negara yang mengalami kemunduran luar biasa.

***
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir bahan tambang kita dieksploitasi secara berlebihan untuk kepentingan ekspor semata dan bukan untuk kepentingan nasional yang mendesak. Akibatnya kita telah memasuki gerbang kelangkaan yang akan berakibat buruk bagi peradaban bangsa Indonesia di masa mendatang. Angka-angka berikut menunjukan betapa selama ini orientasi eksploitasi bahan tambang Indonesia hanya untuk kepentingan kepentingan negara lain. Hal ini dapat dilihat pada produksi mineral seperti Emas produksi sebesar 142.238 kg untuk ekspor ±73%, Perak 293.520 kg untuk ekspor ± 46%, Ferro Nikel 42306 mt untuk ekspor ± 88%. Sementara itu 74% Batu Bara kita di eksploitasi hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar Asia 60.235.631,70 ton, Eropa 9.936.175 ton dan Australia-Amerika 2.555.173 ton, di dalam negeri sendiri 39% Batu Bara dikosumsi oleh industri Listrik, Semen, Metallurgy, Pulp dan Briket berkisar 29.257.002,59 ton, (Departmen Energi dan Sumberdaya Mineral: 2003).

Untuk mendukung strategi obral murah kekayaan tambang di Indonesia pemerintah telah mengeluarkan izin kontrak karya 98 KK dan PKP2B 86 perusahaan (2003). Diluar itu, sebanyak 150 izin KK tumpang tindih dengan kawasan lindung. Alasan yang selalu digunakan adalah demi pemulihan ekonomi, padahal basis argumentasi itu telah kehilangan keabsahannya karena kontribusi pertambangan bagi ekonomi negara sangat kecil.

Disektor MIGAS, upaya pemerintah untuk terus menguras cadangan migas yang ada juga tidak kalah hebat. Sejak tahun 2003, pemerintah sedikitnya telah menawarkan 21 blok migas kepada para investor. Dari jumlah itu, 11 blok migas telah ditawarkan sejak pada bulan Agustus 2003 dan 10 blok lainnya ditawarkan pada bulan Oktober 2003. Saat ini, dari 60 cekungan minyak bumi yang dimiliki Indonesia 23 persen atau 14 cekungan sudah dieksplorasi dalam 30 tahun terakhir. Cadangan minyak bumi di 14 cekungan itu sudah terkuras habis dan tinggal tersisa sembilan miliar barrel. Dengan laju produksi minyak 1,3 juta barrel per hari, jumlah itu hanya mencukupi kebutuhan bahan bakar untuk tujuh tahun ke depan, (Nasrullah Salim: 2004). Sampai kini impor minyak bumi Indonesia sudah melebihi kuota ekspor

Hal ini dilakukan karena produksi minyak bumi Indonesia tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri (kebutuhan 1 juta barrel/hari, namun sejak tahun 2007 Indonesia mengimpor 250 ribu barrel/hari). Situasi krisis energi ini diperburuk dengan tak dipersiapkannya teknologi pengolah energi selain minyak bumi. Tingkat ketergantungan terhadap minyak bumi sudah sangat tinggi, padahal cadangan minyak kian menipis.

Dengan jumlah penduduk 203,3 juta jiwa lebih, diperkirakan tingkat kebutuhan energi di Indonesia yang akan mengalami lonjakan 2 kali lipat pada tahun 2025 nanti. Jika kini kebutuhan energi kita sebesar 4.028,4 PJ (Peta Joule), maka pada tahun 2025 nanti diperkirakan mencapai 8.145,6 PJ. Selama ini kebutuhan energi sebesar itu sebagian besar masih mengandalkan energi tak terbarukan, yaitu minyak (13%), batubara (45%), gas alam (27%) dan hanya 15% yang mengandalkan energi terbarukan. Disisi lain, sumber energy tak terbaharukan yang dimiliki Indonesia terus ditingkatkan jumlah eksportnya sehingga diperkirakan sepuluh tahun mendatang sumber minyak bumi Indonesia akan habis, dan disusul kelangkaan gas alam serta batubara.

Kelangkaan sumber-sumber energy tak terbaharukan yang bakal dihadapi Indonesia akan membawa dampak yang sangat serius, karena hingga saat ini pemerintah belum mengusahakan dengan optimal alternatif energy yang dapat menggantikannya.

Ketidakadilan Pembagian Energi

Indonesia memposisikan energi BBM (fosil) sebagai sumber pendapatan negara yang besar. Tahun 2001 sekitar 35-41% ditarik sebagai pendapatan negara. Implikasinya peningkatan laju eksploitasi sumber daya energi fosil dari kerjasama lintas negara menyedot sekitar 75% potensi minyak, 58% gas bumi dan batubara sekitar 70%. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan pangsa pasar dunia yang terdesak, maka yang terjadi adalah penghisapan besar-besaran pada daerah/negara yang kaya akan MIGAS dan terjebak masuk dalam lingkaran hutang negara-negara donor semisal IMF. Model pengelolaan politik - ekonomi ini akan berakibat pada kriris energi BBM sampai pada tingkat mengabaikan kebutuhan pokok rakyat yang paling mendasar.

Krisis yang melanda Indonesia hampir dalam beberapa dasawarsa ini bukti kegagapan pemerintah dalam mengelolah politik ekonomi untuk kesejahteraan rakyat. Pasar minyak mentah dunia menjadi alasan Indonesia tapi tidak memikirkan pengamanan aktivitas ekonomi rakyat lapis bawah. Artinya pengelolaan energi (cadangan dan pasokan) tidak menjadi fokus utama perhatian pemerintah terhadap basis ketahanan energi Indonesia.

Laporan Congressional Research Services (CRS) tahun 1985 dan 2003 kepada Komite Energi di Kongres AS menyebutkan jika tingkat pemakaian energi fosil masih terus seperti sekarang tanpa peningkatkan dalam efesiensi produksi penemuan cadangan baru atau peralihan ke cadangan-cadangan baru atau peralihan ke sumber-sumber energi alternatif inkonvensional maka cadangan sumber energi atau bahan bakar fosil sedunia khususnya minyak bumi diperkirakan hanya bertahan sampai 30-50 tahun lagi, (Effendy Syarif: 2004). 

Demikian pula laporan Kasubdin Konservasi Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral RI, Maryan Ayuni cadangan produksi minyak bumi Indonesia hanya bertahan hingga 10 tahun, gas alam 30 tahun, dan batubara 50 tahun. Cadangan berkurang, sementara konsumsi energi nasional meningkat pesat (rata-rata 10% per tahun). Hal itu merupakan peringatan yang sangat serius terhadap kita bukan semata ketakutan akan habisnya cadangan energi tapi jauh lebih mengkhawatirkan adalah dampak pemakaian dan ikutan lainnya .

Disisi lain, ketidakadilan dalam pembagaian sumber energi dunia antara negara kaya dan negara miskin, antara utara dan selatan, antara negara maju dan baru berkembang, antara bekas penjajah dengan bekas negara jajahannya. Tahun 1995, sekitar 5,7 milyar penduduk dunia dengan total energi adalah 362,24 kuadrilyun BTU (British Thermal Unit). Penduduk Amerika Utara dan seluruh Eropa yang hanya 20,1% dari total penduduk dunia mengkonsumsi 59,1% energi dunia, Afrika dan Amerika Latin yang 21,4% dari total penduduk dunia hanya mengkonsumsi 10,3%, Jepang sendiri yang hanya berpenduduk 2,2% dari total penduduk dunia mengkonsumsi 5,9% energi dunia, negara kaya timur tengah yang penduduknya 3,7% dari penduduk dunia, mengkonsumsi 4,6%. Bandingkan dengan gabungan negara-negara Asia Timur, Selatan dan Tenggara, Oceania dan Australia yang berpenduduk 53,6% dari total penduduk dunia hanya mengkonsumsi 20,7% energi dunia, lambang ketidakadilan global, (Effendy Syarif: 2004).

Hal itu dipengaruh kuat oleh para pemilik modal dan alat-alat produksi yang menghasilkan, mengatur dan menggunakan sumber-sumber energi utama dunia, polarisasi ketidakadilan global terhadap pembagian energi. Indonesia sendiri, dibuka ruang yang lebar terhadap pemodal mulai dari hulu ke hilir, terjadinya liberalisasi disektor minyak disusul pencabutan subsidi dan penetapan harga minyak dengan alasan dapat merangsang investor untuk berbisnis di sektor hilir menandakan negara kehabisan akal terutama melalui pertamina untuk melakukan proteksi harga dan jaminan ketersediaan energi untuk rakyat dilepaskan oleh negara kepada pemodal.

Kecendrungan Nasional

Tahun ini adalah tahun ‘ancang-ancang’ bagi banyak pihak yang terlibat atau menaruh harapan pada peristiwa-peristiwa politik. Ditahun ini terjadi konsolidasi dan tawar-menawar antar aktor dan parpol untuk memenangkan pemilihan legislatif dan pemilihan Presiden di tahun 2014. Politik uang juga merupakan satu peristiwa yang diprediksikan masih terjadi di tahun 2014 sehingga banyak partai di tahun ini menjalin hubungan diam-diam atau terang-terangan dengan pelaku bisnis, karena dari situ sumber pendanaan partai diharapkan mengucur. Bagi pelaku pertambangan minyak dan gas bumi, peluang ini dimanfaatkan dengan baik, dengan berbagai cara dan pendekatan, yang sangat sulit dibuktikan oleh publik. Tapi dapat diyakini kedekatan sektor bisnis dengan partai-partai sudah lama terjalin.

Bahkan disinyalir telah terjalin hubungan harmonis antara kelas komprador domestik tersambungkan dengan kepentingan perusahaan transnasional dan menjalin hubungan dengan partai berkuasa. Hampir semua partai saat ini memiliki aktor yang dapat dikategorikan sebagai bagian dari kelas komprador domestik. Mereka yang menjadi salah satu mesin uang bagi partai-partai besar, dan sebagian dari mereka adalah pelaku bisnis di sektor pertambangan, minyak dan gas, atau sumber daya alam lainnya.

Situasi politik semacam ini semakin menyulitkan terjadinya perubahan yang signifikan terhadap kebijakan-kebijakan negara yang diharapkan berpihak pada rakyat. Bahkan dalam banyak inisiatif perubahan kebijakan negara, terlihat bahwa wakil pemerintah dan wakil partai-partai yang duduk di parlemen tidak lagi berfikir cerdas bagi kepentingan rakyat, akan tetapi telah melakukan langkah-langkah blunder karena merancang kebijakan yang masuk dalam bingkai neo-liberalisasi ekonomi dan liberalisasi politik yang di dorong oleh IMF, Bank Dunia, Negara-negara utara serta pelaku bisnis domestik dan transnasional. Sebagai misal saat  pemerintah sedang menyiapkan perangkat perundang-undangan bidang penanaman modal (UU Penanaman modal asing). Kebijakan ini  sedang ditunggu-tunggu oleh pelaku bisnis karena pemerintah menjajikan insentif dan disinsentif pada pelaku bisnis, termasuk diberlakukan kembali tax-holiday.

Tidak itu saja, dalam rancangan UU Pertambangan waktu itu, dan pembaharuan agraria, Bank Dunia berperan penting baik terang-terangan seperti mendanai seminar atau lewat orang-orang yang sepaham dengan mereka sebagai konsultan. Betapa menyedihkan ketika seorang profesor dari universitas ternama saat itu, ia menjadi tim pembuat RUU Pertambangan waktu itu, disisi lain pada saat bersamaan dia juga menjadi konsultan hukum lingkungan disebuah perusahaan pertambangan. Tentu tidak sulit membayangkan kebijakan yang bakal lahir selain mengakomodasi kepentingan-kepentingan para pemodal.

Model yang saat ini dipakai tidak jauh beda dengan model yang dulu pernah diterapkan pada masa transisi dari orde lama ke orde baru. Saat itu Bank Dunia Group, beberapa negara-negara utara dan pelaku bisnis lain mendesain model ekonomi Indonesia yang dilegalkan dengan instrumen hukum. Di tahun 1967 banyak peraturan perundangan yang keluar sebagai tindak lanjutnya antara lain UU Kehutanan, UU Penanaman Modal Asing, atau UU Pertambangan. Dari regulasi yang ada seluruh instrumen ekonomi digerakkan, dan tulang punggungnya adalah ekstraksi sumber daya alam. Aksi rakyat diredam dengan kekuatan militer. Tidak heran jika masa itu banyak terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia.

Kecendrungan Global

Konstalasi politik dan ekonomi ditingkat global hingga hari ini lebih banyak didominasi oleh Amerika Serikat. Hampir bisa dipastikan perubahan politik dan ekonomi yang terjadi di semua belahan dunia sekarang tidak lepas dari pengaruh AS. Sebaliknya, perubahan ekonomi dan politik yang terjadi di AS akan berpengaruh terhadap perubahan secara keseluruhan.

Pemboman gedung WTC (11 September 2001) atau serbuan AS atas Irak, juga campur tangan AS di Libya---menewaskan Khadafi juga menelan ribuan nyawa manusia. Pemboman gedung WTC, dijadikan legitimasi AS untuk melakukan invasi ekonomi ke negara-negara selatan untuk terus bergantung kepadanya. Dengan dalih memerangi terorisme, AS bisa semaunya melakukan embargo ekonomi atau memutuskan bantuan ekonominya ke negara-negara yang dianggap tidak mau mendukung kebijakan perang melawan teroris itu. Yang terjadi kemudian adalah negara-negara selatan tidak bisa melepaskan ketergantungannya dari lembaga-lembaga penghutang seperti Bank Dunia Group, CGI, IMF dan ADB atau lembaga perbankan lain.

Dibalik semua dalih itu, sebenarnya AS punya kepentingan untuk menguasai dan terus mendominasi kekuatan ekonomi dunia. Invasi AS ke Irak atau ke Afganistan atau ke Libya, sebentar lagi Iran misalnya, belakangan terungkap bahwa pemenang tender migas di negara kaya minyak kedua dunia itu dikuasai oleh perusahaan-perusahaan migas asal AS seperti Exxon Mobil, Shell, Chevron-Texaco, dan sebagainya.

Kita tahu bahwa AS sebenarnya sedang dilanda krisis energi migas. Sadar dengan kondisi itu maka AS lebih memilih untuk melakukan invasi eksploitasi migas ke negara-negara yang dinilai memiliki cadangan migas melimpah. AS berharap, cadangan migas dalam negerinya bisa dihemat dan pada saatnya nanti negara-negara dunia ketiga yang belum memiliki kemampuan mengembangkan energi alternatif terbarukan akan tetap tergantung kepadanya.

Olehnya untuk tambang, minyak dan gas, perubahan global yang terjadi patut dilihat sebagai ancaman dimasa mendatang terhadap perubahan kearah negatif disitus-situs perubahan maupun secara nasional. Dominasi atas sumber daya alam oleh perusahaan-perusahaan transnasional yang berkolaborasi dengan kekuasaan negara-negara utara akan memaksa laju pengerukan di negara-negara selatan sesuai dengan keinginan negara-negara utara. Kontrol atas harga dan jalur distribusi pun dikendalikan oleh perusahaan transnasional. Skenario ini perlu dipandang sebagai bagian dari keberlanjutan dominasi utara terhadap negara-negara selatan.

Untuk melegalkan percepatan pengerukan tersebut berbagai institusi digunakan yang kemudian melahirkan berbagai inisiatif dan ditopang oleh berbagai instrumen yang dihasilkan.  

Sorotan dan tekanan publik yang menguat terhadap praktek pertambangan dari waktu-kewaktu akibat banyaknya fakta pertambangan merupakan aktivitas yang merusak, sarat dengan pelanggaran HAM, militerisasi dan penghancuran sumber-sumber kehidupan rakyat membuat pelaku pertambangan berusaha menciptakan image untuk ‘menghijaukan’ citranya. Lahirnya Global Mining Inisiative (GMI) dan MMSD (Mines, Minerals and Sustainable Development) menandai intensitas global pelaku pertambangan guna merubah citra buruk mereka. Berbagai pertemuan global menjadi ajang kampanye perusahaan tambang untuk menghijaukan citranya, salah satunya adalah di KTT pembangunan berkelanjutan.

Dalam Rencana Aksi Pembangunan Berkelanjutan misalnya disebutkan dengan jelas bagaimana pentingnya pertambangan dalam berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan. Salah satu cara yang digunakan meningkatkan pertanggung jawaban perusahaan (Corporate responsibility) dengan mendorong kalangan industri untuk meningkatkan kinerja sosial dan lingkungan melalui prakarsa-prakarsa sukarela, seperti kode etik (code of conduct) dan sertifikasi.

Padahal mengaitkan pertambangan dengan sesuatu yang berkelanjutan adalah hal yang tidak masuk akal. Tak hanya itu, untuk menjamin pendanaan mereka terhadap industri merusak terus berlanjut, lembaga pendanaan internasional macam Bank Dunia (World Bank) juga melakukan hal yang sama dengan memfasilitasi apa yang disebut sebagai Extraktif Industri Review (WB EIR). Hasil kajian industri ekstraktif ini terbukti Bank Dunia tidak menghentikan pendanaannnya bagi industri perusak seperti pertambangan minyak dan gas. Demikian juga dengan lembaga-lembaga lain yang bernaung dibawah Bank Dunia seperti MIGA, IBRD, IDA, dan IFC tetap mendanai proyek-proyek industri ekstraktif.

Proses EIR sejak awal memang sengaja digiring untuk menguntungkan pelaku-pelaku industri. Selain prosesnya yang tidak transparan, kesimpulan akhir dari kajian industri ekstraktif yang kemudian dipresentasikan dalam forum Pembangunan berkelanjutan di Johanesberg, Afrika Selatan beberapa waktu lalu memang lebih banyak mengakomodir kepentingan negara-negara maju dan para pemilik modal. Dalam konteks ini antara lembaga-lembaga keuangan internasional dengan pelaku industri terdapat hubungan mutualisme, keduanya saling mendapat keuntungan dari dilanggengkannya pendanaan terhadap industri ekstraktif. Seperti diketahui, salah satu penopang penting industri tambang adalah lembaga keuangan, lebih dari 50% modal pertambangan berasal dari pinjaman.

Bagi kita, kencenderungan dunia pertambangan ini menjadi ancaman serius, karena kasus-kasus yang selama ini tidak diselesaikan dengan baik, akan terus terabaikan. Kebijakan-kebijakan yang seharusnya dikeluarkan untuk merespon persoalan pertambangan, minyak dan gas akan terbengkalai atau diredesain berdasarkan kepentingan pemodal dan partai-partai politik yang sedang berkompetisi, peristiwa Bima dan Mesuji belakangan ini—fakta telanjang yang nyata adanya dihadapan kita, inilah potret buram dunia pertambangan.#