Sabtu, 22 Juni 2013

"Civil society vs kapitalisme"



Term civil society (warga sipil) telah mengaktual dalam rentang waktu yang panjang. Thema itu didengungkan melalui gerakan-gerakan pro-demokrasi. Oleh era yang telah lewat dikenal dengan gerakan ‘demokrasi global’.

Term civil sociaty digunakan dengan dua cara : 1) untuk merujuk pada prinsip demokrasi radikal, bahwa kehidupan civil society terpola atas dasar kebebasan dan kesamaan antar warga yang bertindak sesuai dengan kesadaran keadaban, bentuk masyarakat semacam inilah yang kemudian dirintis oleh gerakan pro-demokrasi global. 2) untuk mengidentifikasi organisasi dan gerakan civil society yang menginginkan terwujudnya otentisitas budaya, ekonomi, ruang politik kearah penciptaan yang diidealisasikan sebagai masyarakat sipil yang kuat dan menentukan sesuai nilai-nilai keadaban.

Gerakan civil society telah dikenal. Berlaku dan ada sejak adanya masyarakat Yunani klasik, seperti yang dikonseptualisasikan oleh filsuf Aristoteles, dengan sebutan ‘politike koinonia’ atau komunitas politik, yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa latin ‘societas civilis’ atau civil society. Aristoteles menggambarkan, civil society sebagai komunitas politik dalam batas etika, yang bebas dan egaliter berdasarkan kebaikan dan sikap tanggungjawab yang dengan kesepakatan bersama hidup dibawah system hukum yang mengekspresikan  norma-norma dan nilai-nilai masing-masing.

Untuk menggarisbawahi konsep Aristoteles, pertanyaan yang telah lama diajukan oleh para filsuf politik: apakah sifat dasar asali dari masyarakat yang beradab – sebagai kontradiksi dari apa yang sampai sekarang diasumsikan sebagai kacaunya negara asali yang tidak beradab – dan bagaimanakah tatanan masyarakat beradab yang paling baik itu?.

Aristoteles mengambil dari sisi pemerintahan mandiri dan demokratis yang dibangun diatas dasar budaya yang mengandung etika kewargaan (nilai-nilai). Thomas Hobbes, yang mengikuti Aristoteles (2000 tahun), adalah diantara banyak akademisi yang berpandangan skeptis terhadap “tabiat manusia”. Hobbes mengemukakan argumennya, jika manusia harus memiliki tatanan masyarakat, mereka harus tunduk pada kekuasaan monarki absolut yang menggunakan kekuasaan untuk menekan agresivitas kita dan mempunyai naluri ekspansi hegemoni untuk mengontrol.

Konsepsi ideal dari civil society mengasumsikan, kapasitas bagi kemandirian organisasi secara penuh berdasarkan perasaan bersama dalam kesatuan spiritual dari segala aspek kehidupan, inheren dengan jiwa kemanusiaan. Otentisitas budaya yang mengalir dari pengalaman yang otentik dari anggota-anggotanya adalah ruang lingkup utama dari kehidupan kolektif. Nilai-nilai itu kemudian membawa kepada kehidupan ekonomi dan politik melalui partisipasi secara sadar dari setiap individu dalam membentuk institusi-institusi dan melakukan proses-proses yang dengannya masyarakat menyusun pemerintahannya, mengalokasikan sumber dayanya untuk aktivitas produktif dan menetapkan bahwa keyakinan dan nilai adalah sumber dari arti dan identitasnya.

Dalam civil society, institusi-institusi politik dan ekonomi adalah ciptaan dari warganya secara sadar, terefleksikan secara alami, memelihara nilai-nilai kehidupan, simbol-simbol, dan keyakinan dari budaya asli ciptaan mereka sendiri. Budaya ini, pada gilirannya, membuka partisipasi publik mereka dalam urusan - urusan sosial politik masyarakat.

Sistem yang merupakan bentuk perjanjian antar warga yang konstan ini menjamin bahwa lembaga-lembaga politik dan ekonomi itu tetap responsif terhadap kepentingan - kepentingan publik dan berkembang sebagai respons terhadap nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi dari budaya yang sedang berkembang. Dalam corak sivil society seperti ini; kekuatan dan nilai-nilai yang menentukan bagi masyarakat tersebut mengalir sebagai semangat hidup bagi warga masyarakat dan bagi lembaga-lembaga yang ada.

Term sivil sociaty seiring waktu tenggelam dalam keyakinan-keyakinan kaum kapitalis. Masyarakat kapitalis telah membuang spirit sivil sociaty yang beradab dan mencemarkan kehidupan, serta mengabaikan kapasitas manusia untuk bekerja sama dan berbagi. Uang bagi kaum kapitalis adalah ukuran nilai. Hidup hanya dinilai dari harga yang diobral: sebatang pohon hanya diukur dari jumlah kepingan kayu yang dapat dihasilkan (tanpa mempedulikan akibat ekologis yang mungkin ditimbulkan dari penebangannya secara liar). Tujuan pribadi ditetapkan dalam rangka mengejar kepuasan materi.

Pertikaian ini membawa kepada atensi terhadap pondasi kultural dari pertarungan antar kekuatan, antara korporasi global (kapitalis) dan kekuatan civil society. Motivasi yang menggerakkan dua kekuatan ini lebih banyak berdasarkan afiliasi  budaya daripada kelas – meskipun korporasi global menciptakan kesenjangan kelas sosial.

Pandangan kaum kapitalis yang terfokus pada materi (kapital) dan mengejar keuntungan individu menjadikan mereka sebagai konstituen alami bagi korporasi global sebagai naunganya. Budaya modern benar-benar memperlengkapi korporasi global dengan legitimasi yang menjadi pendukung utamanya. Meskipun para pendukung kapitalis perna mengalami kegagalan – dalam waktu yang lama saat mereka menganut nilai-nilai dan pandangan dunia modernisme, (namun) mereka masih terpikat oleh kemilaunya konsumerisme dan menghidupkan mimpi bahwa suatu hari seorang tradisional yang konservatif akan tersenyum kepada mereka dan untuk memberi isyarat bahwa kelak mereka akan memenangkannya.

Kaum tradisional juga mengklaim, memberikan konstribusi signifikan bagi upaya pelegitimasian terhadap beroperasinya kapitalisme melalui keyakinan mereka bahwa kesuksesan komersial adalah tanda dari kebajikan individu. Menurut beberapa orang tradisionalis, mereka yang tidak terima terhadap (ketimpangan) pembagian kekayaan yang telah ditetapkan berarti menentang kehendak Tuhan, dan karena itu merupakan tindakan dosa.

Kalangan kapitalis, mereka tidak segan-segan untuk melakukan penentangan terhadap berbagai kemapanan dalam segala dimensinya. Mereka tidak tertarik untuk melibatkan diri memperebutkan posisi-posisi kekuasaan yang eksis dan mapan, (sebaliknya) mereka lebih memilih untuk melakukan melalui korporasi global. Kerja-kerja korporasi global akan menghadapi terkikisnya legitimasi moral bagi kekuasaan (negara), yang pada akhirnya membuka jalan bagi terbentuknya lembaga baru lain yang lebih bersahabat dengan mereka dalam mengelolah berbagai sumber kekayaan negara. Kecendrungan saat ini, negara nyaris hilang kepercayaan dalam mengelolah ekonomi bangsa. Ada kesan seolah negara tidak mampu mengurus ekonomi negara dari sumber daya yang dimiliki, sehingga kekuasaan ekonomi harus jatuh ketangan swasta (kapitalisme).#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar