Selasa, 22 April 2014

"Objektifikasi Islam"


5 Februari 2014, HMI berusia 67 tahun (1947-2014). Di usia ini, semestinya HMI kembali ke khittah awal, khittah Islam yang rahmatan lil’alamin. Islam sebagai agama yang meng-cover kehidupan menyeluruh (semuanya) telah dibekali petunjuk (al-huda) untuk mengembangkan peradaban setinggi-tingginya dalam membentuk masyarakat disegala ruang dan waktu.

Karena Islam yang rahmatan lil’alamin itu, Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam sambutannya pada Milad pertama HMI di Djogjakarta tahun 1948, menumpahkan harapannya agar HMI bukan semata-mata Himpunan Mahasiswa Islam, tapi menjadi Harapan Masyarakat Indonesia.

Paling tidak HMI tidak sebatas melahirkan banyak kader setiap tahun, tapi dituntut melahirkan kualitas kader yang mampu mewarnai sejarah kebangsaan dan dapat melahirkan pemikiran Islam modern yang rahmatan lil’alamin (rahmat bagi semua), QS. Al-anbiya: 107.

Karena siapapun manusia akan datang menghadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai seorang hamba dan bertanggungjawab sejauh apa rahmat itu telah ia berikan kepada sesamanya. Keyakinan Islam dan prakteknya sejak awal hingga perkembangannya yang kontemporer, selalu diisi dengan keberagaman interpretasi dan ekspresi kepercayaan.

Islam sebagai agama fitrah, maka pokok-pokok ajaran Islam akan tumbuh dan berkembang sesuai fitrah manusia. Dengan demikian Islam dan ajarannya akan pula berkembang, memiliki daya adabtasi, terintegrasi dan berinteraksi dengan sistem hidup dan lingkungan budaya yang terus berkembang dan berubah setiap saat sesuai zaman.

Kuntiwijoyo (1993) pernah menawarkan pemikiran bagaimana mengubah Islam dari cara berfikir subyektif ke objektif. Dalam kerangka berfikir objektif itu, menurut Kunto tidak perlu pertimbangan-pertimbangan teologis tentang benar salahnya orang lain. Paradigma Kunto yang terkenal dengan pendekatan ‘objektifikasi’ mungkin menarik untuk dikembangkan. Objektifikasi yang dimaksudkan adalah eksternalisasi dari keyakinan tertentu yang tidak hanya dirasakan orang yang bersangkutan, tapi juga dirasakan orang lain sebagai sesuatu yang natural dan imanen.

Objektifikasi selalu mengandaikan universalisasi. Dalam pandangan kaum universalis dan objektifis, selalu ada kemungkinan untuk melakukan aplikasi umum dan dimanapun (general application) yakni tidak ada lagi distingsi antara manusia dan tempat tertentu.

Dalam objektifikasi itu, Arkoun maupun Edward Said menekankan pentingnya local knowledge yang membawa kita untuk kritis terhadap sebuah teks atau produk pengetahuan (yang diuniversalkan itu), lalu mengembalikannya kepada konteks, situasi atau kelokalannya. Dengan objektifikasi itu, proses pengetahuan menjadi realitas objektif, sehingga pengetahuan tersebut diakui komunitas. Proses pengetahuan yang terobjektifikasi digunakan dalam kegiatan pencarian terus menerus, sehingga menemukan kembali pengetahuan yang tersimpan dalam teks-teks normatif.

Objektifikasi itu dimaksudkan, proses menjabarkan konsep-konsep normatif-subjektif Islam menjadi formulasi-formulasi empiris-objektif yang terbuka dan inklusif (dari teks menuju konteks). Objektifikasi tidak sebatas persoalan keilmuan, karena salah satu tujuan utama adalah kontekstualisasi atas teks-teks agama dengan keadaan sosial atau dengan kata lain kenyataan hidup adalah konteks bagi keberagamaan (objektifikasi).

Objektifikasi ketika gagasan-gagasan normatif Islam ditampilkan sebagai nilai-nilai universal, bersifat publik, dan dijustifikasi secara rasional. Nilai-nilai tersebut layak diterima bukan karena ia berasal dari Islam tetapi karena nilai-nilai itu mengandung kebaikan (rahmatan lil’alamin).

Memaknai Islam

Menurut Willfred Cantwell Smith dalam bukunya On Understanding Islam (Mouton Publisher, The Hague, 1981), memberikan tiga karakteristik tentang Islam. Pertama, Islam bersifat pribadi (personal), sebagai kepercayaan seseorang secara aktif. Di sini, keseluruhan keberadaan seseorang terlibat, semacam transaksi, antara jiwanya dengan jagad. Hal ini menyangkut pengambilan keputusan yang bersifat pribadi dan tak teringkari. Penyerahan dirinya, apabila kita mengacu pada makna “Islam”, bersifat sangat khusus dan tersendiri, dibanding dengan keputusan orang lain.

Dalam kategori ini, Islam bukan sekedar nama dari suatu agama, melainkan jenis atau semacam komitmen dan sikap pribadi seseorang, yaitu “menyerahkan diri” pada sesuatu, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, (Tauhid).

Kategori kedua dan ketiga, bersifat impersonal. Yang kedua adalah Islam sebagai sistem keagamaan yang bersifat ideal, dan ketiga, Islam sebagai sistem keagamaan yang bersifat historis. Keduanya telah mengalami objektifikasi (objectified). Dimana Islam telah mengalami sistematisasi yang sifatnya rasional atau mengandung upaya rasionalisasi. Inilah yang disebut Lewis sebagai Islam yang telah diinterpretasikan. Lebih jauh lagi, Islam telah mengalami proses pelembagaan (institusionalized) dalam masyarakat.

Prof. Dr. P.A. Hoesein Djajadiningrat menyebutkan Islam berasal dari kata kerja aslama, yang berarti “menyerahkan diri, pasrah, tunduk, dan patuh”.

Dengan demikian Aslama adalah kata kerja, yang menyebut obyek, yaitu “diri” atau “jiwa”. Disini dapat diartikan kata aslama sebagai “menyerahkan dengan tulus hati” atau “mengikhlaskan”. Aslama agak berbeda dengan kata “Uslam” yang lebih diartikan sebagai sikap jiwa seseorang.

Dengan demikian Islam mengandung makna penyerahan diri, pasrah, tunduk, patuh oleh makhluk terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Hakikat dari kata penyerahan diri, pasrah, tunduk dan patuh (Islam) bukan hanya berlaku bagi hamba (umat) tetapi juga hakekat dari seluruh alam.

“Kemudian Dia menuju kelangit dan (langit) itu masih berupa asap, lalu Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi, “datanglah kamu berdua menurut perintahKu dengan patuh atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami datang dengan patuh”, Qs. Fushilat: 11.

Olehnya Islam bukan hanya berlaku pada manusia tapi seluruh makhluk dialam ini yang patuh dan menyerahkan diri semata kepada Tuhan. Karena semua manusia diciptakan dari bahan langit dan bumi (materi) dan manusia telah melakukan perjanjian dengan Tuhan sebelum tiba dibumi (immateri). Olehnya semua manusia memiliki fitrah yang sama, pasrah kepadaNya, Tuhan Yang Esa.

Dari arti diatas terkandung makna, Islam mengajarkan satu kesatuan dari semua yang menyerahkan diri, patuh, pasrah dan sujud kepadaNya. Dengan kepasrahan kepadaNya maka seseorang harus mengembangkan seluruh kepribadiannya secara menyeluruh. Karena Tuhan telah memberikan peringatan bahwa seluruh alam ini pasrah kepada Tuhan, sehingga semuanya dapat hidup serasi dan hidup dalam kedamaian dengan seluruh ciptaanNya, baik manusia dengan manusia maupun manusia dan ciptaaan lain.

Mengamalkan atau mempraktekkan ajaran Islam berikut nilai-nilainya secara universal, sama artinya dengan alam semesta yang berjalan mengikuti hukum-hukum Tuhan (sunnatullah), oleh karena Islam bersifat alami, natural, fitri. Jika manusia menentang kehendak Tuhan sama halnya dengan manusia itu tidak fitrawi, demikiam pula alam semesta.

Politik HMI

Politik HMI terkandung dalam tafsir tujuan, membentuk kualitas insan yang bernafas Islam. Oleh karnanya, politik HMI dalam setting sosio-kulturalnya adalah membumikan nilai-nilai keIslaman melalui penafsiran dan perumusan yang segar tentang gagasan Islam yang rahmatan lil’alamin. Dengan kata lain Islam yang diobjektifikasi, yakni ketika gagasan-gagasan normatif Islam ditampilkan sebagai nilai-nilai universal, bersifat publik dan dijustifikasi secara rasional untuk kemaslahatan orang banyak, bangsa dan negara.

Dalam kacamata sosiologi pengetahuan, Islam adalah bagian dari pengetahuan yang dimiliki oleh umat manusia. Bagi HMI, pengetahuan Islam diyakini bersumber dari Tuhan. Oleh karena itu kita mengimani al-Qur’an adalah firman-firman Tuhan. Al-Qur’an berbeda dengan fiqh. Fiqh (syari’at Islam) adalah buatan manusia yang menyandarkan diri pada al-Qur’an.

Semenjak sepeninggalan para Nabi dan Rasul, tidak ada otoritas yang punya hak untuk membenarkan bahwa tindakan atau cara berfikirnya adalah identik dengan kebenaran Tuhan. Olehnya, setiap orang berhak mencari kebebasan berfikir dalam keyakinannya sesuai fitrah. Dengan demikian setiap orang bebas melakukan abstraksi berfikir, dan tentu orang yang melakukan abstraksi berfikir adalah orang-orang yang mengemban misi pembaharuan.

Bagi HMI, menjelaskan kebenaran itu berasal dari Tuhan dan membiarkan manusia dengan kebebasannya untuk memilih, (QS. al-Kahfi: 18-29). Jadi hak yang diberikan Islam pada setiap orang atas kebebasan adalah mutlak sebagaimana haknya untuk hidup. Atau kebebasan adalah sama dengan hidup itu sendiri, tentu dipertanggungjawabkan.

Politik HMI tidak dimaksudkan untuk merebut kekuasaan sebagaimana difahami secara sempit. Politik HMI adalah menggerakan seluruh potensi berfikir untuk mewujudkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil’alamin. Agar dapat mewujudkan nilai-nilai diatas, maka disetiap jenjang perkaderan HMI selalu diarahkan pada proses rekayasa kearah pembentukan kader yang memiliki karakter, memahami nilai-nilai Islam secara universal, objektif dan berusaha untuk melakukan transformasi watak, dan kepribadian sebagai seorang kader yang benar-benar ber-Islam (HMI ber-Islam).

Olehnya, corak gerakan HMI lebih mementingkan substansi daripada literalis dan HMI selalu menunjukan bagaimana prinsip-prinsip kebenaran universal itu (Islam) dijadikan sebagai poros sistem kebaikan bersama umat manusia.

Islam berikut nilai-nilainya itu, jika dihayati dan kemudian menjadi metodologi HMI dalam mengimplementasikan misinya secara baik dan benar maka pada rana strategi, HMI telah menjadi agen dari misi profetik Islam. Dari pemahaman Islam yang subjektif menjadi objektif adalah untuk mencitrakan Islam kepada khalayak dan diaktualisasikan kedalam bahasa ilmu secara empiris dan bermanfaat bagi semua, bukan Islam yang mendatangkan ketakutan, bahaya dan malapetaka bagi umat manusia dan alam semesta. Seperangkat rumusan yang tepat selalu dikembangkan, agar HMI tidak terjebak pemahaman Islam dalam pengertian yang partikular.

Penyegaran pemikiran Islam yang lebih komprehensif dan mendalam diperlukan HMI, karena gagasan Islam tak pernah ditemukan dalam sebuah ruang hampa, melainkan selalu mengisi ruang hampa itu dengan tawaran dan gerakan intelektual yang lebih menarik, lebih segar dari seluruh gagasan-gagasan peradaban manusia yang terbaru, inilah dikatakan kemampuan HMI dalam memilih peran sejarah, peran yang sesuai dengan zamannya. Selamat Milad HMI ke-67, Yakin Usaha Sampai.#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar