Indonesia Negara
hukum, olehnya hukum sebagai dasar legalitas sekaligus sebagai syarat
berfungsinya Negara. Asas legalitas menandaskan Negara memakai hukum, bukan
kekuasaan sebagai kriteria keabsahannya. Untuk mendapat legitimasi dilakukan
dengan cara demokrasi. Menurut faham demokrasi, Negara harus dilegitimasi dari
kehendak mereka yang dikuasai. Olehnya diselenggarakan Pemimilihan Umum. Pemilu
adalah perwujudan demokrasi yang berkedaulatan rakyat.
Pemilu berkualitas
dipandang sebagai salah satu ciri kritis bahwa bangsa itu demokratis, tapi
Pemilu dan demokrasi bukanlah konsep yang sinonim. Pemilu bahagian dari
demokrasi, tapi bukan satu-satunya, karena Pemilu hanya salah satu bentuk
perwujudan demokrasi dari bentuk-bentuk lain. Pemilu adalah metode Negara untuk
merealisasikan kedaulatan rakyat.
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (hasil
amandemen) menyebutkan; “Kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan sesuai Undang-Undang Dasar.” Rumusan ini mensyaratkan Indonesia negara
berkedaulatan rakyat, bukan berkedaulatan negara.
Prinsip diatas berbeda dengan rumusan lama
Pasal 1 ayat (2) UUD 45 : “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Rumusan lama itu rumusan tentang paham
kedaulatan negara. Paham kedaulatan negara itu menghilangkan kedaulatan rakyat
dan mensubordinasikan orang-perseorangan kebawah kepentingan bersama yang
diwakili oleh negara.
Dengan kata “sepenuhnya” dalam rumusan lama, maka rakyat pada hakekatnya tidak
lagi berdaulat. Diciptakan pengertian bahwa presiden adalah “mandataris” MPR,
olehnya presidenlah yang berdaulat, penjelamaan semu dari kedaulatan rakyat.
Pasca amandemen pasal 1 ayat (2), kedaulatan telah berada ditangan rakyat,
bukan lagi kedaulatan negara. Tetapi secara faktual, justru semakin tidak
demokratis yang dialami oleh rakyat selaku pemegang kedaulatan. Demokrasi
seolah difahami hanya sebatas hal teknis suksesnya Pemilu, hanya diliat dari
sisi prosedural.
Demokrasi prosedural
Demokrasi
prosedural hanya terbatas melihat mekanisme memilih wakil rakyat, memilih
presiden/gubernur/walikota/bupati. Kualitas demokrasi hanya diukur dari
suksesnya penyelenggaraan Pemilu secara reguler. Demokrasi prosedural semakin
menjauhkan rakyat selaku pemilik kedaulatan.
Demokrasi
prosedural di adopsi dari teori demokrasi Joseph Schumpeter dan Samuel P.
Huntington yang menafsirkan demokrasi hanya terbatas sebagai mekanisme memilih
pemimpin melalui Pemilu yang kompetitif dan adil. Oleh Samuel P. Huntington menyebutkan
kualitas demokrasi diukur oleh pemilihan umum yang kompetitif, adil, jujur dan
berkala dan partisipasi rakyat yang tinggi. Cita-cita mulia demokrasi direduksi
menjadi sebatas hal yang prosedural dan teknis. Akibatnya, demokrasi hanya
diwujudkan dalam pemilu.
Suara
rakyat dibutuhkan hanya ketika datangnya momentum pemilu. Setelah itu, rakyat tidak
lagi dihiraukan, kebijakan negara tidak lagi berpihak pada rakyat. Harga-harga
melambung tinggi, pendidikan dan kesehatan dikomersialkan, kemiskinan dan
pengangguran terjadi dimana-mana dan bahkan hampir absolut dinegeri ini. Jika
demikian, maka demokrasi dalam cita-cita perlahan-lahan akan mati, itulah
kelemahan dalam praktik demokrasi Indonesia.
Kelemahan lain yang
menambah sisi buram demokrasi prosedural terletak pada absennya ideologi partai
dalam berdemokrasi. Parpol yang tidak tegas ber-ideologi, bukan hanya berdampak pada tidak jelasnya arah perjalanan bangsa tapi berimbas pula pada kader-kader partai yang kelak menjadi pemimpin
bangsa, akan terjebak oleh sikap pragmatisme-materialisme, karena arah gerak setiap kader
menjadi tidak terukur.
Parpol yang tidak tegas berideologi indikatornya pada figur yang lebih memainkan peran dominan ketimbang parpol dilapangan, akibatnya berlaku sistem pasar dimana figur sebagai barang dagangan dalam sistem politik. Dengan itu, maka berlaku sistem transaksi, figur sebagai investasi. Figur yang semestinya sebagai panutan, tolak ukur bagi bangsa dan negara hanya
bisa dihadirkan sebagai barang dagangan. Trend ini menunjukkan bahwa figur yang sudah populer lebih laris jual dibanding platform ideologis parpol.
Fakta ini menunjukkan parpol gagal dalam mendorong demokrasitisasi
yang menjadi salah satu agenda penting bangsa, gagal mendorong figur untuk mengikuti fungsi ideologis partai untuk menjawab
persoalan rakyat dan bangsa yang dihadapi. Kondisi ini mestinya disadari karena parpol bukan sekedar kendaraan politik, tapi parpol adalah alat untuk mencapai cita-cita demokrasi
Indonesia. Kondisi ini, mendorong politik instan menjadi jalan pintas untuk merebut kekuasaan karena partai politik lebih suka menjual figur yang lebih
laris daripada menawarkan ideologi partai yang kurang laku di pasar.
Demokrasi
substansial
Demokrasi tidak sebatas dilihat dari sisi prosedural yang hanya mengatur
kekuasaan negara, demokrasi tidak sebatas ditandai dengan suksesnya
penyelenggaraan Pemilu secara reguler. Tapi demokrasi berkaitan dengan
pemenuhan hak hidup setiap warga negara, memperoleh pekerjaan dan pendidikan
yang layak, menjamin kepastian dan keadilan hukum. Artinya demokrasi itu tidak
terletak pada apa, tapi untuk apa kekuasaan itu.
Demokrasi adalah jalan pemenuhan hak warga negara. Demokrasi dalam UUD 1945 adalah
alat untuk menjalankan negara oleh rakyat. Negara harus mewujudkan
kesejahteraan. Sejahtera berarti membentuk manusia berkualitas. Manusia
berkualitas adalah ciri masyarakat bangsa yang mandiri. Masyarakat yang mandiri disegala bidang adalah cita-cita demokrasi
Indonesia.
Adalah paradoks, tahun 2010 Indonesia menjadi
negara yang mendapat prestasi sebagai negara demokrasi terbaik di Asia
Tenggara, tapi kemiskinan, ketimpangan pemerataan pendapatan rata-rata, anak
usia produktif tapi tidak sekolah, anak usia 9-15 tahun tapi putus sekolah, konflik
horisontal dan vertikal, kekerasan terhadap pers/jurnalis dan korupsi terjadi
dimana-mana dan cendrung meningkat. Kita sukses Pemilu, sukses secara
prosedural tapi secara substansial demokrasi
Indonesia dipandang gagal.
Demokrasi Teistis
Diantara
sistem-sistem pemerintahan yang ada, sistem demokrasi oleh banyak negara dianggap
paling baik. Pandangan kita, bukan soal demokrasi atau monarki atau apa,
melainkan terletak pada prinsip musyawarah dalam setiap urusan pengambilan
keputusan. Pandangan ini berangkat dari rapuhnya lembaga-lembaga Negara yang
gagal dalam memenuhi hak-hak dasar warga negara. Demokrasi
Indonesia justru mengarah pada otoritarianisme mayoritas karena terlalu
liberalnya demokrasi Indonesia, hal inilah membuat keputusan sulit diambil
secara musyawarah mufakat untuk menentukan yang terbaik dari pilihan-pilihan
yang ada.
Konsep demokrasi Indonesia
lebih menitikberatkan pada aspek kuantitas (suara terbanyak), berbeda dengan demokrasi
teistis (demokrasi berketuhanan) yang lebih menitikberatkan pada pendekatan nilai
melalui musyawarah. Ditengah carut marutnya demokrasi Indonesia, demokrasi
teistis adalah upaya mencari keterkaitan antara demokrasi teistis dan konsep demokrasi
secara luas.
Demokrasi itu
sistem, mekanisme, cara, wahana, dia bukan tujuan. Karena itu, dia memerlukan
sesuatu diluar dirinya untuk mengarahkan/membimbing. Demokrasi membutuhkan
sistem nilai yang tidak bisa ditarik begitu saja dari dirinya sendiri, tapi
harus ditambahkan dari sumber lain, agar tujuan bernegara bisa dicapai.
Ada beberapa dimensi penting dalam demokrasi teistis, salah satu adalah dimensi
Akhlak. Pasal 29 UUD 1945 pada hakekatnya mendukung keberadaan dimensi Akhlak
(bukan sembarang akhlak tapi akhlak yang mulia). Dengan Akhlak mulia akan
menjadi the man behind the gun yaitu orang-orang yang menjalankan
pembangunan. Manusia-manusia
berakhlak mulia adalah manusia potensial yang diperlukan untuk melakukan
perubahan, manusia-manusia yang berhasil menyerap sifat-sifat Tuhan didalam
dirinya.
Olehnya, dengan
carut marutnya demokrasi Indonesia, demokrasi teistis (demokrasi berketuhanan)
dengan pendekatan nilai-nilai ada baiknya mendapat tempat dalam diskursus
demokrasi Indonesia sesuai tuntutan dan perkembangan zaman, semoga.#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar