Selasa, 22 April 2014

"Pemuda Indonesia, generasi yang kosong"


28 Oktober 1928 – 28 Oktober 2013, usia 85 (delapan puluh lima) tahun pemuda-pemuda Indonesia dengan gagah berani mengikrarkan satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa--INDONESIA. Begitu bermakna Indonesia dimata kaum muda masa lalu. Nasionalisme dan demokrasi bergerak seiring dalam pergerakan nasional. Dimotori, digerakkan pemuda-pemuda progresif Indonesia. Indonesia maju, Indonesia bangkit, Indonesia jaya  ada dipundak pemuda, cetus Poernomowoelan berapi-api saat rapat pemuda Indonesia di Gedung Indonesisch Huis Kramat 28/10/1928.

Lagu Indonesia Raya (Wage Rudolf Supratman) diputar saat kongres dimulai, Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku--pengikat kesatuan Indonesia Raya dari Sabang hingga Merauke. Sebelum kongres ditutup, pemuda-pemuda Indonesia mencetuskan rumusan hasil kongres--begitu monumental bagi sejarah bangsa hingga kini. Rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah dan ikrar kesetiaan  ‘Pemuda - Pemuda untuk Indonesia’.

Menarik, ultah pemuda ke-85 kali ini berkenaan dengan kondisi bangsa yang morat marit. Pemuda era 1928, semangat nasionalisme kaum muda sebagai reaksi terhadap bangsa kolonial yang menjajah Indonesia begitu heroik, melahirkan hal monumental dalam ikrar 'Sumpah Pemuda'.

Milad pemuda tahun ini, semestinya melahirkan misi dan kompetensi kaum muda untuk menjawab situasi bangsa yang tidak menentu. Misi dalam konteks penyebab kaum muda dilahirkan, dan mengapa pemuda perlu melakukan sesuatu. Proses kaum muda dalam mengemban misi memiliki ciri dan spirit yang spesifik. Oleh karenanya hanya bisa dimengerti dan dikelolah dengan cara pandang dan konsep kaum muda yang bebas kepentingan dengan menorehkan sesuatu yang berarti bagi bangsa dan negara.

Kondisi obyektif kaum muda yang terwadah dalam berbagai organisasi dan berinduk pada KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia), tidak bisa dilepaskan dari berbagai kepentingan yang bertarung. Oleh karenanya gerakan kultural pemuda Indonesia ditahun-tahun terakhir menjadi kehilangan arah dan orentasi, karena pemuda kerap mengekor pada 'kepentingan' akhirnya menjadi sesuatu yang tidak menarik untuk disantap.

Hal itu menjadi alat ukur realitas baru, dan seolah dipercaya menjadi kiblat pada kesadaran baru kaum muda. Jika pemuda dahulu membangun harapan besar untuk Indonesia dengan berjuang merebut kemerdekaan, tapi tidak merasakan gesekan-gesekan lintas kepentingan seperti yang melanda kaum muda saat ini. Dilain sisi kaum muda saat ini walau diberi ruang kebebasan tapi mereka membangun kerangkeng yang besar pada dirinya, tanpa disadari  semua itu adalah kontradiksi dari peran dan orentasi sesungguhnya.

Oleh karenanya ketika peran kultural kaum muda hendak diarahkan dalam dinamika historis kebangsaan, sebuah tanda tanya dan kesangsian tiba-tiba muncul, mau bicara peran dan kepentingan siapa dan tentang apa?. Bukankah rumusan kaum muda Indonesia saat ini menampilkan mozaik yang dihimpit hiperalitas yang demikian rancu? Wajah generasi kita adalah gambaran tentang sebuah tanda tanya besar, seolah bopeng sebelah. Dititik ini, kebanyakan menyebutkan kaum muda telah kerasukan dengan apa yang disebut krisis kesadaran dan identitas diri.

Pemuda, pemimpin masa depan. Pemuda bukan sekedar pelanjut etape suatu kehidupan tanpa isi, tapi jauh dari itu arah dan masa depan Indonesia ada dipundak pemuda. Perjalanan pemuda menyatu dengan denyut nadi perjuangan bangsa, mulai dari pencarian identitas, pembentukan identitas hingga pada pemberian isi pada identitas, disini letak posisi pemuda Indonesia, pemberi ‘nilai’ atas sebuah kehidupan yang lebih luas.

Paham kebangsaan (nasionalis) tidak dilahirkan untuk mengusung sebuah kepentingan sempit; sebuah ras, agama, komunitas atau partai politik tertentu, melainkan untuk sesuatu yang dibayangkan, kata Ben Anderson.

Pemuda-pemuda Indonesia dari Aceh hingga Papua, dari pulau Nias hingga pulau Rote—antara satu dengan lainnya tidak saling kenal, tidak saling bertemu, tidak berjumpa secara fisik, berbeda suku bangsa, berbeda warna kulit, berbeda ideologi dan orentasi politik—tapi dalam benak masing-masing pemuda Indonesia punya ikatan emosional—comradeship; ada semangat persaudaraan horizontal, semangat memiliki satu merah putih, semangat memiliki satu Indonesia.

Inilah pemuda Indonesia, mereka siap dan rela berkorban demi ‘misi suci’ yang dibayangkan mewujudkan cita-cita luhur kebangsaan, cita-cita Indonesia maju, cita-cita Indonesia bersatu, cita-cita Indonesia sejahtera.

Realitas menggariskan Indonesia hari ini yang secara kasat mata, bangsa seolah berada ditebing kehancuran. Realitas itu memberikan beban mahal yang harus dipikul dipundak pemuda-pemuda Indonesia, untuk saat ini dan dimasa depan. Jika pemuda-pemuda Indonesia tidak menyadari, maka dipundak pemuda-pemuda Indonesia hari ini akan hadir menjadi ancaman buat bangsa dan Negara.

Pemuda Indonesia mesti membayangkan dengan cerdas masa depan Indonesia yang besar ini, sebab telah menjadi kemestian sejarah bahwa pemuda hadir untuk merespons segala unek-unek kebangsaan. Pemuda bukan hanya dikenal saat-saat digelarnya Kongres, Munas, Mubes dll, setelah itu hilang tak berkesan buat bangsa dan negara. Perlu ada sebuah keyakinan besar dalam diri pemuda dengan pikiran-pikiran baru, progresifitas baru dalam diri generasi, sekecil apapun getarannya akan tetap bermakna untuk Indonesia.

Walau demikian, optimis selalu ada, masih ada setitik harapan tersembunyi dibalik semua ini, pemuda Indonesia. Bukankah sejarah selalu bergerak linear, dan acap kali meledakkan momentum yang sulit diurai oleh akal sehat? Karena gerak nadi kehidupan bangsa saat ini tidak dan bukan sebatas teka-teki silang, hal yang tak bisa kita tebak tanpa kerja-kerja nalar yang cerdas, ia dan mereka bisa terbit pekan depan, selalu hadir dengan jawaban cerdas disaat-saat yang tak dijangkau oleh siapapun.

