Jumat, 28 September 2012

"Tambang, ketidakadilan global"




Tragedi Bima 24/12, Mesuji April/2011 dan berbagai daerah lain Indonesia disektor pertambangan, menandaskan ketidakmampuan pemerintah dalam pengelolaan Sumber Daya Alam, sejak awal orde baru hingga kini, dan terus melahirkan masalah.

Dalam kebijakan dan praktek pertambangan, peran serta rakyat tidak mendapat tempat yang memadai. Rakyat tidak pernah terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari suatu aktivitas pertambangan. Bahkan rakyat tidak memiliki otoritas untuk menyetujui atau menolak suatu rencana penambangan yang akan berdampak pada wilayah hidup mereka. Bahkan dalam UU Pertambangan, rakyat diwajibkan untuk menyerahkan tanahnya jika ada kegiatan operasi pertambangan di wilayah tersebut. Jika rakyat berkeberatan, mereka dapat di dikenakan sanksi pidana. Dalam soal ganti rugi atas tanah, rakyat dipaksa untuk menerima jumlah yang telah ditetapkan sepihak oleh pemerintah dan perusahaan. Jika rakyat tidak menerimanya, pemerintah akan menitipkan uang kompensasi itu di pengadilan negeri dan dianggap kompensasi telah terjadi.

Pemerintah selalu berdalil, ucapan wellcome bagi pemodal untuk investasi disektor pertambangan, adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sebagai perbandingan, negara sub-Sahara di Afrika yang bergantung pada kekayaan mineral (tambang) maupun Negara Timur Tengah yang bergantung pada kekayaan minyak bumi digolongkan Bank Dunia sebagai negera miskin yang terbelit utang. Tahun 2004 (UNDP), menggariskan Papua dan NTB sebagai daerah paling buruk indeks pembangunan manusianya (HDI), padahal Papua dan NTB adalah negeri sejuta emas/tembaga.

Ketergantungan sebuah daerah pada kekayaan tambang memiliki hubungan negatif terhadap kelompok miskin di daerah bersangkutan. Yang dimaksud dengan “ketergantungan pada kekayaan tambang” adalah perbandingan ekspor mineral dengan Produk Domestik Bruto (PDB) daerah itu. Untuk menaksir keadaan kelompok miskin, salah satu tolak-ukur yang di pilih adalah Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI), suatu ukuran yang dikembangkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) yang menggabungkan data pendapatan per kapita dengan data kesehatan dan pendidikan di satu daerah.

Justru terbalik, daerah yang tidak bergantung pada tambang justru begitu makmur seperti Bali yang lebih sedikit penduduk miskinnya dibanding daerah yang kaya akan tambang tapi terpuruk seperti NTB dan Papua.

Apakah daerah-daerah dengan tingkat pendapatan yang hampir sama, tetapi berbeda tingkat ketergantungannya kepada kekayaan tambang, memiliki kinerja yang lebih baik atau lebih buruk dalam memenuhi kebutuhan kelompok miskin?. Bacaan kita, menemukan hubungan negatif yang kuat antara tingkat ketergantungan suatu negara terhadap kekayaan tambang dengan peringkat HDI. Semakin tinggi suatu daerah mengandalkan ekspor mineral/tambang, semakin buruk standar penghidupannya. Di sepanjang sejarah, negara-negara yang bergantung kepada kekayaan mineral mengalami kemunduran: semakin besar ketergantungan negara tersebut kepada mineral, semakin merosot peringkat HDI-nya, seperti Zambia, Zimbabwe dan Kazakhstan tergolong negara-negara yang mengalami kemunduran luar biasa.

***
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir bahan tambang kita dieksploitasi secara berlebihan untuk kepentingan ekspor semata dan bukan untuk kepentingan nasional yang mendesak. Akibatnya kita telah memasuki gerbang kelangkaan yang akan berakibat buruk bagi peradaban bangsa Indonesia di masa mendatang. Angka-angka berikut menunjukan betapa selama ini orientasi eksploitasi bahan tambang Indonesia hanya untuk kepentingan kepentingan negara lain. Hal ini dapat dilihat pada produksi mineral seperti Emas produksi sebesar 142.238 kg untuk ekspor ±73%, Perak 293.520 kg untuk ekspor ± 46%, Ferro Nikel 42306 mt untuk ekspor ± 88%. Sementara itu 74% Batu Bara kita di eksploitasi hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar Asia 60.235.631,70 ton, Eropa 9.936.175 ton dan Australia-Amerika 2.555.173 ton, di dalam negeri sendiri 39% Batu Bara dikosumsi oleh industri Listrik, Semen, Metallurgy, Pulp dan Briket berkisar 29.257.002,59 ton, (Departmen Energi dan Sumberdaya Mineral: 2003).

Untuk mendukung strategi obral murah kekayaan tambang di Indonesia pemerintah telah mengeluarkan izin kontrak karya 98 KK dan PKP2B 86 perusahaan (2003). Diluar itu, sebanyak 150 izin KK tumpang tindih dengan kawasan lindung. Alasan yang selalu digunakan adalah demi pemulihan ekonomi, padahal basis argumentasi itu telah kehilangan keabsahannya karena kontribusi pertambangan bagi ekonomi negara sangat kecil.

Disektor MIGAS, upaya pemerintah untuk terus menguras cadangan migas yang ada juga tidak kalah hebat. Sejak tahun 2003, pemerintah sedikitnya telah menawarkan 21 blok migas kepada para investor. Dari jumlah itu, 11 blok migas telah ditawarkan sejak pada bulan Agustus 2003 dan 10 blok lainnya ditawarkan pada bulan Oktober 2003. Saat ini, dari 60 cekungan minyak bumi yang dimiliki Indonesia 23 persen atau 14 cekungan sudah dieksplorasi dalam 30 tahun terakhir. Cadangan minyak bumi di 14 cekungan itu sudah terkuras habis dan tinggal tersisa sembilan miliar barrel. Dengan laju produksi minyak 1,3 juta barrel per hari, jumlah itu hanya mencukupi kebutuhan bahan bakar untuk tujuh tahun ke depan, (Nasrullah Salim: 2004). Sampai kini impor minyak bumi Indonesia sudah melebihi kuota ekspor

Hal ini dilakukan karena produksi minyak bumi Indonesia tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri (kebutuhan 1 juta barrel/hari, namun sejak tahun 2007 Indonesia mengimpor 250 ribu barrel/hari). Situasi krisis energi ini diperburuk dengan tak dipersiapkannya teknologi pengolah energi selain minyak bumi. Tingkat ketergantungan terhadap minyak bumi sudah sangat tinggi, padahal cadangan minyak kian menipis.

Dengan jumlah penduduk 203,3 juta jiwa lebih, diperkirakan tingkat kebutuhan energi di Indonesia yang akan mengalami lonjakan 2 kali lipat pada tahun 2025 nanti. Jika kini kebutuhan energi kita sebesar 4.028,4 PJ (Peta Joule), maka pada tahun 2025 nanti diperkirakan mencapai 8.145,6 PJ. Selama ini kebutuhan energi sebesar itu sebagian besar masih mengandalkan energi tak terbarukan, yaitu minyak (13%), batubara (45%), gas alam (27%) dan hanya 15% yang mengandalkan energi terbarukan. Disisi lain, sumber energy tak terbaharukan yang dimiliki Indonesia terus ditingkatkan jumlah eksportnya sehingga diperkirakan sepuluh tahun mendatang sumber minyak bumi Indonesia akan habis, dan disusul kelangkaan gas alam serta batubara.

Kelangkaan sumber-sumber energy tak terbaharukan yang bakal dihadapi Indonesia akan membawa dampak yang sangat serius, karena hingga saat ini pemerintah belum mengusahakan dengan optimal alternatif energy yang dapat menggantikannya.

Ketidakadilan Pembagian Energi

Indonesia memposisikan energi BBM (fosil) sebagai sumber pendapatan negara yang besar. Tahun 2001 sekitar 35-41% ditarik sebagai pendapatan negara. Implikasinya peningkatan laju eksploitasi sumber daya energi fosil dari kerjasama lintas negara menyedot sekitar 75% potensi minyak, 58% gas bumi dan batubara sekitar 70%. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan pangsa pasar dunia yang terdesak, maka yang terjadi adalah penghisapan besar-besaran pada daerah/negara yang kaya akan MIGAS dan terjebak masuk dalam lingkaran hutang negara-negara donor semisal IMF. Model pengelolaan politik - ekonomi ini akan berakibat pada kriris energi BBM sampai pada tingkat mengabaikan kebutuhan pokok rakyat yang paling mendasar.

Krisis yang melanda Indonesia hampir dalam beberapa dasawarsa ini bukti kegagapan pemerintah dalam mengelolah politik ekonomi untuk kesejahteraan rakyat. Pasar minyak mentah dunia menjadi alasan Indonesia tapi tidak memikirkan pengamanan aktivitas ekonomi rakyat lapis bawah. Artinya pengelolaan energi (cadangan dan pasokan) tidak menjadi fokus utama perhatian pemerintah terhadap basis ketahanan energi Indonesia.

