Tragedi Bima 24/12,
Mesuji April/2011 dan berbagai daerah lain Indonesia disektor
pertambangan, menandaskan ketidakmampuan pemerintah dalam pengelolaan
Sumber Daya Alam, sejak awal orde baru hingga kini, dan terus melahirkan
masalah.
Dalam kebijakan dan praktek pertambangan, peran
serta rakyat tidak mendapat tempat yang memadai. Rakyat tidak pernah
terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari
suatu aktivitas pertambangan. Bahkan rakyat tidak memiliki otoritas
untuk menyetujui atau menolak suatu rencana penambangan yang akan
berdampak pada wilayah hidup mereka. Bahkan dalam UU Pertambangan,
rakyat diwajibkan untuk menyerahkan tanahnya jika ada kegiatan operasi
pertambangan di wilayah tersebut. Jika rakyat berkeberatan, mereka dapat
di dikenakan sanksi pidana. Dalam soal ganti rugi atas tanah, rakyat
dipaksa untuk menerima jumlah yang telah ditetapkan sepihak oleh
pemerintah dan perusahaan. Jika rakyat tidak menerimanya, pemerintah
akan menitipkan uang kompensasi itu di pengadilan negeri dan dianggap
kompensasi telah terjadi.
Pemerintah selalu berdalil, ucapan wellcome
bagi
pemodal untuk investasi disektor pertambangan, adalah untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sebagai perbandingan, negara
sub-Sahara di Afrika yang bergantung pada kekayaan mineral (tambang)
maupun Negara Timur Tengah yang bergantung pada kekayaan minyak bumi
digolongkan Bank Dunia sebagai negera miskin yang terbelit utang. Tahun
2004 (UNDP), menggariskan Papua dan NTB sebagai daerah paling buruk
indeks pembangunan manusianya (HDI), padahal Papua dan NTB adalah negeri
sejuta emas/tembaga.
Ketergantungan sebuah daerah pada
kekayaan tambang memiliki hubungan negatif terhadap kelompok miskin di
daerah bersangkutan. Yang dimaksud dengan “ketergantungan pada kekayaan
tambang” adalah perbandingan ekspor mineral dengan Produk Domestik Bruto
(PDB) daerah itu. Untuk menaksir keadaan kelompok miskin, salah satu
tolak-ukur yang di pilih adalah Indeks Pembangunan Manusia atau
Human Development Index
(HDI), suatu ukuran yang dikembangkan oleh United Nations Development
Programme (UNDP) yang menggabungkan data pendapatan per kapita dengan
data kesehatan dan pendidikan di satu daerah.
Justru
terbalik, daerah yang tidak bergantung pada tambang justru begitu makmur
seperti Bali yang lebih sedikit penduduk miskinnya dibanding daerah
yang kaya akan tambang tapi terpuruk seperti NTB dan Papua.
Apakah
daerah-daerah dengan tingkat pendapatan yang hampir sama, tetapi
berbeda tingkat ketergantungannya kepada kekayaan tambang, memiliki
kinerja yang lebih baik atau lebih buruk dalam memenuhi kebutuhan
kelompok miskin?. Bacaan kita, menemukan hubungan negatif yang kuat
antara tingkat ketergantungan suatu negara terhadap kekayaan tambang
dengan peringkat HDI. Semakin tinggi suatu daerah mengandalkan ekspor
mineral/tambang, semakin buruk standar penghidupannya. Di sepanjang
sejarah, negara-negara yang bergantung kepada kekayaan mineral mengalami
kemunduran: semakin besar ketergantungan negara tersebut kepada
mineral, semakin merosot peringkat HDI-nya, seperti Zambia, Zimbabwe dan
Kazakhstan tergolong negara-negara yang mengalami kemunduran luar
biasa.
***
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir bahan
tambang kita dieksploitasi secara berlebihan untuk kepentingan ekspor
semata dan bukan untuk kepentingan nasional yang mendesak. Akibatnya
kita telah memasuki gerbang kelangkaan yang akan berakibat buruk bagi
peradaban bangsa Indonesia di masa mendatang. Angka-angka berikut
menunjukan betapa selama ini orientasi eksploitasi bahan tambang
Indonesia hanya untuk kepentingan kepentingan negara lain. Hal ini dapat
dilihat pada produksi mineral seperti Emas produksi sebesar 142.238 kg
untuk ekspor ±73%, Perak 293.520 kg untuk ekspor ± 46%, Ferro Nikel
42306 mt untuk ekspor ± 88%. Sementara itu 74% Batu Bara kita di
eksploitasi hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar Asia 60.235.631,70 ton,
Eropa 9.936.175 ton dan Australia-Amerika 2.555.173 ton, di dalam
negeri sendiri 39% Batu Bara dikosumsi oleh industri Listrik, Semen,
Metallurgy, Pulp dan Briket berkisar 29.257.002,59 ton,
(Departmen Energi dan Sumberdaya Mineral: 2003).
Untuk
mendukung strategi obral murah kekayaan tambang di Indonesia pemerintah
telah mengeluarkan izin kontrak karya 98 KK dan PKP2B 86 perusahaan
(2003). Diluar itu, sebanyak 150 izin KK tumpang tindih dengan kawasan
lindung. Alasan yang selalu digunakan adalah demi pemulihan ekonomi,
padahal basis argumentasi itu telah kehilangan keabsahannya karena
kontribusi pertambangan bagi ekonomi negara sangat kecil.
Disektor
MIGAS, upaya pemerintah untuk terus menguras cadangan migas yang ada
juga tidak kalah hebat. Sejak tahun 2003, pemerintah sedikitnya telah
menawarkan 21 blok migas kepada para investor. Dari jumlah itu, 11 blok
migas telah ditawarkan sejak pada bulan Agustus 2003 dan 10 blok lainnya
ditawarkan pada bulan Oktober 2003. Saat ini, dari 60 cekungan minyak
bumi yang dimiliki Indonesia 23 persen atau 14 cekungan sudah
dieksplorasi dalam 30 tahun terakhir. Cadangan minyak bumi di 14
cekungan itu sudah terkuras habis dan tinggal tersisa sembilan miliar
barrel. Dengan laju produksi minyak 1,3 juta barrel per hari, jumlah itu
hanya mencukupi kebutuhan bahan bakar untuk tujuh tahun ke depan,
(Nasrullah Salim: 2004). Sampai kini impor minyak bumi Indonesia sudah melebihi kuota ekspor
Hal
ini dilakukan karena produksi minyak bumi Indonesia tidak mencukupi
kebutuhan dalam negeri (kebutuhan 1 juta barrel/hari, namun sejak tahun
2007 Indonesia mengimpor 250 ribu barrel/hari). Situasi krisis energi
ini diperburuk dengan tak dipersiapkannya teknologi pengolah energi
selain minyak bumi. Tingkat ketergantungan terhadap minyak bumi sudah
sangat tinggi, padahal cadangan minyak kian menipis.
Dengan
jumlah penduduk 203,3 juta jiwa lebih, diperkirakan tingkat kebutuhan
energi di Indonesia yang akan mengalami lonjakan 2 kali lipat pada tahun
2025 nanti. Jika kini kebutuhan energi kita sebesar 4.028,4 PJ (Peta
Joule), maka pada tahun 2025 nanti diperkirakan mencapai 8.145,6 PJ.
Selama ini kebutuhan energi sebesar itu sebagian besar masih
mengandalkan energi tak terbarukan, yaitu minyak (13%), batubara (45%),
gas alam (27%) dan hanya 15% yang mengandalkan energi terbarukan. Disisi
lain, sumber energy tak terbaharukan yang dimiliki Indonesia terus
ditingkatkan jumlah eksportnya sehingga diperkirakan sepuluh tahun
mendatang sumber minyak bumi Indonesia akan habis, dan disusul
kelangkaan gas alam serta batubara.
Kelangkaan
sumber-sumber energy tak terbaharukan yang bakal dihadapi Indonesia akan
membawa dampak yang sangat serius, karena hingga saat ini pemerintah
belum mengusahakan dengan optimal alternatif energy yang dapat
menggantikannya.
Ketidakadilan Pembagian Energi
Indonesia
memposisikan energi BBM (fosil) sebagai sumber pendapatan negara yang
besar. Tahun 2001 sekitar 35-41% ditarik sebagai pendapatan negara.
Implikasinya peningkatan laju eksploitasi sumber daya energi fosil dari
kerjasama lintas negara menyedot sekitar 75% potensi minyak, 58% gas
bumi dan batubara sekitar 70%. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan pangsa
pasar dunia yang terdesak, maka yang terjadi adalah penghisapan
besar-besaran pada daerah/negara yang kaya akan MIGAS dan terjebak masuk
dalam lingkaran hutang negara-negara donor semisal IMF. Model
pengelolaan politik - ekonomi ini akan berakibat pada kriris energi BBM
sampai pada tingkat mengabaikan kebutuhan pokok rakyat yang paling
mendasar.
Krisis yang melanda Indonesia hampir dalam
beberapa dasawarsa ini bukti kegagapan pemerintah dalam mengelolah
politik ekonomi untuk kesejahteraan rakyat. Pasar minyak mentah dunia
menjadi alasan Indonesia tapi tidak memikirkan pengamanan aktivitas
ekonomi rakyat lapis bawah. Artinya pengelolaan energi
(cadangan dan pasokan) tidak menjadi fokus utama perhatian pemerintah terhadap basis ketahanan energi Indonesia.
Laporan
Congressional Research Services (CRS) tahun 1985 dan 2003 kepada Komite
Energi di Kongres AS menyebutkan jika tingkat pemakaian energi fosil
masih terus seperti sekarang tanpa peningkatkan dalam efesiensi produksi
penemuan cadangan baru atau peralihan ke cadangan-cadangan baru atau
peralihan ke sumber-sumber energi alternatif inkonvensional maka
cadangan sumber energi atau bahan bakar fosil sedunia khususnya minyak
bumi diperkirakan hanya bertahan sampai 30-50 tahun lagi,
(Effendy Syarif: 2004).
Demikian
pula laporan Kasubdin Konservasi Energi Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral RI, Maryan Ayuni cadangan produksi minyak bumi Indonesia
hanya bertahan hingga 10 tahun, gas alam 30 tahun, dan batubara 50
tahun. Cadangan berkurang, sementara konsumsi energi nasional meningkat
pesat
(rata-rata 10% per tahun). Hal itu merupakan peringatan
yang sangat serius terhadap kita bukan semata ketakutan akan habisnya
cadangan energi tapi jauh lebih mengkhawatirkan adalah dampak pemakaian
dan ikutan lainnya
.
Disisi lain, ketidakadilan
dalam pembagaian sumber energi dunia antara negara kaya dan negara
miskin, antara utara dan selatan, antara negara maju dan baru
berkembang, antara bekas penjajah dengan bekas negara jajahannya. Tahun
1995, sekitar 5,7 milyar penduduk dunia dengan total energi adalah
362,24 kuadrilyun BTU
(British Thermal Unit). Penduduk Amerika
Utara dan seluruh Eropa yang hanya 20,1% dari total penduduk dunia
mengkonsumsi 59,1% energi dunia, Afrika dan Amerika Latin yang 21,4%
dari total penduduk dunia hanya mengkonsumsi 10,3%, Jepang sendiri yang
hanya berpenduduk 2,2% dari total penduduk dunia mengkonsumsi 5,9%
energi dunia, negara kaya timur tengah yang penduduknya 3,7% dari
penduduk dunia, mengkonsumsi 4,6%. Bandingkan dengan gabungan
negara-negara Asia Timur, Selatan dan Tenggara, Oceania dan Australia
yang berpenduduk 53,6% dari total penduduk dunia hanya mengkonsumsi
20,7% energi dunia, lambang ketidakadilan global,
(Effendy Syarif: 2004).
Hal
itu dipengaruh kuat oleh para pemilik modal dan alat-alat produksi yang
menghasilkan, mengatur dan menggunakan sumber-sumber energi utama
dunia, polarisasi ketidakadilan global terhadap pembagian energi.
Indonesia sendiri, dibuka ruang yang lebar terhadap pemodal mulai dari
hulu ke hilir, terjadinya liberalisasi disektor minyak disusul
pencabutan subsidi dan penetapan harga minyak dengan alasan dapat
merangsang investor untuk berbisnis di sektor hilir menandakan negara
kehabisan akal terutama melalui pertamina untuk melakukan proteksi harga
dan jaminan ketersediaan energi untuk rakyat dilepaskan oleh negara
kepada pemodal.
Kecendrungan Nasional
Tahun
ini adalah tahun ‘ancang-ancang’ bagi banyak pihak yang terlibat atau
menaruh harapan pada peristiwa-peristiwa politik. Ditahun ini terjadi
konsolidasi dan tawar-menawar antar aktor dan parpol untuk memenangkan
pemilihan legislatif dan pemilihan Presiden di tahun 2014. Politik uang
juga merupakan satu peristiwa yang diprediksikan masih terjadi di tahun
2014 sehingga banyak partai di tahun ini menjalin hubungan diam-diam
atau terang-terangan dengan pelaku bisnis, karena dari situ sumber
pendanaan partai diharapkan mengucur. Bagi pelaku pertambangan minyak
dan gas bumi, peluang ini dimanfaatkan dengan baik, dengan berbagai cara
dan pendekatan, yang sangat sulit dibuktikan oleh publik. Tapi dapat
diyakini kedekatan sektor bisnis dengan partai-partai sudah lama
terjalin.
Bahkan disinyalir telah terjalin hubungan
harmonis antara kelas komprador domestik tersambungkan dengan
kepentingan perusahaan transnasional dan menjalin hubungan dengan partai
berkuasa. Hampir semua partai saat ini memiliki aktor yang dapat
dikategorikan sebagai bagian dari kelas komprador domestik. Mereka yang
menjadi salah satu mesin uang bagi partai-partai besar, dan sebagian
dari mereka adalah pelaku bisnis di sektor pertambangan, minyak dan gas,
atau sumber daya alam lainnya.
Situasi politik semacam
ini semakin menyulitkan terjadinya perubahan yang signifikan terhadap
kebijakan-kebijakan negara yang diharapkan berpihak pada rakyat. Bahkan
dalam banyak inisiatif perubahan kebijakan negara, terlihat bahwa wakil
pemerintah dan wakil partai-partai yang duduk di parlemen tidak lagi
berfikir cerdas bagi kepentingan rakyat, akan tetapi telah melakukan
langkah-langkah blunder karena merancang kebijakan yang masuk dalam
bingkai neo-liberalisasi ekonomi dan liberalisasi politik yang di dorong
oleh IMF, Bank Dunia, Negara-negara utara serta pelaku bisnis domestik
dan transnasional. Sebagai misal saat pemerintah sedang menyiapkan
perangkat perundang-undangan bidang penanaman modal (UU Penanaman modal
asing). Kebijakan ini sedang ditunggu-tunggu oleh pelaku bisnis karena
pemerintah menjajikan insentif dan disinsentif pada pelaku bisnis,
termasuk diberlakukan kembali
tax-holiday.
Tidak
itu saja, dalam rancangan UU Pertambangan waktu itu, dan pembaharuan
agraria, Bank Dunia berperan penting baik terang-terangan seperti
mendanai seminar atau lewat orang-orang yang sepaham dengan mereka
sebagai konsultan. Betapa menyedihkan ketika seorang profesor dari
universitas ternama saat itu, ia menjadi tim pembuat RUU Pertambangan
waktu itu, disisi lain pada saat bersamaan dia juga menjadi konsultan
hukum lingkungan disebuah perusahaan pertambangan. Tentu tidak sulit
membayangkan kebijakan yang bakal lahir selain mengakomodasi
kepentingan-kepentingan para pemodal.
Model yang saat ini
dipakai tidak jauh beda dengan model yang dulu pernah diterapkan pada
masa transisi dari orde lama ke orde baru. Saat itu Bank Dunia Group,
beberapa negara-negara utara dan pelaku bisnis lain mendesain model
ekonomi Indonesia yang dilegalkan dengan instrumen hukum. Di tahun 1967
banyak peraturan perundangan yang keluar sebagai tindak lanjutnya antara
lain UU Kehutanan, UU Penanaman Modal Asing, atau UU Pertambangan. Dari
regulasi yang ada seluruh instrumen ekonomi digerakkan, dan tulang
punggungnya adalah ekstraksi sumber daya alam. Aksi rakyat diredam
dengan kekuatan militer. Tidak heran jika masa itu banyak terjadi
peristiwa pelanggaran hak asasi manusia.
Kecendrungan Global
Konstalasi
politik dan ekonomi ditingkat global hingga hari ini lebih banyak
didominasi oleh Amerika Serikat. Hampir bisa dipastikan perubahan
politik dan ekonomi yang terjadi di semua belahan dunia sekarang tidak
lepas dari pengaruh AS. Sebaliknya, perubahan ekonomi dan politik yang
terjadi di AS akan berpengaruh terhadap perubahan secara keseluruhan.
Pemboman
gedung WTC (11 September 2001) atau serbuan AS atas Irak, juga campur
tangan AS di Libya---menewaskan Khadafi juga menelan ribuan nyawa
manusia. Pemboman gedung WTC, dijadikan legitimasi AS untuk melakukan
invasi ekonomi ke negara-negara selatan untuk terus bergantung
kepadanya. Dengan dalih memerangi terorisme, AS bisa semaunya melakukan
embargo ekonomi atau memutuskan bantuan ekonominya ke negara-negara yang
dianggap tidak mau mendukung kebijakan perang melawan teroris itu. Yang
terjadi kemudian adalah negara-negara selatan tidak bisa melepaskan
ketergantungannya dari lembaga-lembaga penghutang seperti Bank Dunia
Group, CGI, IMF dan ADB atau lembaga perbankan lain.
Dibalik
semua dalih itu, sebenarnya AS punya kepentingan untuk menguasai dan
terus mendominasi kekuatan ekonomi dunia. Invasi AS ke Irak atau ke
Afganistan atau ke Libya, sebentar lagi Iran misalnya, belakangan
terungkap bahwa pemenang tender migas di negara kaya minyak kedua dunia
itu dikuasai oleh perusahaan-perusahaan migas asal AS seperti Exxon
Mobil, Shell, Chevron-Texaco, dan sebagainya.
Kita tahu
bahwa AS sebenarnya sedang dilanda krisis energi migas. Sadar dengan
kondisi itu maka AS lebih memilih untuk melakukan invasi eksploitasi
migas ke negara-negara yang dinilai memiliki cadangan migas melimpah. AS
berharap, cadangan migas dalam negerinya bisa dihemat dan pada saatnya
nanti negara-negara dunia ketiga yang belum memiliki kemampuan
mengembangkan energi alternatif terbarukan akan tetap tergantung
kepadanya.
Olehnya untuk tambang, minyak dan gas,
perubahan global yang terjadi patut dilihat sebagai ancaman dimasa
mendatang terhadap perubahan kearah negatif disitus-situs perubahan
maupun secara nasional. Dominasi atas sumber daya alam oleh
perusahaan-perusahaan transnasional yang berkolaborasi dengan kekuasaan
negara-negara utara akan memaksa laju pengerukan di negara-negara
selatan sesuai dengan keinginan negara-negara utara. Kontrol atas harga
dan jalur distribusi pun dikendalikan oleh perusahaan transnasional.
Skenario ini perlu dipandang sebagai bagian dari keberlanjutan dominasi
utara terhadap negara-negara selatan.
Untuk melegalkan
percepatan pengerukan tersebut berbagai institusi digunakan yang
kemudian melahirkan berbagai inisiatif dan ditopang oleh berbagai
instrumen yang dihasilkan.
Sorotan dan
tekanan publik yang menguat terhadap praktek pertambangan dari
waktu-kewaktu akibat banyaknya fakta pertambangan merupakan aktivitas
yang merusak, sarat dengan pelanggaran HAM, militerisasi dan
penghancuran sumber-sumber kehidupan rakyat membuat pelaku pertambangan
berusaha menciptakan image untuk ‘menghijaukan’ citranya. Lahirnya
Global Mining Inisiative (GMI) dan MMSD (
Mines, Minerals and Sustainable Development)
menandai intensitas global pelaku pertambangan guna merubah citra buruk
mereka. Berbagai pertemuan global menjadi ajang kampanye perusahaan
tambang untuk menghijaukan citranya, salah satunya adalah di KTT
pembangunan berkelanjutan.
Dalam Rencana Aksi Pembangunan
Berkelanjutan misalnya disebutkan dengan jelas bagaimana pentingnya
pertambangan dalam berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan.
Salah satu cara yang digunakan meningkatkan pertanggung jawaban
perusahaan (
Corporate responsibility) dengan mendorong kalangan
industri untuk meningkatkan kinerja sosial dan lingkungan melalui
prakarsa-prakarsa sukarela, seperti kode etik (
code of conduct) dan sertifikasi.
Padahal
mengaitkan pertambangan dengan sesuatu yang berkelanjutan adalah hal
yang tidak masuk akal. Tak hanya itu, untuk menjamin pendanaan mereka
terhadap industri merusak terus berlanjut, lembaga pendanaan
internasional macam Bank Dunia (World Bank) juga melakukan hal yang sama
dengan memfasilitasi apa yang disebut sebagai Extraktif Industri Review
(WB EIR). Hasil kajian industri ekstraktif ini terbukti Bank Dunia
tidak menghentikan pendanaannnya bagi industri perusak seperti
pertambangan minyak dan gas. Demikian juga dengan lembaga-lembaga lain
yang bernaung dibawah Bank Dunia seperti MIGA, IBRD, IDA, dan IFC tetap
mendanai proyek-proyek industri ekstraktif.
Proses EIR
sejak awal memang sengaja digiring untuk menguntungkan pelaku-pelaku
industri. Selain prosesnya yang tidak transparan, kesimpulan akhir dari
kajian industri ekstraktif yang kemudian dipresentasikan dalam forum
Pembangunan berkelanjutan di Johanesberg, Afrika Selatan beberapa waktu
lalu memang lebih banyak mengakomodir kepentingan negara-negara maju dan
para pemilik modal. Dalam konteks ini antara lembaga-lembaga keuangan
internasional dengan pelaku industri terdapat hubungan mutualisme,
keduanya saling mendapat keuntungan dari dilanggengkannya pendanaan
terhadap industri ekstraktif. Seperti diketahui, salah satu penopang
penting industri tambang adalah lembaga keuangan, lebih dari 50% modal
pertambangan berasal dari pinjaman.
Bagi kita,
kencenderungan dunia pertambangan ini menjadi ancaman serius, karena
kasus-kasus yang selama ini tidak diselesaikan dengan baik, akan terus
terabaikan. Kebijakan-kebijakan yang seharusnya dikeluarkan untuk
merespon persoalan pertambangan, minyak dan gas akan terbengkalai atau
diredesain berdasarkan kepentingan pemodal dan partai-partai politik
yang sedang berkompetisi, peristiwa Bima dan Mesuji belakangan ini—fakta
telanjang yang nyata adanya dihadapan kita, inilah potret buram dunia
pertambangan.#