Untuk mengenang 85 tahun Sumpah Pemuda, menjelang se-abad kongres Pemuda Indonesia, pasti pemuda-pemuda Indonesia telah membayangkan masa depan Indonesia setelah hari ini. Pemuda Indonesia tentu tak ingin kehilangan momentum, tapi ingin menorehkan sesuatu yang monumental, atau nukhta-nukhta penting untuk sejarah bangsa, karena pemuda Indonesia tentu tak mau kehilangan identitas diri, jati diri dan pengisian diri, sebab jika ia melupakan itu, maka dihari depan ia dipermaklumkan sebagai generasi yang kosong. #

"Demokrasi Pasar"


Tahun 1998, kita menemukan titik balik, adanya political will untuk merombak sistem politik dan pemerintahan, salah satunya diperkenankan munculnya multi partai dalam sistem politik Indonesia. Era Soeharto, ia memainkan strategi partai dominan (single mayority) dan menguasai kekuasaan. Politisi yang diusung parpol (parlemen) hanya sebatas aksesoris, eksekutif mendominasi segala aspek kehidupan bahkan menjadi kekuatan hegemonik yang determinan.

Pasca 1998, setidaknya ada 3 (tiga) agenda bangsa yang mesti diselesaikan; disparitas dibidang ekonomi, reproduksi sosial dan demokratisasi dibidang politik.

Dalam konteks itu, parpol yang berhasil merebut kekuasaan dipemerintahan melalui Pemilu, harus mampu menyelesaikan keinginan dan cita-cita dimaksud. Kenyataan, partai pemenang dan berkuasa dianggap gagal dalam merestrukturisasi agenda-agenda besar bangsa, gagal melembagakan diri secara baik sebagai spirit dan implemetasi pembaharuan politik dan ekonomi bangsa.

Tugas parpol, merumuskan arah yang ingin dituju oleh bangsa, tentu bagi partai pemenang. Olehnya dalam sistem politik, parpol adalah pemegang kendali penting di kehidupan pemerintahan negara.

Jika arah bangsa itu dikendalikan partai, maka ideologi parpol memiliki posisi penting dalam membingkai kehidupan dan dinamika porpol. Karena ideologi digunakan sebagai dasar bagi seluruh partai ketika masuk ke arena pertarungan perebutan kekuasaan politik.

Parpol perlu menganut salah satu ideologi sebagai dasar perumusan visi, kebijakan dan program parpol dalam pencapaian tujuan dan cita-cita nasional. Di Amerika, kapitalisme liberal sebagai ideologi yang berkuasa (parpol pemenang), sosialisme demokrat di Swedia (parpol pemenang), kapitalisme di Cina (parpol pemenang). Ideologi ini perlu dianut parpol agar memiliki arah serta visi masa depan jika kelak berkuasa, mengarahkan biduk bangsa.

Di Indonesia, parpol bukan tidak memiliki ideologi, tapi tidak melakukan penguatan ideologi parpol kepada kader-kader partai terlebih kepada masyarakat pemilih (masyarakat memilih bukan karena partai tapi figur). Ideologi digunakan untuk merumuskan prinsip dasar cara berfikir dalam perumusan kebijakan nasional dan platform kebangsaan.

Parpol yang tidak jelas ber-ideologi, implikasinya bukan hanya berimbas pada tidak jelasnya arah pembangunan bangsa tapi berimbas pula pada kader-kader partai yang kelak menjadi pemimpin bangsa, akan terjebak sikap pragmatisme-materialisme, karena arah gerak setiap kader menjadi tidak terukur sesuai tujuan parpol.

Juga rakyat yang paling dirugikan, karena rakyat tidak bisa melihat negara dan bangsa ini mau dibawa ke mana oleh parpol yang berkuasa. Situasi ini menguntungkan elit parpol, sebab tidak perlu berpikir dan bekerja terlalu keras untuk memperoleh hasil jangka pendek maupun jangka panjang.

Resiko dari figur yang lebih memainkan peran dominan ketimbang parpol adalah berlaku sistem pasar, figur sebagai investasi dalam sistem politik. Berlaku sistem mekanisme pasar (demokrasi pasar) atau transaksi karena figur dijadikan sebagai barang dagangan. Trend ini menunjukkan figur yang populer lebih laris jual dibanding platform ideologis parpol. Artis-artis direkrut karena laris jual, konglomerat direbut ramai-ramai karena memiliki modal besar, disini letak kegagalan demokratisasi politik.

Fakta ini amat tragis jika pemimpin itu lahir dari pasar, lebih mengikuti selera pasar, tarif dan transaksi menjadi lebih penting dibandingkan bangunan ideologi parpol yang didorong untuk mencapai cita-cita kebangsaan.

Kondisi ini mestinya disadari karena parpol bukan hanya sekedar kendaraan politik, tapi parpol adalah alat untuk mencapai cita-cita pembangunan nasional. Jika kondisi ini dibiarkan, maka politik instan menjadi sistem dan jalan untuk merebut kekuasaan politik.

Hal ini bukan tanpa resiko, politik instan membawa dampak dan resiko pada perilaku figur yang labil, berpengaruh ketika ia terpilih, karena tidak ada kerangka idologis parpol yang mengakar pada kader-kader partai dan lebih-lebih kepada pemilih yang ditawarkan. #

"Objektifikasi Islam"


5 Februari 2014, HMI berusia 67 tahun (1947-2014). Di usia ini, semestinya HMI kembali ke khittah awal, khittah Islam yang rahmatan lil’alamin. Islam sebagai agama yang meng-cover kehidupan menyeluruh (semuanya) telah dibekali petunjuk (al-huda) untuk mengembangkan peradaban setinggi-tingginya dalam membentuk masyarakat disegala ruang dan waktu.

Karena Islam yang rahmatan lil’alamin itu, Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam sambutannya pada Milad pertama HMI di Djogjakarta tahun 1948, menumpahkan harapannya agar HMI bukan semata-mata Himpunan Mahasiswa Islam, tapi menjadi Harapan Masyarakat Indonesia.

Paling tidak HMI tidak sebatas melahirkan banyak kader setiap tahun, tapi dituntut melahirkan kualitas kader yang mampu mewarnai sejarah kebangsaan dan dapat melahirkan pemikiran Islam modern yang rahmatan lil’alamin (rahmat bagi semua), QS. Al-anbiya: 107.

Karena siapapun manusia akan datang menghadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai seorang hamba dan bertanggungjawab sejauh apa rahmat itu telah ia berikan kepada sesamanya. Keyakinan Islam dan prakteknya sejak awal hingga perkembangannya yang kontemporer, selalu diisi dengan keberagaman interpretasi dan ekspresi kepercayaan.

Islam sebagai agama fitrah, maka pokok-pokok ajaran Islam akan tumbuh dan berkembang sesuai fitrah manusia. Dengan demikian Islam dan ajarannya akan pula berkembang, memiliki daya adabtasi, terintegrasi dan berinteraksi dengan sistem hidup dan lingkungan budaya yang terus berkembang dan berubah setiap saat sesuai zaman.

Kuntiwijoyo (1993) pernah menawarkan pemikiran bagaimana mengubah Islam dari cara berfikir subyektif ke objektif. Dalam kerangka berfikir objektif itu, menurut Kunto tidak perlu pertimbangan-pertimbangan teologis tentang benar salahnya orang lain. Paradigma Kunto yang terkenal dengan pendekatan ‘objektifikasi’ mungkin menarik untuk dikembangkan. Objektifikasi yang dimaksudkan adalah eksternalisasi dari keyakinan tertentu yang tidak hanya dirasakan orang yang bersangkutan, tapi juga dirasakan orang lain sebagai sesuatu yang natural dan imanen.

Objektifikasi selalu mengandaikan universalisasi. Dalam pandangan kaum universalis dan objektifis, selalu ada kemungkinan untuk melakukan aplikasi umum dan dimanapun (general application) yakni tidak ada lagi distingsi antara manusia dan tempat tertentu.

Dalam objektifikasi itu, Arkoun maupun Edward Said menekankan pentingnya local knowledge yang membawa kita untuk kritis terhadap sebuah teks atau produk pengetahuan (yang diuniversalkan itu), lalu mengembalikannya kepada konteks, situasi atau kelokalannya. Dengan objektifikasi itu, proses pengetahuan menjadi realitas objektif, sehingga pengetahuan tersebut diakui komunitas. Proses pengetahuan yang terobjektifikasi digunakan dalam kegiatan pencarian terus menerus, sehingga menemukan kembali pengetahuan yang tersimpan dalam teks-teks normatif.

Objektifikasi itu dimaksudkan, proses menjabarkan konsep-konsep normatif-subjektif Islam menjadi formulasi-formulasi empiris-objektif yang terbuka dan inklusif (dari teks menuju konteks). Objektifikasi tidak sebatas persoalan keilmuan, karena salah satu tujuan utama adalah kontekstualisasi atas teks-teks agama dengan keadaan sosial atau dengan kata lain kenyataan hidup adalah konteks bagi keberagamaan (objektifikasi).

Objektifikasi ketika gagasan-gagasan normatif Islam ditampilkan sebagai nilai-nilai universal, bersifat publik, dan dijustifikasi secara rasional. Nilai-nilai tersebut layak diterima bukan karena ia berasal dari Islam tetapi karena nilai-nilai itu mengandung kebaikan (rahmatan lil’alamin).

Memaknai Islam

Menurut Willfred Cantwell Smith dalam bukunya On Understanding Islam (Mouton Publisher, The Hague, 1981), memberikan tiga karakteristik tentang Islam. Pertama, Islam bersifat pribadi (personal), sebagai kepercayaan seseorang secara aktif. Di sini, keseluruhan keberadaan seseorang terlibat, semacam transaksi, antara jiwanya dengan jagad. Hal ini menyangkut pengambilan keputusan yang bersifat pribadi dan tak teringkari. Penyerahan dirinya, apabila kita mengacu pada makna “Islam”, bersifat sangat khusus dan tersendiri, dibanding dengan keputusan orang lain.

Dalam kategori ini, Islam bukan sekedar nama dari suatu agama, melainkan jenis atau semacam komitmen dan sikap pribadi seseorang, yaitu “menyerahkan diri” pada sesuatu, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, (Tauhid).

Kategori kedua dan ketiga, bersifat impersonal. Yang kedua adalah Islam sebagai sistem keagamaan yang bersifat ideal, dan ketiga, Islam sebagai sistem keagamaan yang bersifat historis. Keduanya telah mengalami objektifikasi (objectified). Dimana Islam telah mengalami sistematisasi yang sifatnya rasional atau mengandung upaya rasionalisasi. Inilah yang disebut Lewis sebagai Islam yang telah diinterpretasikan. Lebih jauh lagi, Islam telah mengalami proses pelembagaan (institusionalized) dalam masyarakat.

Prof. Dr. P.A. Hoesein Djajadiningrat menyebutkan Islam berasal dari kata kerja aslama, yang berarti “menyerahkan diri, pasrah, tunduk, dan patuh”.

Dengan demikian Aslama adalah kata kerja, yang menyebut obyek, yaitu “diri” atau “jiwa”. Disini dapat diartikan kata aslama sebagai “menyerahkan dengan tulus hati” atau “mengikhlaskan”. Aslama agak berbeda dengan kata “Uslam” yang lebih diartikan sebagai sikap jiwa seseorang.

Dengan demikian Islam mengandung makna penyerahan diri, pasrah, tunduk, patuh oleh makhluk terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Hakikat dari kata penyerahan diri, pasrah, tunduk dan patuh (Islam) bukan hanya berlaku bagi hamba (umat) tetapi juga hakekat dari seluruh alam.

“Kemudian Dia menuju kelangit dan (langit) itu masih berupa asap, lalu Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi, “datanglah kamu berdua menurut perintahKu dengan patuh atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami datang dengan patuh”, Qs. Fushilat: 11.

Olehnya Islam bukan hanya berlaku pada manusia tapi seluruh makhluk dialam ini yang patuh dan menyerahkan diri semata kepada Tuhan. Karena semua manusia diciptakan dari bahan langit dan bumi (materi) dan manusia telah melakukan perjanjian dengan Tuhan sebelum tiba dibumi (immateri). Olehnya semua manusia memiliki fitrah yang sama, pasrah kepadaNya, Tuhan Yang Esa.

Dari arti diatas terkandung makna, Islam mengajarkan satu kesatuan dari semua yang menyerahkan diri, patuh, pasrah dan sujud kepadaNya. Dengan kepasrahan kepadaNya maka seseorang harus mengembangkan seluruh kepribadiannya secara menyeluruh. Karena Tuhan telah memberikan peringatan bahwa seluruh alam ini pasrah kepada Tuhan, sehingga semuanya dapat hidup serasi dan hidup dalam kedamaian dengan seluruh ciptaanNya, baik manusia dengan manusia maupun manusia dan ciptaaan lain.

Mengamalkan atau mempraktekkan ajaran Islam berikut nilai-nilainya secara universal, sama artinya dengan alam semesta yang berjalan mengikuti hukum-hukum Tuhan (sunnatullah), oleh karena Islam bersifat alami, natural, fitri. Jika manusia menentang kehendak Tuhan sama halnya dengan manusia itu tidak fitrawi, demikiam pula alam semesta.

Politik HMI

Politik HMI terkandung dalam tafsir tujuan, membentuk kualitas insan yang bernafas Islam. Oleh karnanya, politik HMI dalam setting sosio-kulturalnya adalah membumikan nilai-nilai keIslaman melalui penafsiran dan perumusan yang segar tentang gagasan Islam yang rahmatan lil’alamin. Dengan kata lain Islam yang diobjektifikasi, yakni ketika gagasan-gagasan normatif Islam ditampilkan sebagai nilai-nilai universal, bersifat publik dan dijustifikasi secara rasional untuk kemaslahatan orang banyak, bangsa dan negara.

Dalam kacamata sosiologi pengetahuan, Islam adalah bagian dari pengetahuan yang dimiliki oleh umat manusia. Bagi HMI, pengetahuan Islam diyakini bersumber dari Tuhan. Oleh karena itu kita mengimani al-Qur’an adalah firman-firman Tuhan. Al-Qur’an berbeda dengan fiqh. Fiqh (syari’at Islam) adalah buatan manusia yang menyandarkan diri pada al-Qur’an.

Semenjak sepeninggalan para Nabi dan Rasul, tidak ada otoritas yang punya hak untuk membenarkan bahwa tindakan atau cara berfikirnya adalah identik dengan kebenaran Tuhan. Olehnya, setiap orang berhak mencari kebebasan berfikir dalam keyakinannya sesuai fitrah. Dengan demikian setiap orang bebas melakukan abstraksi berfikir, dan tentu orang yang melakukan abstraksi berfikir adalah orang-orang yang mengemban misi pembaharuan.

Bagi HMI, menjelaskan kebenaran itu berasal dari Tuhan dan membiarkan manusia dengan kebebasannya untuk memilih, (QS. al-Kahfi: 18-29). Jadi hak yang diberikan Islam pada setiap orang atas kebebasan adalah mutlak sebagaimana haknya untuk hidup. Atau kebebasan adalah sama dengan hidup itu sendiri, tentu dipertanggungjawabkan.

Politik HMI tidak dimaksudkan untuk merebut kekuasaan sebagaimana difahami secara sempit. Politik HMI adalah menggerakan seluruh potensi berfikir untuk mewujudkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil’alamin. Agar dapat mewujudkan nilai-nilai diatas, maka disetiap jenjang perkaderan HMI selalu diarahkan pada proses rekayasa kearah pembentukan kader yang memiliki karakter, memahami nilai-nilai Islam secara universal, objektif dan berusaha untuk melakukan transformasi watak, dan kepribadian sebagai seorang kader yang benar-benar ber-Islam (HMI ber-Islam).

Olehnya, corak gerakan HMI lebih mementingkan substansi daripada literalis dan HMI selalu menunjukan bagaimana prinsip-prinsip kebenaran universal itu (Islam) dijadikan sebagai poros sistem kebaikan bersama umat manusia.

Islam berikut nilai-nilainya itu, jika dihayati dan kemudian menjadi metodologi HMI dalam mengimplementasikan misinya secara baik dan benar maka pada rana strategi, HMI telah menjadi agen dari misi profetik Islam. Dari pemahaman Islam yang subjektif menjadi objektif adalah untuk mencitrakan Islam kepada khalayak dan diaktualisasikan kedalam bahasa ilmu secara empiris dan bermanfaat bagi semua, bukan Islam yang mendatangkan ketakutan, bahaya dan malapetaka bagi umat manusia dan alam semesta. Seperangkat rumusan yang tepat selalu dikembangkan, agar HMI tidak terjebak pemahaman Islam dalam pengertian yang partikular.

Penyegaran pemikiran Islam yang lebih komprehensif dan mendalam diperlukan HMI, karena gagasan Islam tak pernah ditemukan dalam sebuah ruang hampa, melainkan selalu mengisi ruang hampa itu dengan tawaran dan gerakan intelektual yang lebih menarik, lebih segar dari seluruh gagasan-gagasan peradaban manusia yang terbaru, inilah dikatakan kemampuan HMI dalam memilih peran sejarah, peran yang sesuai dengan zamannya. Selamat Milad HMI ke-67, Yakin Usaha Sampai.#

"Kuota 30%, Diskriminasi terhadap Perempuan"


Indonesia Negara hukum, olehnya hukum sebagai dasar legalitas sekaligus sebagai syarat berfungsinya sebuah Negara. Asas legalitas menandaskan Negara memakai hukum, bukan kekuasaan sebagai kriteria keabsahannya.

Untuk mendapat legitimasi / keabsahannya dilakukan dengan cara demokrasi. Menurut faham demokrasi, Negara harus dilegitimasi dari kehendak mereka yang dikuasai. Dalam konteks ini, olehnya kita bicara tentang Pemilu (pemilihan umum). Pemilu adalah perwujudan demokrasi yang berkedaulatan rakyat.

Pemilu bahagian dari demokrasi, tapi bukan satu-satunya, karena Pemilu hanya salah satu bentuk perwujudan demokrasi dari bentuk-bentuk lain. Pemilu adalah metode Negara untuk merealisasikan kedaulatan rakyat.

Pemilu dan demokrasi bukanlah konsep yang sinonim, tapi Pemilu berkualitas dipandang sebagai salah satu ciri kritis bahwa bangsa itu demokratis. Kualitas atau tidak Pemilu ditentukan 3 (tiga) hal; Pertama, electoral proses yang didalam menyangkut struktur, peserta, penyelenggara dan mekanisme. Kedua, electoral laws yang menetapkan asas, tujuan, sistem dan dampak Pemilu. Ketiga, electoral formula yakni rumusan tentang pola dan mekanisme penentuan siapa atau Parpol mana yang akan jadi pemenang.

Karena Pemilu itu bersifat umum, olehnya semua warga tanpa diskriminasi ras, suku, agama, aliran pemikiran, aliran politik dan jenis kelamin berhak dipilih dan memilih, termasuk perempuan.

Penetapan kuota 30%

Penetapan kuota 30% untuk perempuan sebagaimana diatur Undang-undang disatu sisi adalah langkah maju, babak baru politik perempuan Indonesia, mendorong perempuan Indonesia untuk terlibat dalam dunia politik. Olehnya, pandangan selama ini bahwa politik adalah dunia milik laki-laki didekonstruksi menjadi strategi perjuangan semua warga Negara tanpa membeda-bedakankan termasuk jenis kelamin.

Pengaturan kuota 30% didasari argumentasi bahwa perempuan itu lemah atau dilemahkan oleh politik. Argumentasi itu tidak sepenuhnya tepat. Perempuan itu lemah atau dilemahkan bukan karena sistem politik tapi dipengaruhi oleh budaya (kebudayaan). Sistem politik Indonesia mengakui semua warga Negara sama, tidak ada pengkelasan warga Negara bahwa laki-laki sebagai warga Negara kelas satu dan perempuan sebagai warga Negara kelas dua dst.

Kebudayaan yang semestinya menjawab konstruksi sosial kita tentang posisi perempuan dalam masyarakat. Karena kita tidak bisa mengelak fakta, lapisan epistemik masyarakat kita masih bertipikal patriarkat yang membumi. Selama ini kesadaran politik perempuan rendah, itu karena masalah pra-politik, yakni sebuah masalah kebudayaan yang berdampak pada politik.

Membangkitkan kesadaran masyarakat untuk mendukung dan memilih calon perempuan dalam Pemilu berarti terlebih dahulu menghancurkan lapisan epistemik yang mengakar kuat secara patriarkat. Karena kebudayaan yang membentuk lapisan patriarkat, maka pola penghancuran dilakukan dengan jalan kebudayaan pula.

Persoalan mendasar yang mesti dijawab adalah konstruksi sosial tentang peran perempuan dalam masyarakat. Konstruksi sosial yang ada sekarang adalah penghalang kesederajatan perempuan dengan laki-laki. Dalam kebudayaan masyarakat patriarkat kedudukan perempuan dipandang rendah. Kaum perempuan tidak dipandang sebagai mitra sederajat dengan laki-laki. Hal itu kemudian mengokohkan dominasi laki-laki atas perempuan.

Perendahan martabat perempuan itu sudah berjalan dalam rentang waktu yang panjang, sejak zaman Yunani kuno. Oleh Aristoteles (384-322 SM) berteori tentang organisasi alamiah sebuah masyarakat bersistem hirarkhi yang terdiri dari subordinasi. Menurut Aristoteles, sesuai kodrat sangat pantas jiwa memerintah badan, tuan memerintah budak, dan laki-laki memerintah perempuan. Dualisme patriarkat inilah yang mesti ditolak dengan jalan kebudayaan yang radikal.

Fakta inilah kemudian dilawan dengan gerakan feminisme. Feminisme sebuah gerakan sosial yang berakar dari pengalaman kaum perempuan yang berjuang dan ingin bebas dari diskriminasi dan penindasan.

Praktis-pragmatis

Penetapan kuata 30% keterwakilan perempuan dipandang menantang. Pertanyaannya, apakah dengan affirmative action yang mengkuotakan 30% keterwakilan perempuan itu bisa terwujud sesuai harapan? Jangan sampai hanya menghasilkan apa sebaliknya dari yang diharapkan.

Pada sisi lain, pengkuotaan 30% perempuan adalah bentuk pragmatisme politik. Semangat pragmatisme adalah semangat yang mementingkan nilai kegunaan praktis dari apa yang ada sekarang bukan untuk masa depan.

Mengafirmasi keterlibatan perempuan dalam Undang-undang juga dipandang merendahkan perempuan. Bagaimana tidak, hanya untuk memenuhi syarat formal Undang-undang tentang kuota 30%, perempuan yang selama ini hanya sibuk dengan dunianya sebagai ibu rumah tangga yang tidak memiliki pengetahuan politik yang memadai dipaksa untuk bersedia dicalonkan hanya untuk memenuhi syarat formal Caleg yang diharuskan Undang-undang. Lain hal dengan perempuan yang selama ini telah berkecimpung jauh dalam dunia politik.

Penciptakan kuota 30% keterwakilan perempuan juga melahirkan ketergantungan baru. Perempuan bisa masuk politik tergantung belas kasih Undang-undang, ketergantungan kepada Undang-undang yang memberikan ruang. Begitu Undang-undang diubah dengan dihapusnya pasal pengkuotaan 30% tersebut, disaat itu lenyap pula perempuan dipanggung politik.

Pengkuotaan 30% juga dipandang bersifat sementara, sekedar membuka pintu keterlibatan perempuan dalam politik, sekalipun dilihat dari kacamata etika politik, Undang-undang itu dilahirkan sebagai bentuk diskriminatif terhadap perempuan. Karena tidak sejalan dengan asas similia similibus, bahwa semua orang memiliki kedudukan sama didepan hukum dan karena itu harus diperlakukan sama, equality befor the law dalam konsep rule of law dinegara-negara Anglo-saxon. Dalam sistem politik dan sistem hukum Indonesia, konstitusi dalam beberapa zaman tidak pernah melarang atau tidak pernah membatasi perempuan terlibat dalam politik.

Adalah paradoksal, kita mau mengatasi masalah diskriminasi perempuan tapi justru dilakukan dengan cara-cara yang diskriminasi. Inilah yang disebut keadilan formal. Padahal keadilan hukum harus mencakup aspek keadilan substansial, tidak harus prosedur benar berdasar Undang-undang, tapi bagaimana perempuan itu dimaklumi oleh kebudayaan sejajar dengan laki-laki dalam berbagai aspek.

Olehnya, nilai-nilai positif dari gerakan perempuan selama ini mesti dijadikan patokan untuk memberdayakan perempuan dengan merombak secara radikal sistem kebudayaan yang mengakar kuat dimaksud. Tanpa pemberdayaan dan merombak sistem kebudayaan itu, kita tidak bisa berharap banyak terhadap perempuan untuk terlibat dalam dunia politik sekalipun telah diharuskan Undang-undang, kecuali sekedar memenuhi syarat formal Undang-undang dimaksud.

Seksisme dan Androsentrisme

Agar perempuan disejajarkan dalam sistem, maka seksisme dan androsentrisme sebagai nilai yang mengakar dalam kebudayaan mesti dibongkar dengan sungguh-sungguh, dan itu telah dikampanyekan sejak lama dalam gerakan feminisme baik gerakan feminisme kultural, feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme sosialis maupun fenisme religius yang telah berlangsung sejak abad ke-19.

Melawan seksisme adalah gerakan yang menolak determinisme biologis sebagai dasar penentuan peran perempuan dalam pelbagai kehidupan masyarakat, politik, sosial, ekonomi dan budaya. Melawan androsentrisme yakni melawan segala sesuatu yang bertalian dengan kaum laki-laki menjadi hukum, sedang yang berpautan dengan perempuan hanyalah pengecualian. Kaidah kaum laki-laki adalah kaidah manusia.

Seksisme dan androsentrisme kemudian ditentang oleh Simone de Beaucoir, seorang filsof perempuan, yang mengatakan ‘perempuan adalah yang lain’. Kalimat ‘yang lain’ kemudian dihubungkan dengan filsafat dialektis Hegel bahwa sesuatu itu baru berarti kalau dia melibatkan yang lain atau yang bertentangan dengannya. Suami misalnya, hanya dapat dimengerti dalam kaitan dengan istri, demikian sebaliknya. Kesuamian seseorang laki-laki tidak bisa dimengerti dalam dirinya sendiri, melainkan hanya bisa dimengerti kaitan dengan yang lain yakni istri. Tanpa kehadiran istri kita tidak bisa memahami pengertian suami. Pengertian secara dialektis diatas menandaskan bahwa laki-laki dan perempuan adalah manusia sederajat yang saling mengandaikan.

Kerangka dasariah diatas kemudian dikesampingkan oleh kerja-kerja kebudayaan. Nilai-nilai seksisme dan androsentrisme ditanamkan dan berasal dari agama dan adat sedia kala. Oleh kebudayaan, perbedaan laki-laki dan perempuan berasal dari alam berasal. Perempuan sebagai istri sekaligus sebagai ibu melahirkan, sedangkan laki-laki itu kuat karena dilengkapi kesanggupan fisik dan bekerja secara lebih berat. Perbedaan karena penentuan alam dalam nilai kebudayaan ini harusnya dipakai untuk saling melengkapi, bukan untuk saling menindas. Perbedaan itu tidak hanya diterima tapi perlu digunakan sebagai harta yang dapat menantang dan membahagiakan. Jika perbedaan itu dihargai oleh kebudayaan, maka keduanya akan saling bergantungan antar keduanya.

Olehnya, masalah perempuan yang dihadapi saat ini bukan terletak pada sistem politik tapi adalah soal kebudayaan. Karena itu strategi yang tepat adalah tidak dengan affirmative action didalam sistem politik melalui Undang-undang tapi dengan affirmative action didalam dunia kebudayaan, agar perempuan tidak menjadi asing didunia politik, tidak diberlakukan secara diskriminatif, tidak dipandang praktis-pragmatis, tidak dilemahkan tapi mesti disejajarkan dengan melawan seksisme dan androsentrisme seperti yang telah lama dikampanyekan dalam gerakan feminisme.

Inilah salah satu tugas Negara, warga bangsa dan lebih-lebih kaum perempuan yang tengah berjuang agar diperlakukan secara adil oleh kebudayaan. Tanpa merombak kebudayaan yang mengakar kuat dinegeri ini, kita tidak bisa berharap banyak pada perempuan untuk dilibatkan secara paripurna dalam politik.#

"Demokrasi Teistis"


 
Indonesia Negara hukum, olehnya hukum sebagai dasar legalitas sekaligus sebagai syarat berfungsinya Negara. Asas legalitas menandaskan Negara memakai hukum, bukan kekuasaan sebagai kriteria keabsahannya. Untuk mendapat legitimasi dilakukan dengan cara demokrasi. Menurut faham demokrasi, Negara harus dilegitimasi dari kehendak mereka yang dikuasai. Olehnya diselenggarakan Pemimilihan Umum. Pemilu adalah perwujudan demokrasi yang berkedaulatan rakyat.

Pemilu berkualitas dipandang sebagai salah satu ciri kritis bahwa bangsa itu demokratis, tapi Pemilu dan demokrasi bukanlah konsep yang sinonim. Pemilu bahagian dari demokrasi, tapi bukan satu-satunya, karena Pemilu hanya salah satu bentuk perwujudan demokrasi dari bentuk-bentuk lain. Pemilu adalah metode Negara untuk merealisasikan kedaulatan rakyat.

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (hasil amandemen) menyebutkan; “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sesuai Undang-Undang Dasar.”  Rumusan ini mensyaratkan Indonesia negara berkedaulatan rakyat, bukan berkedaulatan negara.

Prinsip diatas berbeda dengan rumusan lama Pasal 1 ayat (2) UUD 45 : “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”  Rumusan lama itu rumusan tentang paham kedaulatan negara. Paham kedaulatan negara itu menghilangkan kedaulatan rakyat dan mensubordinasikan orang-perseorangan kebawah kepentingan bersama yang diwakili oleh negara.

Dengan kata “sepenuhnya” dalam rumusan lama, maka rakyat pada hakekatnya tidak lagi berdaulat. Diciptakan pengertian bahwa presiden adalah “mandataris” MPR, olehnya presidenlah yang berdaulat, penjelamaan semu dari kedaulatan rakyat.

Pasca amandemen pasal 1 ayat (2), kedaulatan telah berada ditangan rakyat, bukan lagi kedaulatan negara. Tetapi secara faktual, justru semakin tidak demokratis yang dialami oleh rakyat selaku pemegang kedaulatan. Demokrasi seolah difahami hanya sebatas hal teknis suksesnya Pemilu, hanya diliat dari sisi prosedural.

Demokrasi prosedural

Demokrasi prosedural hanya terbatas melihat mekanisme memilih wakil rakyat, memilih presiden/gubernur/walikota/bupati. Kualitas demokrasi hanya diukur dari suksesnya penyelenggaraan Pemilu secara reguler. Demokrasi prosedural semakin menjauhkan rakyat selaku pemilik kedaulatan.

Demokrasi prosedural di adopsi dari teori demokrasi Joseph Schumpeter dan Samuel P. Huntington yang menafsirkan demokrasi hanya terbatas sebagai mekanisme memilih pemimpin melalui Pemilu yang kompetitif dan adil. Oleh Samuel P. Huntington menyebutkan kualitas demokrasi diukur oleh pemilihan umum yang kompetitif, adil, jujur dan berkala dan partisipasi rakyat yang tinggi. Cita-cita mulia demokrasi direduksi menjadi sebatas hal yang prosedural dan teknis. Akibatnya, demokrasi hanya diwujudkan dalam pemilu.

Suara rakyat dibutuhkan hanya ketika datangnya momentum pemilu. Setelah itu, rakyat tidak lagi dihiraukan, kebijakan negara tidak lagi berpihak pada rakyat. Harga-harga melambung tinggi, pendidikan dan kesehatan dikomersialkan, kemiskinan dan pengangguran terjadi dimana-mana dan bahkan hampir absolut dinegeri ini. Jika demikian, maka demokrasi dalam cita-cita perlahan-lahan akan mati, itulah kelemahan dalam praktik demokrasi Indonesia.

Kelemahan lain yang menambah sisi buram demokrasi prosedural terletak pada absennya ideologi partai dalam berdemokrasi. Parpol yang tidak tegas ber-ideologi, bukan hanya berdampak pada tidak jelasnya arah perjalanan bangsa tapi berimbas pula pada kader-kader partai yang kelak menjadi pemimpin bangsa, akan terjebak oleh sikap pragmatisme-materialisme, karena arah gerak setiap kader menjadi tidak terukur.

Parpol yang tidak tegas berideologi indikatornya pada figur yang lebih memainkan peran dominan ketimbang parpol dilapangan, akibatnya berlaku sistem pasar dimana figur sebagai barang dagangan dalam sistem politik. Dengan itu, maka berlaku sistem transaksi, figur sebagai investasi. Figur yang semestinya sebagai panutan, tolak ukur bagi bangsa dan negara hanya bisa dihadirkan sebagai barang dagangan. Trend ini menunjukkan bahwa figur yang sudah populer lebih laris jual dibanding platform ideologis parpol.

Fakta ini menunjukkan parpol gagal dalam mendorong demokrasitisasi yang menjadi salah satu agenda penting bangsa, gagal mendorong figur untuk mengikuti fungsi ideologis partai untuk menjawab persoalan rakyat dan bangsa yang dihadapi. Kondisi ini mestinya disadari karena parpol bukan sekedar kendaraan politik, tapi parpol adalah alat untuk mencapai cita-cita demokrasi Indonesia. Kondisi ini, mendorong politik instan menjadi jalan pintas untuk merebut kekuasaan karena partai politik lebih suka menjual figur yang lebih laris daripada menawarkan ideologi partai yang kurang laku di pasar.

Demokrasi substansial

Demokrasi tidak sebatas dilihat dari sisi prosedural yang hanya mengatur kekuasaan negara, demokrasi tidak sebatas ditandai dengan suksesnya penyelenggaraan Pemilu secara reguler. Tapi demokrasi berkaitan dengan pemenuhan hak hidup setiap warga negara, memperoleh pekerjaan dan pendidikan yang layak, menjamin kepastian dan keadilan hukum. Artinya demokrasi itu tidak terletak pada apa, tapi untuk apa kekuasaan itu.

Demokrasi adalah jalan pemenuhan hak warga negara. Demokrasi dalam UUD 1945 adalah alat untuk menjalankan negara oleh rakyat. Negara harus mewujudkan kesejahteraan. Sejahtera berarti membentuk manusia berkualitas. Manusia berkualitas adalah ciri masyarakat bangsa yang mandiri. Masyarakat yang mandiri disegala bidang adalah cita-cita demokrasi Indonesia.

Adalah paradoks, tahun 2010 Indonesia menjadi negara yang mendapat prestasi sebagai negara demokrasi terbaik di Asia Tenggara, tapi kemiskinan, ketimpangan pemerataan pendapatan rata-rata, anak usia produktif tapi tidak sekolah, anak usia 9-15 tahun tapi putus sekolah, konflik horisontal dan vertikal, kekerasan terhadap pers/jurnalis dan korupsi terjadi dimana-mana dan cendrung meningkat. Kita sukses Pemilu, sukses secara prosedural  tapi secara substansial demokrasi Indonesia dipandang gagal.

Demokrasi Teistis

Diantara sistem-sistem pemerintahan yang ada, sistem demokrasi oleh banyak negara dianggap paling baik. Pandangan kita, bukan soal demokrasi atau monarki atau apa, melainkan terletak pada prinsip musyawarah dalam setiap urusan pengambilan keputusan. Pandangan ini berangkat dari rapuhnya lembaga-lembaga Negara yang gagal dalam memenuhi hak-hak dasar warga negara. Demokrasi Indonesia justru mengarah pada otoritarianisme mayoritas karena terlalu liberalnya demokrasi Indonesia, hal inilah membuat keputusan sulit diambil secara musyawarah mufakat untuk menentukan yang terbaik dari pilihan-pilihan yang ada.

Konsep demokrasi Indonesia lebih menitikberatkan pada aspek kuantitas (suara terbanyak), berbeda dengan demokrasi teistis (demokrasi berketuhanan) yang lebih menitikberatkan pada pendekatan nilai melalui musyawarah. Ditengah carut marutnya demokrasi Indonesia, demokrasi teistis adalah upaya mencari keterkaitan antara demokrasi teistis dan konsep demokrasi secara luas.

Demokrasi itu sistem, mekanisme, cara, wahana, dia bukan tujuan. Karena itu, dia memerlukan sesuatu diluar dirinya untuk mengarahkan/membimbing. Demokrasi membutuhkan sistem nilai yang tidak bisa ditarik begitu saja dari dirinya sendiri, tapi harus ditambahkan dari sumber lain, agar tujuan bernegara bisa dicapai.

Ada beberapa dimensi penting dalam demokrasi teistis, salah satu adalah dimensi Akhlak. Pasal 29 UUD 1945 pada hakekatnya mendukung keberadaan dimensi Akhlak (bukan sembarang akhlak tapi akhlak yang mulia). Dengan Akhlak mulia akan menjadi the man behind the gun yaitu orang-orang yang menjalankan pembangunan. Manusia-manusia berakhlak mulia adalah manusia potensial yang diperlukan untuk melakukan perubahan, manusia-manusia yang berhasil menyerap sifat-sifat Tuhan didalam dirinya.

Olehnya, dengan carut marutnya demokrasi Indonesia, demokrasi teistis (demokrasi berketuhanan) dengan pendekatan nilai-nilai ada baiknya mendapat tempat dalam diskursus demokrasi Indonesia sesuai tuntutan dan perkembangan zaman, semoga.#


"Hukum Progresif"




Hukum progresif yang dikembangkan dari pemikiran orisinil Prof. Satjipto Rahardjo yang menyandingkan kepastian dan keadilan hukum berkembang luas dikalangan cendikiawan dan praktisi hukum, dan dikenal sebagai hukum modern.

Hukum itu bagian dari manusia, bukan bagian dari Negara. Hukum lahir dari hakikat manusia untuk memanusiakan dirinya dalam hidup bersama didalam Negara. Karena manusia dalam hidupnya selalu dinamis, berubah dan berkembang maka hukum juga bersifat dinamis, berubah dan berkembang. Hukum yang dinamis dan berubah itulah oleh Prof. Satjipto Raharjo dinamakan hukum “mengalir”. 

Jika dilacak istilah hukum “mengalir”, hasil pemikiran besar Prof. Satjipto Raharjo yang menggagas hukum progresif, istilah “mengalir” itu diambil dari filsafat “pantha rei” dari filsuf Yunani kuno, Heraklitos. 

Pantha Rei adalah jawaban Heraklitos  terhadap pertanyaan fundamental dalam filsafat, apa yang merupakan dasar  terdalam dari realitas atau apa yang membuat sesuatu itu menjadi benar-benar real “ada” sehingga dibedakan dari yang mungkin saja?

Ada 2 (dua) jawaban dalam menjawab pertanyaan diatas; Pertama, yang paling real adalah ketidaktepatan karena tidak ada sesuatu didunia ini yang tetap, tetapi selalu berubah. Kedua, yang paling real bukan ketidaktepatan tetapi ketetapan, jadi yang tinggal tetap itulah yang paling real.

Jika lebih dalam, sebenarnya patha rei Heraklitos memiliki esensi seperti jawaban kedua, yang mengatakan yang tinggal tetap itulah yang paling real. Berubah artinya tidak tetap, dan karena tidak tetap itu terus menerus, maka sebenarnya yang terjadi adalah tidak tetap itu tetap. Selalu tidak tetap berarti tetap tidak tetap. Karena itu menurut Heraklitos, perubahan adalah dasar terdalam dari realitas.

Permenides menolak perubahan sebagai dasar terdalam dari realitas. Bagi Permenides, “ada” itu inti dari realitas. Segala apa saja memiliki arti sejauh sesuatu itu “ada”. Sesuatu ada atau tidak ada, kalau tidak ada maka tidak ada arti dan tidak ada guna untuk kita memikirkannya. Kalau ada itu ditiadakan, maka segala yang disebutkan (ada) tidak terjadi atau tidak ada.  Dasar terdalam ada bukan perubahan. Segala sesuatu yang lain menjadi ada karena adalah dasarnya.

Akan tetapi, “ada” itu tidak dapat berubah, karena berubah berarti menjadi lain. Tapi, tidak ada yang lain selain dari yang ada. Oleh Permenides, “ada” dapat berubah hanya terdapat 2 (dua) kemungkinan; Pertama, ada dapat berubah menjadi ada. Kedua, ada dapat berubah menjadi tidak ada. Akan tetapi, ada itu tidak dapat menjadi ada sebab dia sudah ada.  Dan ada tidak dapat menjadi tidak ada sebab dalam hal itu ia sudah tidak ada, dan kalau sudah tidak ada  maka tidak ada guna lagi kita memikirkannya. Atas dasar itu, Permenides menyimpulkan bahwa perubahan itu tidak real, yang real hanya “ada”. 

Oleh Heraklitos mengakui perubahan sebagai dasar dari segala realitas. Karena tidak ada realitas yang tetap  melainkan selalu berubah. Yang tetap hanya satu hal yakni perubahan. Segalanya mengalir bagaikan air (pantha rei). Perubahan adalah kenyataan yang paling nyata dan merupakan hukum yang paling dasariah dari realitas. Tapi bagi Heraklitos, yang paling jelas bukan “ada” tetapi perubahan, karena perubahan itu terjadi dengan terus menerus. Tidak tetap itu berlangsung terus. Jadi tidak tetap itu tetap.

Kembali kepada Pantha Rei bahwa segalanya berubah. Tetapi, kalau segalanya terus berubah, selalu berada dalam proses menjadi lain, maka pengetahuan manusia menjadi tidak mungkin, sebab yang dapat dikenal hanyalah yang ada. Lagi pula pantha rei ini justru menghapus kemungkinan perubahan itu sendiri. Padahal yang ditangkap oleh pengalaman kita, betul perubahan, akan tetapi bukan perubahan murni, melainkan perubahan dari sesuatu. Jadi ada sesuatu yang berubah. 

Dari pemikiran itu maka dapat ditarik; Pertama, tidak ada oposisi mutlak antara ada dan perubahan, sehingga tidak perlu disangkal adanya perubahan yang hanya membuktikan bahwa realitas itu dari ada. Kedua, segala yang berubah adalah terbatas dalam adanya. Keterbatasan itu terletak dalam kenyataan bahwa sesuatu itu memperoleh suatu sifat atau ciri baru. 

Prof. Rahardjo mendasarkan hukum progresif  bahwa hukum itu mengalir. Ia mendasarkan diri pada filsafat hukum progresif pada realitas perubahan. Manusia adalah salah satu realitas di alam ini, dan karenannya itu ia mengalir dan berubah. Karena hukum itu bagian dari manusia atau bagian dari kehidupan manusia, makanya hukum juga mengalir. Hukum itu berubah mengikuti perkembangan hidup manusia. Manusia baik secara individu maupun sosial adalah makhluk yang tidak sempurna. Karena tidak sempurnanya itu memungkinkan manusia selalu berubah atau berkembang. Fakta keterbatasan itulah titik tolak Rahardjo dalam membangun pemikiran tentang hukum progresifnya.

Dekonstruksi hukum progresif Rahardjo dilakukan dalam rangka menemukan keadilan, karena keadilan adalah unsur konstitutif dari hukum. Kehilangan nilai keadilan dari hukum adalah kehilangan hukum itu sendiri. Dengan demikian hukum progresif oleh Rahardjo menghubungkan secara mutlak antara hukum dan keadilan, begitu kita menamakan sesuatu itu hukum, ketika itu juga kita memikirkan keadilan sebagai konsekwensinya. 

Bagi kaum legalis, konsekwensi logis dari kehadiran hukum adalah kepastian hukum, keadilan tidak menjadi sesuatu yang orisinil. Oleh Rahardjo menyandingkan kepastian hukum dan keadilan jalan beriringan sebagai satu nilai fundamental dalam hukum.

Menurut Rahardjo, hukum itu diadakan oleh manusia untuk kepentingan manusia, yakni kepentingan keadilan. Dalam rangka keadilan itu maka Rahardjo berbicara tentang apa yang disebut keterpurukan keadilan. Maksudnya, kita selalu dituntut untuk bersikap tepat dihadapan ketidakterbatasan orang-orang kongkrit yang kepada mereka hukum itu dijalankan. 

Karena keadilan itu bagian dari manusia maka begitu hakiki keadilan itu berarti bagi manusia. Olehnya jika penegakkan hukum membuat keadilan semakin jauh dari hukum maka kita harus berani melakukan dekonstruksi hukum, karena jangan sampai hukum itu ditegakkan dengan mengabaikan keadilan. Jika mengabaikan keadilan, maka hukum itu sendiri dibuat menjadi cacat, jika cacat maka hukum menjadi tidak berguna bagi manusia.

Olehnya hukum ditegakkan dengan paradigma dan karakter progresif. Hukum hanya pantas dipandang sebagai hukum manakala hukum tidak menentang keadilan. Bahkan bukan hukum namanya kalau tidak adil. Hukum yang tidak adil praktis kehilangan arti sebagai hukum meskipun sebagai peraturan harus ditaati. Hanya saja, ketaatan pada peraturan bukan karena peraturan memiliki kekuatan hukum (esensi) melainkan ia ditetapkan oleh penguasa. Hukum yang ditetapkan oleh penguasa menjadi hukum bukan atas dasar hukum adalah hukum yang konservatif.

Pemikiran Prof Rahardjo itu sebagai pukulan terhadap penegak hukum dan cara kita berhukum sekarang ini. Karena kita bangga dengan membuat banyak hukum, padahal banyak hukum yang kita buat tidak layak disebut sebagai hukum karena absennya keadilan ditengah penegakkan hukum.#