Laporan Congressional Research Services (CRS) tahun 1985 dan 2003 kepada Komite Energi di Kongres AS menyebutkan jika tingkat pemakaian energi fosil masih terus seperti sekarang tanpa peningkatkan dalam efesiensi produksi penemuan cadangan baru atau peralihan ke cadangan-cadangan baru atau peralihan ke sumber-sumber energi alternatif inkonvensional maka cadangan sumber energi atau bahan bakar fosil sedunia khususnya minyak bumi diperkirakan hanya bertahan sampai 30-50 tahun lagi, (Effendy Syarif: 2004). 

Demikian pula laporan Kasubdin Konservasi Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral RI, Maryan Ayuni cadangan produksi minyak bumi Indonesia hanya bertahan hingga 10 tahun, gas alam 30 tahun, dan batubara 50 tahun. Cadangan berkurang, sementara konsumsi energi nasional meningkat pesat (rata-rata 10% per tahun). Hal itu merupakan peringatan yang sangat serius terhadap kita bukan semata ketakutan akan habisnya cadangan energi tapi jauh lebih mengkhawatirkan adalah dampak pemakaian dan ikutan lainnya .

Disisi lain, ketidakadilan dalam pembagaian sumber energi dunia antara negara kaya dan negara miskin, antara utara dan selatan, antara negara maju dan baru berkembang, antara bekas penjajah dengan bekas negara jajahannya. Tahun 1995, sekitar 5,7 milyar penduduk dunia dengan total energi adalah 362,24 kuadrilyun BTU (British Thermal Unit). Penduduk Amerika Utara dan seluruh Eropa yang hanya 20,1% dari total penduduk dunia mengkonsumsi 59,1% energi dunia, Afrika dan Amerika Latin yang 21,4% dari total penduduk dunia hanya mengkonsumsi 10,3%, Jepang sendiri yang hanya berpenduduk 2,2% dari total penduduk dunia mengkonsumsi 5,9% energi dunia, negara kaya timur tengah yang penduduknya 3,7% dari penduduk dunia, mengkonsumsi 4,6%. Bandingkan dengan gabungan negara-negara Asia Timur, Selatan dan Tenggara, Oceania dan Australia yang berpenduduk 53,6% dari total penduduk dunia hanya mengkonsumsi 20,7% energi dunia, lambang ketidakadilan global, (Effendy Syarif: 2004).

Hal itu dipengaruh kuat oleh para pemilik modal dan alat-alat produksi yang menghasilkan, mengatur dan menggunakan sumber-sumber energi utama dunia, polarisasi ketidakadilan global terhadap pembagian energi. Indonesia sendiri, dibuka ruang yang lebar terhadap pemodal mulai dari hulu ke hilir, terjadinya liberalisasi disektor minyak disusul pencabutan subsidi dan penetapan harga minyak dengan alasan dapat merangsang investor untuk berbisnis di sektor hilir menandakan negara kehabisan akal terutama melalui pertamina untuk melakukan proteksi harga dan jaminan ketersediaan energi untuk rakyat dilepaskan oleh negara kepada pemodal.

Kecendrungan Nasional

Tahun ini adalah tahun ‘ancang-ancang’ bagi banyak pihak yang terlibat atau menaruh harapan pada peristiwa-peristiwa politik. Ditahun ini terjadi konsolidasi dan tawar-menawar antar aktor dan parpol untuk memenangkan pemilihan legislatif dan pemilihan Presiden di tahun 2014. Politik uang juga merupakan satu peristiwa yang diprediksikan masih terjadi di tahun 2014 sehingga banyak partai di tahun ini menjalin hubungan diam-diam atau terang-terangan dengan pelaku bisnis, karena dari situ sumber pendanaan partai diharapkan mengucur. Bagi pelaku pertambangan minyak dan gas bumi, peluang ini dimanfaatkan dengan baik, dengan berbagai cara dan pendekatan, yang sangat sulit dibuktikan oleh publik. Tapi dapat diyakini kedekatan sektor bisnis dengan partai-partai sudah lama terjalin.

Bahkan disinyalir telah terjalin hubungan harmonis antara kelas komprador domestik tersambungkan dengan kepentingan perusahaan transnasional dan menjalin hubungan dengan partai berkuasa. Hampir semua partai saat ini memiliki aktor yang dapat dikategorikan sebagai bagian dari kelas komprador domestik. Mereka yang menjadi salah satu mesin uang bagi partai-partai besar, dan sebagian dari mereka adalah pelaku bisnis di sektor pertambangan, minyak dan gas, atau sumber daya alam lainnya.

