Jumat, 28 September 2012

"Sejarah perkaderan di HMI"



Sejarah itu ditulis untuk memahami hal-hal yang terjadi pada masa lampau. Sebagai suatu peristiwa sejarah adalah milik masa lalu dan tak akan kembali lagi. Sebuah peristiwa hanya sekali terjadi dan kemudian kembali menghilang untuk selamanya.
 
Gadamer dan Fazlur Rahman melihat sejarah, sebuah rangkaian peristiwa dan pemaknaan yang tak pernah terputus, karena pemaknaan sejarah selalu mengacu ke depan meskipun dilakukan hari ini sehingga sesungguhnya sulit menciptakan jarak antara masa lalu, kini dan esok. 

Dulu dan esok keduanya dipertemukan oleh pemaknaan hari ini oleh subyek pelaku dan penafsir sejarah itu sendiri, (Komaruddin Hidayat, 1996: 196).

Perkaderan formal di HMI tidak lahir berbarengan dengan kelahiran HMI 5 Februari 1947, melainkan lahir seiring proses waktu dan perubahan zaman. Perkaderan formal HMI, dirintis di masa Ismail Hassan Matereum (Ketua HMI, periode 1957-1960), dan itupun masih dalam batas wacana-wacana yang digulirkan PB HMI. 

Ismail Hasan Matereum adalah penggagas ide perkaderan formal HMI, kehendaknya agar HMI tidak sekedar menjadi tempat kumpul orang-orang yang punya kesamaan hoby atau aktivitas saja, tapi menjadi second campus bagi para kadernya. Faktor penting pendorong gagasan diadakannya perkaderan formal HMI karena waktu itu Ismail Hasan Matereum melihat adanya perbedaan aliran pemikiran dalam dinamika pergerakan aktivitas HMI, dimana ada anggota yang punya background dari lingkungan pesantren dan ada juga yang cenderung sekuler (abangan). 

Selain itu, adanya perbedaan para anggota HMI yang datang dari berbagai lingkungan Ormas semisal NU, Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain. Oleh karenanya, Ismail Hasan Metareum punya obsesi untuk bisa mengambil persamaan serta mengembangkannya dari para anggota HMI agar mampu menciptakan suatu sinergitas pemikiran dan gerakan hingga menjadi satu kesatuan dalam tubuh HMI yang diharapkan menjadi ciri khas dan karakteristik para kadernya. 

Untuk mensinergikan itu, maka difasilitasilah berbagai forum pendidikan dan pelatihan untuk para kader HMI agar bisa mempersatukan visi dan mensinergiskan pemikiran kader HMI. Selain itu, diharapkan agar dengan forum seperti itu bisa menciptakan komunikasi antar kader yang berujung pada terwujudnya ukhuwah Islamiyah sesama kader HMI. Dalam suatu kesempatan dia pernah menjelaskan secara detail maksud tujuan dan teknis pelaksanaan dari sistem perkaderan itu, dimana diungkapkan perlunya suatu sistem yang bertingkat dalam pelatihan sesuai dengan taraf kemampuan kader, dengan aksentuasi materinya pada masalah keorganisasian dan keislaman. Hal inilah yang menjadi dasar dan landasan awal dari sistem perkaderan HMI, karena sejak saat itu perkaderan menjadi trademark dikalangan kader HMI meskipun format yang idealnya belum terwujud. 

Untuk meningkatkan taraf kualitas perkaderan serta membuat format perkaderan ideal yang cocok bagi HMI, maka PB HMI mengutus beberapa anggotanya untuk melakukan pengkajian mengenai masalah tersebut ke beberapa organisasi di luar negeri. Kader-kader HMI itu diantaranya Aisyah Amini, Mahbub Junaedi, Mahmud Yunus, dan Munir Kimin yang berangkat ke Aloka, India. 

Sedangkan Noersal dan Ibrahim Madilao ke Amerika Serikat sekaligus memanfaatkan undangan pemerintah dari Negara itu (Amerika Serikat). Selain ke luar negeri, PB HMI juga melakukan studi dan pengkajian secara teoritik dan empirik di dalam negeri. Hasil dari kunjungan dan kajian itu dicurahkan dalam suatu forum lokakarya yang diadakan PB HMI di Baros Sukabumi tahun 1959, khusus membicarakan format perkaderan HMI. 

Sejak peristiwa itu, HMI sudah mempunyai format baku dalam perkaderan meskipun belum sempurna. Penyempurnaan hasil lokakarya pertama ini dilakukan pada masa kepengurusan Oman Komaruddin (periode 1960-1963) dengan mengadakan forum seminar dan lokakarya perkaderan kedua di Pekalongan tahun 1962. 

Hasil-hasil forum tersebut kemudian disempurnakan lagi dan disahkan menjadi format perkaderan baku yang mempunyai sistem perkaderan berjenjang pada kongres HMI ke VII tahun 1963 di Jakarta. Sejak saat itu HMI menjadi organisasi pertama di Indonesia yang mempunyai sistem perkaderan formal yang baku, lengkap, berjenjang. Penyempurnaan format perkaderan terus dilakukan HMI sebagai bentuk konsistensi HMI akan fungsinya, dengan harapan semakin baik format perkaderan maka outputnya semakin berkualitas. 

Pada masa Sulastomo (periode 1963-1966) dan Nurcholis Madjid (periode 1966-1971) sistem perkaderan ini tidak hanya sebagai bentuk formal penyaringan anggota dan peningkatan kualitas kader saja melainkan diperluas lagi sebagai salah satu prasyarat yang harus dipenuhi para calon pengurus HMI dari PB sampai Komisariat. Sehingga tidak sembarang kader yang bisa jadi pengurus, tetapi harus melewati jenjang tertentu dalam perkaderan formal. Sejak zaman Cak Nur (1967) sampai tahun 1999 tercatat sudah beberapa kali sistem perkaderan mengalami perubahan.
Pada tahun 1970 (zaman Cak Nur) di Pekalongan, sebagai upaya penyempurnaan dan rekomendasi kongres HMI ke IX di Malang, dimana keputusan pentingnya bahwa setiap yang namanya training di HMI harus mengacu pada buku format perkaderan yang sudah dibuat.

Pada tahun 1975 (zaman Ridwan Saidi) di Kaliurang Yogyakarta, sistem perkaderan saat itu banyak dipengaruhi oleh munculnya gerakan pembaharuan keagamaan di Indonesia yang dipelopori Cak Nur, selain itu sedang hangatnya gerakan–gerakan Islam internasional terutama di kawasan Timur Tengah.

Tahun 1983 (zaman Harry Azhar Azis) di Surabaya, pada masa ini banyak dipengaruhi oleh kondisi ketegangan antara umat Islam dengan pemerintah Orba, selain itu wacana developmentalisme yang dikembangkan Orba juga sedikit banyaknya mempengaruhi sisitem perkaderan HMI. Revolusi Islam Iran sedikit banyak mempengaruhi semangat dan antusiasme ber-Islam dikalangan generasi muda Indonesia termasuk para kader HMI.

Pada tahun 1988 (zaman Saleh Khalid) di Cianjur dan Jakarta, akibat terjadinya perubahan internal yang mendasar dalam tubuh HMI, salah satunya perubahan azas, maka dipandang perlu untuk merevisi sistem perkaderan HMI yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan zamannya. Selain itu gerakan depolitisasi mahasiswa di kampus oleh Orba dan berkembangnya logika modernisasi turut andil dalam mempengaruhi sistem perkaderan saat itu.

Pada tahun 1992 (zaman Ferry Mursidan), sistem perkaderan hanya mengalami sedikit perubahan dan saat itu dipengaruhi oleh membaiknya kondisi politik antara umat Islam dan Orba yang ditandai dengan munculnya ICMI. Namun itu hanya pada konteks Islam ibadah belum ke Islam politik. Selain itu jargon pembangunan di segala bidang menjadi isu sentral masa itu sehingga sedikitnya mempengaruhi sistem perkaderan HMI.

Pada tahun 1997 (zaman Taufik Hidayat) di Jakarta, saat itu dipengaruhi oleh iklim politik Indonesia yang sudah mulai goyah akibat adanya akumulasi kekecewaan terhadap pemerintah Orba.

Tahun 2000 (zaman Fakhrudin) di Jakarta, sejak HMI menggunakan kembali Islam sebagai azasnya (kongres XXII di Jambi) maka sudah pasti ada banyak perubahan yang terjadi di HMI. Pedoman perkaderan sebagai salah satu hal yang dijadikan landasan bagi aktifitas HMI, sudah barang tentu mengalami perubahan yang diakibatkan oleh perubahan azasnya. Pendorong utama lokakarya pada masa ini adalah mengantisipasi perubahan azas di HMI, sekaligus membuat rancangan strategis bagi HMI pasca perubahan azas dan dalam menghadapi perubahan zaman.#

"Free fight liberalism?"




BUNG HATTA, adalah penggagas sekaligus selaku konseptor pasal 33 UUD 1945 bagi politik perekonomian Indonesia. Makna pasal 33, kemakmuran rakyat diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Karena kemakmuran adalah bagi semua orang, maka cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya (termasuk Migas) merupakan sumber-sumber kemakmuran rakyat yang harus dikuasai negara untuk dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Olehnya, pasal 33 adalah sendi utama bagi politik perekonomian dan politik sosial Republik Indonesia. Pasal 33 adalah pilar penentang individualisme dan kapitalisme secara fundamental. Pasal 33 mengenai sistem politik - ekonomi Indonesia, pasal 27, 31, 34 dst adalah pelaksana, aturan untuk melaksanakan demokrasi ekonomi Indonesia. Kelahiran pasal 33, untuk mencegah free fight liberalism  agar kepentingan rakyat banyak tidak dirugikan, tidak ditindas demi kepentingan orang-seorang yang mempunyai kuasa dan bagi mereka yang memegang tampuk produksi. Oleh sebab itu usaha untuk mencapai demokrasi ekonomi, mencapai cita-cita terwujudnya pasal 33 merupakan kewajiban sosial dan moral seluruh bangsa.

Dengan demikian, campur tangan negara harus lebih besar dalam menjamin terlaksananya kedaulatan ekonomi. Ekonomi pasar yang bermaksud menempatkan kekuatan pasar untuk mengatur perekonomian Indonesia, seperti perdebatan yang tak kian habis pasal 7 ayat 6A UU APBN-P 2012, dianggap tidak sesuai dengan konsep kepemimpinan negara dalam mendesign konsep politik-ekonomi bangsa.

Negara harus menguasai sumber-sumber kemakmuran rakyat untuk dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Disini tampak penting “Kepemiminan Negara” dan Wakil Rakyat harus berperan besar bersama rakyat dalam keikutsertaannya dalam membawah kedaulatan ekonomi sesuai kehendak pasal 33 UUD 1945. Disini, konsep Bung Karno tentang tatanan politik perekonomian dan demokrasi sosial  ikut menyempurnakan konsep demokrasi ekonomi bangsa. Karena Bung Karno menyebut pandangannya tentang politik perekonomian Indonesia dengan sebutan sosio-demokrasi yaitu demokrasi yang bukan demokrasi barat, tapi politik-economische-democratie, yaitu demokrasi dengan kesejahteraan. Ini dinyatakan Bung Karno dalam pidatonya yang dikenal dengan lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945 didepan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan.

Hanya demokrasi politik belum menyelamatkan rakyat, tapi perlu ada demokrasi ekonomi untuk menjamin keselamatan rakyat (sejahtera). Nasionalisme Indonesia harus ada sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Didalam sosio-nasionalisme ada nasionalisme politik dan nasionalisme ekonomi. Didalam sosio-demokrasi ada demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.

Hakekat demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat yakni pemerintahan yang memberi hak kepada semua rakyat untuk ikut memerintah, ikut menentukan nasib bangsa dan negara. Faham demokrasi awalnya muncul dari revolusi Perancis, sebelum revolusi Perancis, pemerintahan Eropa adalah pemerintahan otokrasi, didalam tangan Raja, rakyat tak ikut bersuara, rakyat hanya nurut saja apa mau Raja. Bahkan Raja mengakui dirinya sebagai wakil Tuhan dimuka bumi.

Dalam soal ini, Raja didukung, dibentengi oleh kaum ningrat dan kepala-kepala agama. Raja, kaum ningrat, kepala-kepala agama adalah gambaran kelompok penguasa pada waktu itu. Kemudian datanglah kaum baru (kaum pergerakan), penentang Raja dan kelompok-kelompoknya dan ingin merebut kekuasaan itu, akhirnya kekuasaan itu direbut, maka terjadilah atau menghasilkan revolusi Perancis. Kaum pergerakan menang, maka muncullah pemerintahan rakyat atau demokrasi difase itu. Raja runtuh, kelompok-kelompok agama runtuh, kaum ningrat runtuh, diadakan parlemen-parlemen, dimana rakyat mengirimkan wakil-wakilnya, timbullah pemerintahan demokrasi dimana-mana.

Indonesia adalah negara demokrasi, pemerintahan oleh rakyat. Dinegara demokrasi seperti Indonesia ini, jika pemerintah (negara) tidak mendengar isi penderitaan rakyat, maka bukan  disebut negara demokrasi, tapi negara otokrasi, negara dipimpin oleh Raja, kemudian didukung kaum-kaum ningrat terpilih, sebuat saja yang berada digelanggang politik. 

Reralitas, dalam negara demokrasi Indonesia, rakyat menjadi tuan didalam urusan politik, disaat bersamaan rakyat juga menjadi budak didalam urusan ekonomi. Pemerintah telah mampu membuat pertentangan antara sistem politik dan sistem ekonomi Indonesia. Pasal 33 adalah pasal hampa dibenak rezim politik Indonesia.

Nasionalisme Indonesia bukan hanya mengkramatkan “demokrasi” dengan mencari kilaunya negeri diluar (kapitalisme), tetapi nasionalisme Indonesia adalah mencari keselamatan seluruh manusia Indonesia untuk hidup sejahtera. Sosio-nasionalisme adalah nasionalismenya rakyat, dan sosio-demokrasi adalah adalah demokrasinya rakyat, olehnya disebut sosio-demokrasi adalah “pencaharian merdeka”---kemerdekaan universal dan hak memperoleh pekerjaan dari kemerdekaan individual (pasal 27 UUD 1945).

Nasionalisme dan demokrasi harus tumbuh dan berdiri didalam hati sanubari rakyat Indonesia, bukan nasionalisme dan demokrasi yang tumbuh dihati kaum kapitalis. Olehnya penting bagi rakyat Indonesia untuk melancarkan asas non-kooperatif dalam memperjuangkan keselamatan rakyat. Yakni, asas yang menolak kerjasama disegala lapangan politik-ekonomi yang beraliran kapitalis, yang lebih menggadaikan bangsa yang kaya raya ini. Non-kooperatif adalah asas perjuangan yang tak kenal damai dengan kaum pertuanan. Oleh sebab itu, non-kooperatif juga berisi radikalisme-radikalisme hati, radikalisme pikiran, radikalisme sepak terjang, radikalisme dalam sikap lahir dan bathin, radikalime dalam menolak free fight liberalism.#

Kamis, 5 April 2012, pkl.15.00 – 17.30 Wita

"Tambang, ketidakadilan global"




Tragedi Bima 24/12, Mesuji April/2011 dan berbagai daerah lain Indonesia disektor pertambangan, menandaskan ketidakmampuan pemerintah dalam pengelolaan Sumber Daya Alam, sejak awal orde baru hingga kini, dan terus melahirkan masalah.

Dalam kebijakan dan praktek pertambangan, peran serta rakyat tidak mendapat tempat yang memadai. Rakyat tidak pernah terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari suatu aktivitas pertambangan. Bahkan rakyat tidak memiliki otoritas untuk menyetujui atau menolak suatu rencana penambangan yang akan berdampak pada wilayah hidup mereka. Bahkan dalam UU Pertambangan, rakyat diwajibkan untuk menyerahkan tanahnya jika ada kegiatan operasi pertambangan di wilayah tersebut. Jika rakyat berkeberatan, mereka dapat di dikenakan sanksi pidana. Dalam soal ganti rugi atas tanah, rakyat dipaksa untuk menerima jumlah yang telah ditetapkan sepihak oleh pemerintah dan perusahaan. Jika rakyat tidak menerimanya, pemerintah akan menitipkan uang kompensasi itu di pengadilan negeri dan dianggap kompensasi telah terjadi.

Pemerintah selalu berdalil, ucapan wellcome bagi pemodal untuk investasi disektor pertambangan, adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sebagai perbandingan, negara sub-Sahara di Afrika yang bergantung pada kekayaan mineral (tambang) maupun Negara Timur Tengah yang bergantung pada kekayaan minyak bumi digolongkan Bank Dunia sebagai negera miskin yang terbelit utang. Tahun 2004 (UNDP), menggariskan Papua dan NTB sebagai daerah paling buruk indeks pembangunan manusianya (HDI), padahal Papua dan NTB adalah negeri sejuta emas/tembaga.

Ketergantungan sebuah daerah pada kekayaan tambang memiliki hubungan negatif terhadap kelompok miskin di daerah bersangkutan. Yang dimaksud dengan “ketergantungan pada kekayaan tambang” adalah perbandingan ekspor mineral dengan Produk Domestik Bruto (PDB) daerah itu. Untuk menaksir keadaan kelompok miskin, salah satu tolak-ukur yang di pilih adalah Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI), suatu ukuran yang dikembangkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) yang menggabungkan data pendapatan per kapita dengan data kesehatan dan pendidikan di satu daerah.

Justru terbalik, daerah yang tidak bergantung pada tambang justru begitu makmur seperti Bali yang lebih sedikit penduduk miskinnya dibanding daerah yang kaya akan tambang tapi terpuruk seperti NTB dan Papua.

Apakah daerah-daerah dengan tingkat pendapatan yang hampir sama, tetapi berbeda tingkat ketergantungannya kepada kekayaan tambang, memiliki kinerja yang lebih baik atau lebih buruk dalam memenuhi kebutuhan kelompok miskin?. Bacaan kita, menemukan hubungan negatif yang kuat antara tingkat ketergantungan suatu negara terhadap kekayaan tambang dengan peringkat HDI. Semakin tinggi suatu daerah mengandalkan ekspor mineral/tambang, semakin buruk standar penghidupannya. Di sepanjang sejarah, negara-negara yang bergantung kepada kekayaan mineral mengalami kemunduran: semakin besar ketergantungan negara tersebut kepada mineral, semakin merosot peringkat HDI-nya, seperti Zambia, Zimbabwe dan Kazakhstan tergolong negara-negara yang mengalami kemunduran luar biasa.

***
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir bahan tambang kita dieksploitasi secara berlebihan untuk kepentingan ekspor semata dan bukan untuk kepentingan nasional yang mendesak. Akibatnya kita telah memasuki gerbang kelangkaan yang akan berakibat buruk bagi peradaban bangsa Indonesia di masa mendatang. Angka-angka berikut menunjukan betapa selama ini orientasi eksploitasi bahan tambang Indonesia hanya untuk kepentingan kepentingan negara lain. Hal ini dapat dilihat pada produksi mineral seperti Emas produksi sebesar 142.238 kg untuk ekspor ±73%, Perak 293.520 kg untuk ekspor ± 46%, Ferro Nikel 42306 mt untuk ekspor ± 88%. Sementara itu 74% Batu Bara kita di eksploitasi hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar Asia 60.235.631,70 ton, Eropa 9.936.175 ton dan Australia-Amerika 2.555.173 ton, di dalam negeri sendiri 39% Batu Bara dikosumsi oleh industri Listrik, Semen, Metallurgy, Pulp dan Briket berkisar 29.257.002,59 ton, (Departmen Energi dan Sumberdaya Mineral: 2003).

Untuk mendukung strategi obral murah kekayaan tambang di Indonesia pemerintah telah mengeluarkan izin kontrak karya 98 KK dan PKP2B 86 perusahaan (2003). Diluar itu, sebanyak 150 izin KK tumpang tindih dengan kawasan lindung. Alasan yang selalu digunakan adalah demi pemulihan ekonomi, padahal basis argumentasi itu telah kehilangan keabsahannya karena kontribusi pertambangan bagi ekonomi negara sangat kecil.

Disektor MIGAS, upaya pemerintah untuk terus menguras cadangan migas yang ada juga tidak kalah hebat. Sejak tahun 2003, pemerintah sedikitnya telah menawarkan 21 blok migas kepada para investor. Dari jumlah itu, 11 blok migas telah ditawarkan sejak pada bulan Agustus 2003 dan 10 blok lainnya ditawarkan pada bulan Oktober 2003. Saat ini, dari 60 cekungan minyak bumi yang dimiliki Indonesia 23 persen atau 14 cekungan sudah dieksplorasi dalam 30 tahun terakhir. Cadangan minyak bumi di 14 cekungan itu sudah terkuras habis dan tinggal tersisa sembilan miliar barrel. Dengan laju produksi minyak 1,3 juta barrel per hari, jumlah itu hanya mencukupi kebutuhan bahan bakar untuk tujuh tahun ke depan, (Nasrullah Salim: 2004). Sampai kini impor minyak bumi Indonesia sudah melebihi kuota ekspor

Hal ini dilakukan karena produksi minyak bumi Indonesia tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri (kebutuhan 1 juta barrel/hari, namun sejak tahun 2007 Indonesia mengimpor 250 ribu barrel/hari). Situasi krisis energi ini diperburuk dengan tak dipersiapkannya teknologi pengolah energi selain minyak bumi. Tingkat ketergantungan terhadap minyak bumi sudah sangat tinggi, padahal cadangan minyak kian menipis.

Dengan jumlah penduduk 203,3 juta jiwa lebih, diperkirakan tingkat kebutuhan energi di Indonesia yang akan mengalami lonjakan 2 kali lipat pada tahun 2025 nanti. Jika kini kebutuhan energi kita sebesar 4.028,4 PJ (Peta Joule), maka pada tahun 2025 nanti diperkirakan mencapai 8.145,6 PJ. Selama ini kebutuhan energi sebesar itu sebagian besar masih mengandalkan energi tak terbarukan, yaitu minyak (13%), batubara (45%), gas alam (27%) dan hanya 15% yang mengandalkan energi terbarukan. Disisi lain, sumber energy tak terbaharukan yang dimiliki Indonesia terus ditingkatkan jumlah eksportnya sehingga diperkirakan sepuluh tahun mendatang sumber minyak bumi Indonesia akan habis, dan disusul kelangkaan gas alam serta batubara.

Kelangkaan sumber-sumber energy tak terbaharukan yang bakal dihadapi Indonesia akan membawa dampak yang sangat serius, karena hingga saat ini pemerintah belum mengusahakan dengan optimal alternatif energy yang dapat menggantikannya.

Ketidakadilan Pembagian Energi

Indonesia memposisikan energi BBM (fosil) sebagai sumber pendapatan negara yang besar. Tahun 2001 sekitar 35-41% ditarik sebagai pendapatan negara. Implikasinya peningkatan laju eksploitasi sumber daya energi fosil dari kerjasama lintas negara menyedot sekitar 75% potensi minyak, 58% gas bumi dan batubara sekitar 70%. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan pangsa pasar dunia yang terdesak, maka yang terjadi adalah penghisapan besar-besaran pada daerah/negara yang kaya akan MIGAS dan terjebak masuk dalam lingkaran hutang negara-negara donor semisal IMF. Model pengelolaan politik - ekonomi ini akan berakibat pada kriris energi BBM sampai pada tingkat mengabaikan kebutuhan pokok rakyat yang paling mendasar.

Krisis yang melanda Indonesia hampir dalam beberapa dasawarsa ini bukti kegagapan pemerintah dalam mengelolah politik ekonomi untuk kesejahteraan rakyat. Pasar minyak mentah dunia menjadi alasan Indonesia tapi tidak memikirkan pengamanan aktivitas ekonomi rakyat lapis bawah. Artinya pengelolaan energi (cadangan dan pasokan) tidak menjadi fokus utama perhatian pemerintah terhadap basis ketahanan energi Indonesia.

Laporan Congressional Research Services (CRS) tahun 1985 dan 2003 kepada Komite Energi di Kongres AS menyebutkan jika tingkat pemakaian energi fosil masih terus seperti sekarang tanpa peningkatkan dalam efesiensi produksi penemuan cadangan baru atau peralihan ke cadangan-cadangan baru atau peralihan ke sumber-sumber energi alternatif inkonvensional maka cadangan sumber energi atau bahan bakar fosil sedunia khususnya minyak bumi diperkirakan hanya bertahan sampai 30-50 tahun lagi, (Effendy Syarif: 2004). 

Demikian pula laporan Kasubdin Konservasi Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral RI, Maryan Ayuni cadangan produksi minyak bumi Indonesia hanya bertahan hingga 10 tahun, gas alam 30 tahun, dan batubara 50 tahun. Cadangan berkurang, sementara konsumsi energi nasional meningkat pesat (rata-rata 10% per tahun). Hal itu merupakan peringatan yang sangat serius terhadap kita bukan semata ketakutan akan habisnya cadangan energi tapi jauh lebih mengkhawatirkan adalah dampak pemakaian dan ikutan lainnya .

Disisi lain, ketidakadilan dalam pembagaian sumber energi dunia antara negara kaya dan negara miskin, antara utara dan selatan, antara negara maju dan baru berkembang, antara bekas penjajah dengan bekas negara jajahannya. Tahun 1995, sekitar 5,7 milyar penduduk dunia dengan total energi adalah 362,24 kuadrilyun BTU (British Thermal Unit). Penduduk Amerika Utara dan seluruh Eropa yang hanya 20,1% dari total penduduk dunia mengkonsumsi 59,1% energi dunia, Afrika dan Amerika Latin yang 21,4% dari total penduduk dunia hanya mengkonsumsi 10,3%, Jepang sendiri yang hanya berpenduduk 2,2% dari total penduduk dunia mengkonsumsi 5,9% energi dunia, negara kaya timur tengah yang penduduknya 3,7% dari penduduk dunia, mengkonsumsi 4,6%. Bandingkan dengan gabungan negara-negara Asia Timur, Selatan dan Tenggara, Oceania dan Australia yang berpenduduk 53,6% dari total penduduk dunia hanya mengkonsumsi 20,7% energi dunia, lambang ketidakadilan global, (Effendy Syarif: 2004).

Hal itu dipengaruh kuat oleh para pemilik modal dan alat-alat produksi yang menghasilkan, mengatur dan menggunakan sumber-sumber energi utama dunia, polarisasi ketidakadilan global terhadap pembagian energi. Indonesia sendiri, dibuka ruang yang lebar terhadap pemodal mulai dari hulu ke hilir, terjadinya liberalisasi disektor minyak disusul pencabutan subsidi dan penetapan harga minyak dengan alasan dapat merangsang investor untuk berbisnis di sektor hilir menandakan negara kehabisan akal terutama melalui pertamina untuk melakukan proteksi harga dan jaminan ketersediaan energi untuk rakyat dilepaskan oleh negara kepada pemodal.

Kecendrungan Nasional

Tahun ini adalah tahun ‘ancang-ancang’ bagi banyak pihak yang terlibat atau menaruh harapan pada peristiwa-peristiwa politik. Ditahun ini terjadi konsolidasi dan tawar-menawar antar aktor dan parpol untuk memenangkan pemilihan legislatif dan pemilihan Presiden di tahun 2014. Politik uang juga merupakan satu peristiwa yang diprediksikan masih terjadi di tahun 2014 sehingga banyak partai di tahun ini menjalin hubungan diam-diam atau terang-terangan dengan pelaku bisnis, karena dari situ sumber pendanaan partai diharapkan mengucur. Bagi pelaku pertambangan minyak dan gas bumi, peluang ini dimanfaatkan dengan baik, dengan berbagai cara dan pendekatan, yang sangat sulit dibuktikan oleh publik. Tapi dapat diyakini kedekatan sektor bisnis dengan partai-partai sudah lama terjalin.

Bahkan disinyalir telah terjalin hubungan harmonis antara kelas komprador domestik tersambungkan dengan kepentingan perusahaan transnasional dan menjalin hubungan dengan partai berkuasa. Hampir semua partai saat ini memiliki aktor yang dapat dikategorikan sebagai bagian dari kelas komprador domestik. Mereka yang menjadi salah satu mesin uang bagi partai-partai besar, dan sebagian dari mereka adalah pelaku bisnis di sektor pertambangan, minyak dan gas, atau sumber daya alam lainnya.

Situasi politik semacam ini semakin menyulitkan terjadinya perubahan yang signifikan terhadap kebijakan-kebijakan negara yang diharapkan berpihak pada rakyat. Bahkan dalam banyak inisiatif perubahan kebijakan negara, terlihat bahwa wakil pemerintah dan wakil partai-partai yang duduk di parlemen tidak lagi berfikir cerdas bagi kepentingan rakyat, akan tetapi telah melakukan langkah-langkah blunder karena merancang kebijakan yang masuk dalam bingkai neo-liberalisasi ekonomi dan liberalisasi politik yang di dorong oleh IMF, Bank Dunia, Negara-negara utara serta pelaku bisnis domestik dan transnasional. Sebagai misal saat  pemerintah sedang menyiapkan perangkat perundang-undangan bidang penanaman modal (UU Penanaman modal asing). Kebijakan ini  sedang ditunggu-tunggu oleh pelaku bisnis karena pemerintah menjajikan insentif dan disinsentif pada pelaku bisnis, termasuk diberlakukan kembali tax-holiday.

Tidak itu saja, dalam rancangan UU Pertambangan waktu itu, dan pembaharuan agraria, Bank Dunia berperan penting baik terang-terangan seperti mendanai seminar atau lewat orang-orang yang sepaham dengan mereka sebagai konsultan. Betapa menyedihkan ketika seorang profesor dari universitas ternama saat itu, ia menjadi tim pembuat RUU Pertambangan waktu itu, disisi lain pada saat bersamaan dia juga menjadi konsultan hukum lingkungan disebuah perusahaan pertambangan. Tentu tidak sulit membayangkan kebijakan yang bakal lahir selain mengakomodasi kepentingan-kepentingan para pemodal.

Model yang saat ini dipakai tidak jauh beda dengan model yang dulu pernah diterapkan pada masa transisi dari orde lama ke orde baru. Saat itu Bank Dunia Group, beberapa negara-negara utara dan pelaku bisnis lain mendesain model ekonomi Indonesia yang dilegalkan dengan instrumen hukum. Di tahun 1967 banyak peraturan perundangan yang keluar sebagai tindak lanjutnya antara lain UU Kehutanan, UU Penanaman Modal Asing, atau UU Pertambangan. Dari regulasi yang ada seluruh instrumen ekonomi digerakkan, dan tulang punggungnya adalah ekstraksi sumber daya alam. Aksi rakyat diredam dengan kekuatan militer. Tidak heran jika masa itu banyak terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia.

Kecendrungan Global

Konstalasi politik dan ekonomi ditingkat global hingga hari ini lebih banyak didominasi oleh Amerika Serikat. Hampir bisa dipastikan perubahan politik dan ekonomi yang terjadi di semua belahan dunia sekarang tidak lepas dari pengaruh AS. Sebaliknya, perubahan ekonomi dan politik yang terjadi di AS akan berpengaruh terhadap perubahan secara keseluruhan.

Pemboman gedung WTC (11 September 2001) atau serbuan AS atas Irak, juga campur tangan AS di Libya---menewaskan Khadafi juga menelan ribuan nyawa manusia. Pemboman gedung WTC, dijadikan legitimasi AS untuk melakukan invasi ekonomi ke negara-negara selatan untuk terus bergantung kepadanya. Dengan dalih memerangi terorisme, AS bisa semaunya melakukan embargo ekonomi atau memutuskan bantuan ekonominya ke negara-negara yang dianggap tidak mau mendukung kebijakan perang melawan teroris itu. Yang terjadi kemudian adalah negara-negara selatan tidak bisa melepaskan ketergantungannya dari lembaga-lembaga penghutang seperti Bank Dunia Group, CGI, IMF dan ADB atau lembaga perbankan lain.

Dibalik semua dalih itu, sebenarnya AS punya kepentingan untuk menguasai dan terus mendominasi kekuatan ekonomi dunia. Invasi AS ke Irak atau ke Afganistan atau ke Libya, sebentar lagi Iran misalnya, belakangan terungkap bahwa pemenang tender migas di negara kaya minyak kedua dunia itu dikuasai oleh perusahaan-perusahaan migas asal AS seperti Exxon Mobil, Shell, Chevron-Texaco, dan sebagainya.

Kita tahu bahwa AS sebenarnya sedang dilanda krisis energi migas. Sadar dengan kondisi itu maka AS lebih memilih untuk melakukan invasi eksploitasi migas ke negara-negara yang dinilai memiliki cadangan migas melimpah. AS berharap, cadangan migas dalam negerinya bisa dihemat dan pada saatnya nanti negara-negara dunia ketiga yang belum memiliki kemampuan mengembangkan energi alternatif terbarukan akan tetap tergantung kepadanya.

Olehnya untuk tambang, minyak dan gas, perubahan global yang terjadi patut dilihat sebagai ancaman dimasa mendatang terhadap perubahan kearah negatif disitus-situs perubahan maupun secara nasional. Dominasi atas sumber daya alam oleh perusahaan-perusahaan transnasional yang berkolaborasi dengan kekuasaan negara-negara utara akan memaksa laju pengerukan di negara-negara selatan sesuai dengan keinginan negara-negara utara. Kontrol atas harga dan jalur distribusi pun dikendalikan oleh perusahaan transnasional. Skenario ini perlu dipandang sebagai bagian dari keberlanjutan dominasi utara terhadap negara-negara selatan.

Untuk melegalkan percepatan pengerukan tersebut berbagai institusi digunakan yang kemudian melahirkan berbagai inisiatif dan ditopang oleh berbagai instrumen yang dihasilkan.  

Sorotan dan tekanan publik yang menguat terhadap praktek pertambangan dari waktu-kewaktu akibat banyaknya fakta pertambangan merupakan aktivitas yang merusak, sarat dengan pelanggaran HAM, militerisasi dan penghancuran sumber-sumber kehidupan rakyat membuat pelaku pertambangan berusaha menciptakan image untuk ‘menghijaukan’ citranya. Lahirnya Global Mining Inisiative (GMI) dan MMSD (Mines, Minerals and Sustainable Development) menandai intensitas global pelaku pertambangan guna merubah citra buruk mereka. Berbagai pertemuan global menjadi ajang kampanye perusahaan tambang untuk menghijaukan citranya, salah satunya adalah di KTT pembangunan berkelanjutan.

Dalam Rencana Aksi Pembangunan Berkelanjutan misalnya disebutkan dengan jelas bagaimana pentingnya pertambangan dalam berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan. Salah satu cara yang digunakan meningkatkan pertanggung jawaban perusahaan (Corporate responsibility) dengan mendorong kalangan industri untuk meningkatkan kinerja sosial dan lingkungan melalui prakarsa-prakarsa sukarela, seperti kode etik (code of conduct) dan sertifikasi.

Padahal mengaitkan pertambangan dengan sesuatu yang berkelanjutan adalah hal yang tidak masuk akal. Tak hanya itu, untuk menjamin pendanaan mereka terhadap industri merusak terus berlanjut, lembaga pendanaan internasional macam Bank Dunia (World Bank) juga melakukan hal yang sama dengan memfasilitasi apa yang disebut sebagai Extraktif Industri Review (WB EIR). Hasil kajian industri ekstraktif ini terbukti Bank Dunia tidak menghentikan pendanaannnya bagi industri perusak seperti pertambangan minyak dan gas. Demikian juga dengan lembaga-lembaga lain yang bernaung dibawah Bank Dunia seperti MIGA, IBRD, IDA, dan IFC tetap mendanai proyek-proyek industri ekstraktif.

Proses EIR sejak awal memang sengaja digiring untuk menguntungkan pelaku-pelaku industri. Selain prosesnya yang tidak transparan, kesimpulan akhir dari kajian industri ekstraktif yang kemudian dipresentasikan dalam forum Pembangunan berkelanjutan di Johanesberg, Afrika Selatan beberapa waktu lalu memang lebih banyak mengakomodir kepentingan negara-negara maju dan para pemilik modal. Dalam konteks ini antara lembaga-lembaga keuangan internasional dengan pelaku industri terdapat hubungan mutualisme, keduanya saling mendapat keuntungan dari dilanggengkannya pendanaan terhadap industri ekstraktif. Seperti diketahui, salah satu penopang penting industri tambang adalah lembaga keuangan, lebih dari 50% modal pertambangan berasal dari pinjaman.

Bagi kita, kencenderungan dunia pertambangan ini menjadi ancaman serius, karena kasus-kasus yang selama ini tidak diselesaikan dengan baik, akan terus terabaikan. Kebijakan-kebijakan yang seharusnya dikeluarkan untuk merespon persoalan pertambangan, minyak dan gas akan terbengkalai atau diredesain berdasarkan kepentingan pemodal dan partai-partai politik yang sedang berkompetisi, peristiwa Bima dan Mesuji belakangan ini—fakta telanjang yang nyata adanya dihadapan kita, inilah potret buram dunia pertambangan.#

Indonesia Ideal: Perlu Penguatan Akar Kebangsaan



Oleh Akhmad Bumi
------------------------

“Dibutuhkan dalam menyelesaikan problem bangsa yang carut-marut ini adalah perlu adanya komitmen kebangsaan yang dibangun dan dijaga secara konsekwen dan konsisten. Susun ulang barisan diantara orang-orang yang faham, kekuatan itu akan datang dengan sendirinya. Mari bangun kehormatan dan martabat bangsa dengan kejujuran!”.

***

Undang-undang Pemilu yang baru sudah ditetapakan DPR (12 April), pro-kontra mewarnai penetapan Undang-undang tersebut. Pengalaman sejarah, eksistensi sebuah Undang-undang sangat ditentukan, dipengaruhi oleh faktor subyektifitas pembuat Undang-undang berdasar kepentingan. Jika kita membongkar undang-undang yang baru saja ditetapkan, secara substansinya tidak jauh berbeda dengan yang sebelumnya, pemerintahan kita masih pemerintahan partai, dan lebih dari itu kedaulatan negarapun adalah kedaulatan partai. Oleh karena itu, format ideal bangsa ini tidak atau belum tercermin dalam Undang-undang yang salah satunya (Undang-undang Pemilu) yang baru-baru ditetapkan.

Tapi, oleh karena Undang-undang sudah ditetapkan maka mau tidak mau, suka tidak suka---seluruh warga bangsa harus mengikuti, beradabtasi, dan KPU selaku penyelenggara Pemilu perlu menyiapkan penjabaran melalui Peraturan KPU atas pelaksanaan Undang-undang tersebut, agar tidak bias seperti yang sebelumnya.

________________

Dulu, diera Orde Baru, Soeharto terasa sangat absolut karena dilegitimasi Undang-undang dan konstitusi negara secara formal. Demikian hal yang sama terjadi sebelumnya dalam paruh kedua kekuasaan rezim Soekarno (1959-1966). Oleh karena itu, absolutnnya Soeharto, atau lembaga kepresidenan waktu itu tidak terlepas dari kelemahan Undang-undang yang mengatur tentang sistem pemilihan Presiden secara bertahap melalui lembaga MPR. Dengan memanfaatkan kelemahan itu, Soeharto dapat dipilih berulang-ulang dan berkuasa kurang lebih 32 tahun, tujuh periode.

Selama 32 tahun Soeharto menjadi presiden, MPR selalu memilihnya dan menerima pertanggungjawaban Soeharo, sekalipun rakyat memiliki penilaian lain. Hal itu karena MPR oleh pasal 1 (2) UUD 1945 mengatakan kedaulatan ada ditangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya oleh MPR. Dengan kata “sepenuhnya” itu, maka rakyat pada hakekatnya tidak lagi berdaulat. Dilain sisi, dengan kata “sepenuhnya” justru itulah yang menjadi pegangan Soeharto. Dari sinilah sumber Soeharto merekayasa segalanya termasuk Undang-undang, dan seolah-olah keputusan-keputusan tersebut telah sesuai dengan kemauan rakyat. Oleh sebab itu, Soeharto berusaha “memegang kendali” atas MPR sepenuhnya.

Kekuasaan membuat Undang-undang ada ditangan Presiden melalui pasal 5 (1) UUD 1945, DPR hanya sekedar memberikan persetujuan, oleh karena disepanjang perjalanan Orde Baru rancangan Undang-undang semuanya datang dari presiden. Yang menjadi langganan tetap DPR setiap tahun adalah membahas dan memberikan persetujuan terhadap UU tentang APBN induk, APBNP (perubahan) dan tentang perhitungan APBN akhir, hal ini oleh karena dalam sistem, presiden adalah pemegang kekuasaan pembuat Undang-undang bersama DPR.

Titik krusial dalam rumusan rancangan RAPBN sepihak oleh pemerintah dalam sistem yang dibuat Soeharto ini juga menunjukan ketiadaan kedaulatan rakyat. Hanya dinegara fasislah APBN semata-mata dirumuskan sepihak oleh pemerintah. Dalam negara demokrasi, APBN mulai dari perumusan (draff) RAPBN, DPR atas nama perwakilan rakyat sudah harus dilibatkan, bukan hanya membahas sodoran draff RAPBN dan menyetujuinya, atau DPR hanya menunggu dipersimpangan jalan. Apa yang dilakukan pemerintah sejak Orde Baru hingga sekarang pada hakekatnya adalah show of force dari dominasi pemerintah terhadap DPR. Betapa caranya rakyat sebagai bangsa akan hidup dan darimana didapatnya belanja buat hidup, harus diketahui oleh rakyat itu sendiri (DPR).

Lanjut, kemudian dipasal 2 (1) mengatakan MPR ditetapkan dengan Undang-undang, maka Soeharto menyusun MPR dengan cara mengangkat 60% anggota MPR untuk kepentingannya sendiri, yaitu ada fraksi ABRI, Utusan daerah dan Utusan Golongan melalui Undang-undang, maka lahirlah Undang-undang Kepartaian, UU Pemilu, UU tentang Susunan dan kedudukan DPR/MPR sesuai dengan selera Soeharto.

Semua itu untuk menghasilkan Pemilu yang akan dimenangkan oleh partai pendukungnya, yakni Golkar (masa itu). Karena pasal 5 (1) yang memberi kewenangan presiden sebagai pemegang kekuasaan pembuat Undang-undang, sehingga hampir rancangan yang diusulkan pemerintah tidak pernah dirubah satu pasal, satu ayatpun oleh DPR. DPR hanya membuat persetujuan secara politik. Kemudian Soeharto menciptakan pengertian bahwa presiden adalah “mandataris” MPR, olehnya presidenlah penjelamaan dari kedaulatan rakyat (mengorbitkan kedaulatan rakyat yang terbalik).

Demikian pula di pasal 24 dan 25, mengatur tentang pengangkatan hakim dan kekuasaan kehakiman itu berada dibawah kekuasaan presiden. Maka genaplah diera Orde baru, mulai eksekutif, legislatif dan yudikatif berada dibawah kendali penuh presiden.

Selain itu, dibangunlah ABRI menjadi kekuatan politik untuk mendukung rezim Orde Baru, karena presiden sesuai pasal 10 UUD 1945 selaku pemegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, laut dan udara. Politik Soeharto itu agar ikut memudahkan dia dengan mengikutsertakan ABRI  dalam politik penyelenggaraan negara untuk mendukung kekuasannya. Padahal pasal tersebut, hanya berlaku jika negara dalam keadaan perang. Sedang dalam keadaan damai, presiden cukup menyampaikan aspirasi militer (ABRI) kepada wakil rakyat.

Demikian pula Soeharto merekayasa melalui pasal 6 (2) yang mengartikan pemilihan oleh MPR berdasarkan suara terbanyak, suara terbanyak diwakili fraksi-fraksi (fraksisme). Anggota DPR dilarang bersuara lain dari apa yang sudah diputuskan fraksi. Dan jumlah fraksi yang dominan dan berpihak kepada Soeharto itulah yang harus diikuti oleh fraksi-fraksi lain, sehingga terbangun suara aklamasi, sehingga waktu itu tidak ada suara yang terpecah (bulat), dan dengan itu calon presiden harus bulat dan tunggal.

Dengan berbagai alasan-alasan rasional itu, maka Soeharto ditahun 1998 dipaksa mundur, digulingkan oleh Mahasiswa Indonesia (akumulasi dari seluruh persoalan bangsa), karena dianggap merusak tatanan bangsa Indonesia secara permanen. Padahal jika disimak dengan teliti, maka sistem politik Indonesia yang dibangun Soeharto diera Orde baru adalah kemiripin dengan majelis rakyat komunis yang berlaku dinegara-negara bekas komunis fasis, seperti di Jerman dan Jerman Timur. Walau Jerman Timur itu sudah runtuh tapi sejarah politik dapat disimak.

Karena di Jerman Timur, meskipun menjalankan praktek negara komunis dengan menggunakan label negara demokrasi karena ada beberapa partai yang didesign menjadi penguasa yang disebut majelis rakyat (MPR) tapi rakyat dibuat tidak berdaulat. Yang berdaulat adalah das werktaetige volk, kalau diterjemahkan adalah “rakyat golongan karya” ya sebut saja Golkar Orde Baru di Jerman Timur yang direkayasa untuk berkuasa melalui sistem politik yang terpusat.

Dengan carut marut sejarah perjalanan politik Orde Baru dengan menjadikan seorang presiden mempunyai kekuasaan absolut itu menjadi contoh buruk, karena kebiasaan buruk itu diberikan peluang oleh konstitusi dan UU, maka perlu ada konstruki ulang terutama menyangkut batasan-batasan, kewenangan, hubungan antar lembaga mulai dari lembaga Presiden, MPR, DPR, kekuasaan kehakiman, TNI, Polri dan lembaga negara lainnya dengan satu perspektif ideal untuk masa depan Indonesia (cita Indonesia).

Ideal, kita berharap---seorang presiden disaat ia terpilih dan telah mengucapkan sumpah / janji sebagai presiden RI idealnya hubungan atau loyalitas presiden dengan partainya sudah harus diakhiri, loyalitas bisa muncul kembali jika presiden tersebut akan mencalonkan diri kembali untuk berikutnya atau terakhir kali lewat partainya.

Hal ini untuk menghindari presiden sebagai pelindung partai, kelompok atau golongan tertentu, tapi presiden yang terpilih dan telah mengambil sumpah tersebut adalah presiden seluruh rakyat Indonesia, bukan presiden partai Golkar, bukan presiden partai Demokrat, bukan presiden partai PDIP, bukan presiden partai Hanura dll. Hal ini sekaligus untuk menghindari penyalahgunaan wewenang, korupsi, keberpihakan, perlindungan dst.

Demikian juga fraksi-fraksi di DPR yang merupakan perpanjangan tangan partai politik tidak perlu ada, ditiadakan, dihapus. Disaat seseorang dilantik, diambil sumpah sebagai anggota DPR maka seseorang itu adalah wakil rakyat, bukan lagi menjadi wakil partai. Fraksi-fraksi yang ada saat ini adalah model turunan sistem yang diciptakan Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya waktu itu, lagi pula eksistensi fraksi tidak dihapus maka sama dengan kita menguburkan demokrasi secara politik, sebagai wakil rakyat model loyalitasnya adalah kepada Undang-undang, kepada rakyat, apalagi diberlakukan sistem recall oleh partai/fraksi sebagai alat pembunuh wakil rakyat yang kritis (anggota-anggotanya). Karena dalam Undang-undang anggota DPR selain adalah wakil rakyat juga adalah wakil partai. Dengan demikian partai bisa dipaksa oleh kekuatan pemerintah untuk mere-call anggotanya yang suka melawan pemerintah. Atau pemerintah lewat Departemen Hukum dan HAM dapat memproses eksistensi partai yang bersangkutan.

Olehnya Undang-undang politik dan Pemilu harus dibuat dengan semangat  keindonesiaan masa depan, bukan dibuat dengan tergesa-gesa karena kepentingan jangka pendek pembuat Undang-undang dan kepentingan orang yang berkuasa, tapi Undang-undang yang dibuat adalah untuk martabatnya Indonesia dimasa depan dengan memperhatikan gagasan, filosofis, sosiologis dan yuridis sebagaimana kelaziman melahirkan sebuah Undang-undang.

Selain lembaga kepresidenan, kelembagaan politik MPR, DPR juga perlu direkonstruksi soal struktur dan fungsinya kembali. Rancangan Undang-undang diberikan kepada lembaga profesional yang diatur Peraturan Pemerintah, pengaturan lembaga kemasyarakatan dan imigrasi cukup badan semi pemerintah atau swasta yang mengelolahnya yang diatur dengan Undang-undang, tidak perlu diatur oleh sebuah departemen, menteri apalagi ada wakil menteri di departemen Hukum dan HAM, hampir tidak ada urgensinya sama sekali.

Demikian pula presiden dalam menjalankan hak prerogatifnya juga perlu diatur, agar dalam menjalankannya, presiden harus berkonsultasi dengan lembaga tinggi negara lain, semisal pengangkatan duta besar perlu meminta persetujuan pimpinan MPR, hak pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus dikonsultasikan dengan Mahkamah Agung (MA) dll.

Demikian pula masalah pemberian grasi dan rehabilitasi. Khusus untuk masalah rehabilitasi, sejauh ini belum ada badan yang bersungguh-sungguh menangani masalah rehabilitasi ini. Jika presiden memberikan rehabilitasi, maka dalam pelaksanaannya seharusnya dilaksanakan oleh Mahkamah Agung, yaitu lewat lembaga peradilan. Didalam KUHAP hanya disebutkan bahwa keputusan hakim menyangkut soal rehabilitasi, yaitu untuk kasus-kasus yang diputus bebas.

Oleh karena itu prinsip trias politica seharusnya diterapkan dengan sebaik-baiknya, dengan menjunjung tinggi kemandirian kekuasaan negara. Dengan demikian, hukum bisa ditegakkan dan berlaku adil dan sama bagi semua warga negara. Presiden dan anggota kabinetnya bisa diperiksa, diseret ke pengadilan. Kesalahan seseorang tetap melekat sepanjang dia belum diproses pada masa lalu sewaktu ia masih berkuasa. Hal ini berlaku bagi siapa saja termasuk presiden dan wakil presiden bisa diseret penjara melalui lembaga peradilan.

Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, KPK, Mahkamah Agung, Gubernur Bank Indonesia yang dikehendaki adalah menjadi lembaga yang mandiri, dapat diusulkn oleh presiden tapi harus mendapat persetujuan MPR (konstruksi kembali kelembagaan MPR). Mereka mempunyai kedudukan yang kuat dan independen diruang lingkup pekerjaannya. Jadi baik presiden, wakil presiden, menteri-menteri kabinet atau siapa saja tidak boleh melakukan intervensi dalam bentuk apapun, yang berhak melakukan intervensi adalah Undang-undang itu sendiri. Artinya kedudukan mereka setaraf menteri-menteri, tetapi independen dari kekuasaan presiden.

Bagaimana kalau presiden atau wakil presiden melakukan kesalahan secara nyata, melanggar konstitusi? Maka MPR harus meminta pertanggungjawaban presiden melalui lembaga impeacment yang dibentuk untuk menyelidiki indikasi pelanggaran presiden, jika terbukti presiden melakukan kesalahan maka bisa dipaksa mundur, atau menghadapi pengadilan Mahkamah Agung. Meskipun konstitusi negara sudah mengatur hak dan kewajiban presiden/wakil presiden tapi perlu ada ketentuan yang lebih luas dalam konstitusi negara antara lain tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan presiden, misalnya seorang presiden melakukan intervensi terhadap Gubernur Bank Indonesia, KPK, presiden membuat pernyataan sebagai sumber lahirnya konflik, presiden membuat kebijakan yang menyeret rakyat kearah penderitaan. Jika lembaga impeacment tidak diatur dalam Undang-undang, maka bisa dimasukan dalam Undang-undang tentang kepresidenan.

Demikian pula menteri kabinet perlu diatur, terutama pembatasan-pembatasan terutama kepada departemen yang penting dan krusial melalui Undang-undang. Mentri-mentri kordinator yang berlaku di era Soeharto tidak tepat lagi untuk dipertahankan. Lembaga-lembaga non departemen bisa dibentuk untuk membantu kelengkapan kabinet. Misalnya, apa Departemen Dalam Negeri masih dibutuhkan? Dapat dikaji secara mendalam, kita tidak butuh lagi pembina politik, produk aturan-aturan oleh Depdagri yang memasung otonomi daerah (daerah otononm), cukup ada Gubernur di propinsi, Departemen hukum dan HAM tidak diperlukan, dan beberapa departemen lain yang sepatutnya eksistensinya dikaji kembali, karena hanya membuat kekuasaan negara ini secara sentralistik model Orde Baru. Olehnya hak prerogatif presiden termasuk dalam membentuk departemen, mengangkat menteri-menteri negara perlu dirumuskan kembali, diatur Undang-undang, atau paradigama dan sistemnya perlu diluruskan.

Karena, presiden begitu membentuk banyak departemen, gonta-ganti menteri yang hanya membuat kegaduhan politik, karena presiden dalam memiliki hak prerogatif dalam sistem, ditambah lagi penambahan wakil menteri, struktur model ini perlu reorentasi pemikiran dan perlu diatur dengan tegas dalam Undang-undang, agar presiden tidak semau dia, karena atas kekuasaanya dapat berbuat apa saja. Karena ini soal sistem, maka sistem ini perlu dipikirkan, dibongkar kembali, kemudian digodok menjadi sistem kita.

Oleh karena itu, konstruksi bangunan politik Indonesia, semua pihak (ahli, cendikiawan, akademisi, profesional) perlu mendapat ruang untuk memikirkan menyangkut sistem ideal politik Indonesia. MPR yang seharusnya mengakseptasi kedaulatan rakyat misalnya memiliki kedudukan yang lemah bahkan menjadi tangan kedua dari DPR. Padahal MPR adalah penjelmaan dari kedaulatan rakyat. Pada berbagai celah ini semua, kekuasaan eksekutif mencengkramkan kuku kekuasaan dan menguasai hampir diseluru lini lembaga-lembaga negara baik legislatif maupun yudikatif, dan presiden hampir melaksanakan dengan seleranya sendiri-sendiri dengan memproduk sistem melalui Undang-undang, Undang-undang itu kemudian dipaksakan DPR untuk menyetujuinya. Sekedar catatan lepas.#

Jumat, 21 September 2012

Sumber Daya Manusia & Iptek




Lembata (NTT) jika saja dua periode pertama dilewati dengan baik, terencana dan sitematis dengan menitikberatkan pada pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan Iptek, maka kita akan tertolong lebih ringan dalam menapak periode ketiga, 2011. Kekeliruan kita adalah tidak meletakkan unsur kekuatan SDM dan Iptek secara benar dalam rencana pembangunan daerah. Andai, kita meletakkan SDM dan Iptek secara benar, maka dalam hitungan periodisasi lima belas tahun (tiga periode) kita sudah mampu merintis pembanguan tekhnologi berdasar keunggulan-keunggulan lokal yang kita miliki.

Karena asumsi yang diletakkan dalam jangka panjang, keberhasilan pembangunan hanya dapat ditentukan oleh kualitas manusianya, bukan pada melimpah ruahnya kekayaan alam. Singapura, Jepang, Korea adalah negara-negara miskin sumber daya alam, demikian juga Bali, Jawa yang juga minim sumber daya alam, tapi karena mengembangkan Iptek dan memanfaatkan SDM dengan kualitas tinggi sebagai unggulan komparatif, maka daerah-daera itu tergolong sukses dan mampu menghasilkan produk-produk yang menembus pasar regional, dunia. Disini terbukti pentingnya tekhnologi, yaitu SDM yang menguasai Iptek.

SDM yang menguasai Iptek adalah modal, dan diharapkan mampu menciptakan dan pembentukan modal lain. Pengembangan tekhnologi dapat dihasilkan dari peningkatan organisasi dan kelembagaan. Upaya-upaya seperti mengembangkan lembaga pendidikan, litbang, ristek dan diharapkan memasyarakatkan hasil-hasil riset kepada masyarakat pemakai adalah juga usaha pengembangan tekhnologi. Dengan pembangunan SDM dan Iptek secara baik didaerah, maka kita akan memperoleh economy efficiency dan mendapatkan nilai tambah secara murah. Inilah pendekatan SDM dan Iptek yang seharusnya dilakukan dalam periode sebelum dengan cermat.

Olehnya itu, kita harus membutuhkan waktu yang panjang untuk memikirkan pembentukan SDM yang menguasai Iptek sebagai modal daerah masa depan, dengan cermat, sistematis dan terencana. Jika 2011 adalah awal perintisan, perencanaan maka hasilnya baru dapat dirasakan sekitar 10 atau 20 tahun mendatang. Untuk antisipasi kelangkaan SDM yang menguasai Iptek, maka kebijakannya adalah mengimpor SDM unggulan dari daerah lain sekalipun dibayar dengan biaya mahal untuk menopang perencanaan, pembangunan termasuk perencanaan komprehensip pembangunan ekonomi daerah.

SDM yang menguasai Iptek, mungkin terlalu jauh kita bicara soal bio-tech atau genetic engineering yang digunakan membuat mangga, pisang, jambu, kelapa atau umumnya hasil perkebunan yang dihasilkan, tapi dengan keunggulan SDM dan Iptek yang kita miliki dapat membuat keunggulan produk lokal memiliki nilai tambah bagi daerah dan penghidupan warga. Dengan hitungan urusan tekhnologi murah itu, maka tidak susah untuk digarap dari sekarang, dengan memanfaatkan hasil perkebunan, pertanian, perikanan yang dimiliki oleh kita, yang rata-rata memiliki nilai yang tidak kalah beda dengan daerah lain, kita mampu berdiri sejajar dengan daerah-daerah yang sudah lebih dulu maju. Olehnya itu, gerakan; tanam, petik olah, jual (tapol) digerakan dan tentu disiapkan berbagai sub system yang dapat menopang keberlanjutannya.

Kalau ada orang yang sudah pernah ke Lembata atau NTT umumnya, dan menumpang bis angkot kota dan luar kota, telinga kita seolah pecah dengan musik yang diputar, sekalipun daerah ini tidak memiliki satupun produksi musik diwilayah ini. Atau mesin diesel yang rusak sekalipun yang rusak hanya baut, tapi kita mencarinya adalah ditoko-toko, tapi tidak pernah menggugah kita kapan kita bias memproduk baut seperti yang terjual ditoko itu. Atau kita bisa menggalakkan kekuatan local dengan mBok Berek untuk menahan masuknya tekhnologi KFC (kentucky fried chicken) dengan memanfaatkan keunggulan-keunggulan lokal kita. Atau kita mampu memproduk masakan khas ikan ala ikan bakar Solo yang trend, kita punya keunggulan; misalnya ikan kerapu, tuna, udang, cumi dstnya, setiap malam kisaran antara 5-10ton nelayan menangkapnya. Tapi mau dibawah kemana ikan semua itu yang memiliki kualifikasi eksport?. Ini contoh kecil, yang menggugah kita dalam pembentukan SDM yang menguasai Iptek dalam ukuran  waktu jangka panjang.

Disinilah dibutuhkan SDM yang memiliki arti dan upaya mengangkat manusia dari kemiskinan, daripada menghasilkan konglomerat erzatz yang hanya tahu mengimpor tekhnologi tanpa gairah mengembangkan tekhnologi sendiri.

Profesionalisme

SDM dimaksud, adalah orang-orang memiliki profesi/keahlian, kita harus berani memulai dengan gerakan profesionalisme. Para ilmuwan seperti dokter, apoteker, insinyur, ahli ekonomi, ahli hukum, ahli perencanaan, ahli keuangan dan sebagainya digolongkan kedalam full profesionall. Sedangkan para wirausaha, guru-guru, karyawan kantor, orang-orang mekanik, ahli-ahli listrik dan lain-lain digolongkan kedalam sub-profesionals.

Para profesional dikenal sebagai high-level manpower yang mempunyai unsur, yang dalam ekonomi pembangunan disebut dengan residual. Residual inilah unsur utama meningkatkan kualitas kerja, sehingga pengaruhnya sangat terasa dalam multi fungsi. Dengan penambahan kualitas kerja tersebut sebagai input, maka output akan menjadi meningkat lebih besar dalam skala tertentu.

Profesionalisme mengandung tiga unsur pengertian yang erat kaitannya satu dengan yang lain, yaitu; 1) kapasitas atau stok keahlian yang bersumber pada ilmu pengetahuan dan tekhnologi, 2) moral atau etika, dan perilaku dan tindak tanduk, baik secara individu maupun kelompok, 3) pelayanan terhadap orang, masyarakat atau lingkungan.

Manusia yang profesional, dengan demikian, dianggap sebagai manusia berkualitas yang memiliki keahlian serta berkemampuan mengekspresikan keahliannya itu bagi kepuasan orang lain atau masyarakat dengan memperoleh pujian. Ekspresi keahlian tersebut tampak dari perilaku, analisisnya dan keputusan-keputusannya.

Uang dianggap bukan unsur utama, bahkan bisa sama sekali bukan unsur, tetapi sekedar pernyataan pujian atas pelayanan atau suguhan yang memuaskan (marketable). Demikianlah hasil kerja profesional selalu memuaskan orang lain dan oleh sebab itu, orang akan rela membayar dengan harga tinggi. Dengan demikian, hasil kerja profesional selalu mempunyai nilai tambah yang tinggi. Oleh sebab itu, profesional selalu dikaitkan dengan efesiensi dan keberhasilan, dan menjadi sumber bagi peningkatan produksi, pertumbuhan, kemakmuran dan kesejahteraan, baik dari individu pemilik profesi maupun masyarakat dilingkungannya.

Membangun daerah tentu membutuhkan unsur-unsur profesionalisme dengan ciri profesioanl, seperti kenalaran, kordinasi, keutuhan dan kecermatan, serta kesahajaan. Seorang profesional tidak membutuhkan peralatan yang canggih seperti mesin hitung yang mampu menghitung dan menyuguhkan data secara tepat dan cepat, tetapi orang profesional seringkali hanya dengan nalar dan logikanya.

Berdasarkan itu, dia sudah mampu melihat secara baik persoalan yang dihadapi, dan dari situ mengembangkan berbagai alternatif pemecahannya, serta memilihnya yang terbaik. Bayangkan ia seorang dokter yang memeriksa pasiennya ditempat yang pelosok, cukup dengan mendengar keluhannya pasien, ia sudah tahu penyakit apa yang diderita. Jika dokter tahu penyakitnya maka apoteker tahu obatnya, siklus seperti ini akan selalu dinamis dan berkembang.

Yang dihadapi oleh seorang profesinal adalah bagaimana mengkordinasikan berbagai subsistem, baik dalam skala mikro seperti contoh dokter diatas, maupun dalam skala makro seperti pembangunan ekonomi yang menyangkut alokasi sumber daya manusia, peralatan dan modal. Dari kordinasi ini akan dihasilkan suatu prakarsa yang berarti dan berguna bagi manusia dan kemanusiaan.

Dalam upaya memperoleh kesimpulan atau mencari bangunan jawaban yang terbaik, seorang profesional seringkali harus membuat rancangan. Rancangan dibuat secara cermat dan utuh, sehingga selesai dan tak ada yang tertinggal, lengkap tidak setengah-setengah atau parsial.

Demikian pula, seorang profesional seringkali bekerja dengan peralatan yang minim, sehingga cukup membuat sketsa atau model dari keadaan dunia yang nyata dan pelik.Yaitu, simplifikasi atas bangun dan perilaku dunia nyata kedalam bentuk yang sederhana (sahaja) dan mudah dimengerti. Yaitu, suatu model yang mirip dengan bentuk aslinya, baik secara statis maupun dinamis, sehingga harus sahih (valid) dan handal (reliable). Demikian model pembangunan juga harus dirancang melalui model-model yang bisa membawa kepada tujuan pembangunan.

Apa yang ada didunia ini pada hakekatnya, menyangkut berbagai masalah kemanusiaan. Para profesional dihadapkan pada masalah-masalah untuk memecahkannya. Untuk itu aturan main seorang profesional dinyatakan dengan langkah-langkah dasar yang merupakan prosedur analisis sistem. Pertama, tidak ada analisa yang bisa berlanjut tanpa pernyataan tentang tujuan. Kedua, selanjutnya adalah tidak mungkin mencapai tujuan tanpa menetapkan ukuran keberhasilan.

Karena maksud dari analisa adalah mencari pemecahan, maka langkah profesionalisme harus pula diikuti dengan usaha keras mencari dan menyajikan berbagai alternatif pemecahan. Masing-masing alternatif harus dikaji dan dinilai satu persatu sebelum, kemudian, ditetapkan pilihan alternatif yang terbaik.

Selain sedikit jumlah tenaga kerja yang bisa dikategorikan sebagai profesionalisme di daerah, langkah-langkah yang menunjukan ciri profesionalisme juga belum membudaya. Budaya ini mempunyai kaitan erat dengan budaya lingkungan yang disebut dengan keterbukaan. Budaya simplistis, yang short-cut, yang asal-asalan, bahkan tidak masuk akal dan terasa sewenang-wenang, telah menjadi budayanya kebanyakan para birokrat. Apabilagi birokrat yang non keahlian, kita minim stok tenaga-tenaga profesionalisme. Selain itu, kita juga diperhadapkan pada berbagai persoalan pelik lainnya, pendidikan sebagai sumber lahirnya SDM begitu rapuh, kompleksitas masalah yang melilit, bukan hanya kemauan tapi kemampuan. Untuk mengejar ketertinggalan, kita butuh kematangan konsep, mampu membangun asumsi, membuat kebijakan dan ulet secara tekhnis dipelaksanaan.

Untuk kelangsungan pembangunan dan kelangsungan masa depan daerah sangat ditentukan oleh kemampuan SDM yang disiapkan dan diperuntukan bagi kesejahteraan daerah, dan mampu menjamin kerja produktif dipasar tenaga kerja maupun untuk peningkatan kemampuan karya dan pikirnya untuk pengembangan Iptek itu sendiri. #


Kupang, Juli 2008