Situasi politik semacam ini semakin menyulitkan terjadinya perubahan yang signifikan terhadap kebijakan-kebijakan negara yang diharapkan berpihak pada rakyat. Bahkan dalam banyak inisiatif perubahan kebijakan negara, terlihat bahwa wakil pemerintah dan wakil partai-partai yang duduk di parlemen tidak lagi berfikir cerdas bagi kepentingan rakyat, akan tetapi telah melakukan langkah-langkah blunder karena merancang kebijakan yang masuk dalam bingkai neo-liberalisasi ekonomi dan liberalisasi politik yang di dorong oleh IMF, Bank Dunia, Negara-negara utara serta pelaku bisnis domestik dan transnasional. Sebagai misal saat  pemerintah sedang menyiapkan perangkat perundang-undangan bidang penanaman modal (UU Penanaman modal asing). Kebijakan ini  sedang ditunggu-tunggu oleh pelaku bisnis karena pemerintah menjajikan insentif dan disinsentif pada pelaku bisnis, termasuk diberlakukan kembali tax-holiday.

Tidak itu saja, dalam rancangan UU Pertambangan waktu itu, dan pembaharuan agraria, Bank Dunia berperan penting baik terang-terangan seperti mendanai seminar atau lewat orang-orang yang sepaham dengan mereka sebagai konsultan. Betapa menyedihkan ketika seorang profesor dari universitas ternama saat itu, ia menjadi tim pembuat RUU Pertambangan waktu itu, disisi lain pada saat bersamaan dia juga menjadi konsultan hukum lingkungan disebuah perusahaan pertambangan. Tentu tidak sulit membayangkan kebijakan yang bakal lahir selain mengakomodasi kepentingan-kepentingan para pemodal.

Model yang saat ini dipakai tidak jauh beda dengan model yang dulu pernah diterapkan pada masa transisi dari orde lama ke orde baru. Saat itu Bank Dunia Group, beberapa negara-negara utara dan pelaku bisnis lain mendesain model ekonomi Indonesia yang dilegalkan dengan instrumen hukum. Di tahun 1967 banyak peraturan perundangan yang keluar sebagai tindak lanjutnya antara lain UU Kehutanan, UU Penanaman Modal Asing, atau UU Pertambangan. Dari regulasi yang ada seluruh instrumen ekonomi digerakkan, dan tulang punggungnya adalah ekstraksi sumber daya alam. Aksi rakyat diredam dengan kekuatan militer. Tidak heran jika masa itu banyak terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia.

Kecendrungan Global

Konstalasi politik dan ekonomi ditingkat global hingga hari ini lebih banyak didominasi oleh Amerika Serikat. Hampir bisa dipastikan perubahan politik dan ekonomi yang terjadi di semua belahan dunia sekarang tidak lepas dari pengaruh AS. Sebaliknya, perubahan ekonomi dan politik yang terjadi di AS akan berpengaruh terhadap perubahan secara keseluruhan.

Pemboman gedung WTC (11 September 2001) atau serbuan AS atas Irak, juga campur tangan AS di Libya---menewaskan Khadafi juga menelan ribuan nyawa manusia. Pemboman gedung WTC, dijadikan legitimasi AS untuk melakukan invasi ekonomi ke negara-negara selatan untuk terus bergantung kepadanya. Dengan dalih memerangi terorisme, AS bisa semaunya melakukan embargo ekonomi atau memutuskan bantuan ekonominya ke negara-negara yang dianggap tidak mau mendukung kebijakan perang melawan teroris itu. Yang terjadi kemudian adalah negara-negara selatan tidak bisa melepaskan ketergantungannya dari lembaga-lembaga penghutang seperti Bank Dunia Group, CGI, IMF dan ADB atau lembaga perbankan lain.

Dibalik semua dalih itu, sebenarnya AS punya kepentingan untuk menguasai dan terus mendominasi kekuatan ekonomi dunia. Invasi AS ke Irak atau ke Afganistan atau ke Libya, sebentar lagi Iran misalnya, belakangan terungkap bahwa pemenang tender migas di negara kaya minyak kedua dunia itu dikuasai oleh perusahaan-perusahaan migas asal AS seperti Exxon Mobil, Shell, Chevron-Texaco, dan sebagainya.

Kita tahu bahwa AS sebenarnya sedang dilanda krisis energi migas. Sadar dengan kondisi itu maka AS lebih memilih untuk melakukan invasi eksploitasi migas ke negara-negara yang dinilai memiliki cadangan migas melimpah. AS berharap, cadangan migas dalam negerinya bisa dihemat dan pada saatnya nanti negara-negara dunia ketiga yang belum memiliki kemampuan mengembangkan energi alternatif terbarukan akan tetap tergantung kepadanya.

Olehnya untuk tambang, minyak dan gas, perubahan global yang terjadi patut dilihat sebagai ancaman dimasa mendatang terhadap perubahan kearah negatif disitus-situs perubahan maupun secara nasional. Dominasi atas sumber daya alam oleh perusahaan-perusahaan transnasional yang berkolaborasi dengan kekuasaan negara-negara utara akan memaksa laju pengerukan di negara-negara selatan sesuai dengan keinginan negara-negara utara. Kontrol atas harga dan jalur distribusi pun dikendalikan oleh perusahaan transnasional. Skenario ini perlu dipandang sebagai bagian dari keberlanjutan dominasi utara terhadap negara-negara selatan.

Untuk melegalkan percepatan pengerukan tersebut berbagai institusi digunakan yang kemudian melahirkan berbagai inisiatif dan ditopang oleh berbagai instrumen yang dihasilkan.  

Sorotan dan tekanan publik yang menguat terhadap praktek pertambangan dari waktu-kewaktu akibat banyaknya fakta pertambangan merupakan aktivitas yang merusak, sarat dengan pelanggaran HAM, militerisasi dan penghancuran sumber-sumber kehidupan rakyat membuat pelaku pertambangan berusaha menciptakan image untuk ‘menghijaukan’ citranya. Lahirnya Global Mining Inisiative (GMI) dan MMSD (Mines, Minerals and Sustainable Development) menandai intensitas global pelaku pertambangan guna merubah citra buruk mereka. Berbagai pertemuan global menjadi ajang kampanye perusahaan tambang untuk menghijaukan citranya, salah satunya adalah di KTT pembangunan berkelanjutan.

Dalam Rencana Aksi Pembangunan Berkelanjutan misalnya disebutkan dengan jelas bagaimana pentingnya pertambangan dalam berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan. Salah satu cara yang digunakan meningkatkan pertanggung jawaban perusahaan (Corporate responsibility) dengan mendorong kalangan industri untuk meningkatkan kinerja sosial dan lingkungan melalui prakarsa-prakarsa sukarela, seperti kode etik (code of conduct) dan sertifikasi.

Padahal mengaitkan pertambangan dengan sesuatu yang berkelanjutan adalah hal yang tidak masuk akal. Tak hanya itu, untuk menjamin pendanaan mereka terhadap industri merusak terus berlanjut, lembaga pendanaan internasional macam Bank Dunia (World Bank) juga melakukan hal yang sama dengan memfasilitasi apa yang disebut sebagai Extraktif Industri Review (WB EIR). Hasil kajian industri ekstraktif ini terbukti Bank Dunia tidak menghentikan pendanaannnya bagi industri perusak seperti pertambangan minyak dan gas. Demikian juga dengan lembaga-lembaga lain yang bernaung dibawah Bank Dunia seperti MIGA, IBRD, IDA, dan IFC tetap mendanai proyek-proyek industri ekstraktif.

Proses EIR sejak awal memang sengaja digiring untuk menguntungkan pelaku-pelaku industri. Selain prosesnya yang tidak transparan, kesimpulan akhir dari kajian industri ekstraktif yang kemudian dipresentasikan dalam forum Pembangunan berkelanjutan di Johanesberg, Afrika Selatan beberapa waktu lalu memang lebih banyak mengakomodir kepentingan negara-negara maju dan para pemilik modal. Dalam konteks ini antara lembaga-lembaga keuangan internasional dengan pelaku industri terdapat hubungan mutualisme, keduanya saling mendapat keuntungan dari dilanggengkannya pendanaan terhadap industri ekstraktif. Seperti diketahui, salah satu penopang penting industri tambang adalah lembaga keuangan, lebih dari 50% modal pertambangan berasal dari pinjaman.

Bagi kita, kencenderungan dunia pertambangan ini menjadi ancaman serius, karena kasus-kasus yang selama ini tidak diselesaikan dengan baik, akan terus terabaikan. Kebijakan-kebijakan yang seharusnya dikeluarkan untuk merespon persoalan pertambangan, minyak dan gas akan terbengkalai atau diredesain berdasarkan kepentingan pemodal dan partai-partai politik yang sedang berkompetisi, peristiwa Bima dan Mesuji belakangan ini—fakta telanjang yang nyata adanya dihadapan kita, inilah potret buram dunia pertambangan.#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar