Jumat, 21 September 2012

“I am a bird, look at my wings; I am a mouse long live the rats”!




”-----------the other echoes {that} inhabit the garden -----, catatan T.S Eliot untuk Mister Rigen, gema-gema lain yang menghuni kebun. Sosok terlukis dhuafa kaum yang melarat dipinggir air kubangan kerbau, bagian yang diperlukan, bagian yang memberi nafas kebahagiaan. Tetapi juga Mister Rigen yang selalu tersapa bedhes {sebangsa monyet kecil} – meskipun mewakili kelas yang selalu terjepit tidak selamanya bisa hanya berlaku sebagai bagian yang diperlukan. Mereka juga bukan merupakan anasir dari bagian keseluruhan. Mister Rigen juga tidak hadir sebagai pihak lain yang bergerak kearah konsensus, setelah proses ”aksi komunikatif” yang berlangsung hampir disetiap adegan. Ia selalu diluar, tidak ikut design demokrasi pinggiran – ”sebangsa Cikeas” – tempat perudingan para bangsawan negara, mengatur haluan demokrasi ini, tapi ia exist sebagai manusia biasa yang penghidupan hari-harinya, selalu menghina akal sehat bagi yang tidak normal – tapi sungguh mengagumkan.

Barter politik – jual beli kepentingan itulah hirarki kekuasaan bukan hirarki kebenaran bukan juga hirarki selera. Model sebuah pasar, tempat dimana semua orang didekat kita adalah pesaing, kapitalisme sedang bersandiwara diatas kemenangan, sosialisme dengan pelbagai variasinya – huruhara, jika ekonomi pasar telah berkhotbah maka kepentingan publikpun tidak lagi menjadi penting. Rakus adalah hal yang bagus, tamak adalah selera pasar paling mutakhir. Kepentingan, interest akhirnya jadi suatu kata terbesar untuk kepentingan pribadi – bukan sesuatu yang lumrah tapi sedang dirayakan dengan tiada ”ke-malu-an”. Oleh intelektual Marxis – ia sedang mengabdi partai dengan mendistorsikan pengalaman, dengan mengabaikan detail yang membuat rikuh, dengan sangat menyederhanakan data diatas semuanya, dengan mengkoseptualisasikan suatu kejadian bahkan sebelum ia mempelajarinya.

Demokratisasi politik berlangsung sehat dan dinamis jika jarak antara ”senayan dan istanah” mampu ditegaskan. Diharapkan muncul politisi murni yang tidak terkurung oleh kepentingan yang berkuasa, tapi kepentingan sesuai agenda yang mesti diselesaikan. Realitas politik kita belum menggambarkan demikian. Kenyataan politik, digambarkan sebagai pertarungan kekuatan dan kepentingan. Secara empirik, politik dibangun bukan dari etika politik yang meliputi norma-norma moral yang sangat menentukan sikap dan tindakan para aktor dalam suatu masyarakat politik, tapi lebih sering diwarnai kepentingan individu, keterwakilan partai, yang berkuasa dan jangka pendek, artinya mengamini segala sesuatu ”negatif” – Skandal Century sebagai misal dari berbagai bentuk kejahatan – bukan pelanggaran. Kecendrungan ini, memposisikan ”lembaga senayan” ketitik yang lemah – deviasi. Kita sedang bergerak menuju warga suatu sejarah, mau tidak mau harus mencerminkan suatu sikap yang teguh – menghindari kekerasan idealistik atas fakta-fakta yang ada.

Jangan membiarkan rakyat dalam kesendirian berbeda dengan rakyat dalam kesunyian – sebuah afirmasi bagi akal instrumental, yang pada akhirnya cendrung mencurahkan segala-galanya dengan menggunakan mekanisme sendiri.

Karena pula atas nama Revolusi, yang mutlak, hal itu adalah niscaya. Revolusi memang memerlukan pemutlakan diri, menyedot semua yang ada dibawah dan sekitarnya, tapi disitulah cacatnya. Tapi perlu diingat bahwa sifat khas Revolusi adalah ”meyakini dirinya mutlak, dan justru karena keyakinan itu ia menjadi tidak mutlak”. Kontradiksi yang inheren tersebut memacu kita untuk melahirkan proses reifikasi untuk berkembang sebagai ideologi sebagai bagian penting dari sistem kekuasan dengan melingkar diri bukan hanya sekedar bertopeng ideologi yang menawarkan kepada manusia ilusi tentang identitas dan moralitas – tapi fakta kejujuran yang berkata tidak.

Etika Politik

Pada perspektif relasi rakyat, partai politik dan legislatif maka etika politik yang didalam ada norma-norma moral yang mengatur sikap maupun tindakan para aktor yang tercermin dalam lembaga, menjadi agenda utama. Artinya, adanya relasi ini untuk menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir hanya sekedar etika individual; perilaku individu didalam lembaga. Didalam etika politik sosial, untuk dapat mewujudkan pandangan dibutuhkan persetujuan dari mayoritas rakyat yang diwakili karena menyangkut tindakan kolektif. Hubungan antara pandangan seseorang dengan tindakan kolektif berjalan secara tidak langsung, maka dibutuhkan perantara. Perantara ini berfungsi menjembatani pandangan pribadi (legislator) dengan tindakan kolektif. Perantara ini dari dari simbol-simbol atau nilai-nilai yang hidup ditengah masyarakat; simbol agama, nilai-nilai keadilan, demokrasi maupun kesetaraan.

Nilai-nilai ini akan membawa kepada kesepakatan untuk bertindak bersama bagi tujuan-tujuan kepentingan umum. Bukan sebaliknya, kepentingan individu dipaksakan menjadi kesepakatan kolektif, motivasi dan tujuan bukan untuk tujuan kolektif, ini etika politik yang terkandung norma-norma moral para aktor tidak tercermin di dalam. Olehnya itu etika politik sebagai unsur rasionalitas dari tindakan ini sangat ditentukan oleh ideologi perubahan yang berperan dalam menentukan pilihan-pilihan tindakan para aktor. Artinya, ideologi ikut menentukan aktor dalam membuat kesepakatan, keputusan sesuai fungsinya. Dimensi moral berhadapan dengan struktur-struktur yang ada terletak didalam pilihan-pilihan kita untuk menjawab realitas sosial, politik dan ekonomi bangsa.

Konteks etika politik ini dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku para aktor. Politisi yang baik adalah jujur, santun, punya integritas, menghargai orang lain dan memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum. Jadi aktor politik yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral. Politik difahami sebagai seni yang terkandung kesantunan. Kesantunan politik diukur dari keutamaan moral. Filsuf seperti Socrates dikenal sebagai model yang jujur dan punya integritas. ”Jikalau para aktor politik kita itu jujur, maka daerah dan bangsa ini akan makmur”. Pernyataan hipotesis ini memang jauh dari kenyataan tapi dari sudut koherensi sahih adanya.

Tulisan ini, sekadar gugatan moral, ditengah hiruk pikuk penyelesaian Skandal Century di senayan. Agar para aktor bukan sekedar melegitimasi diri sebagai seorang ”kapitalisasi kebangsaan” tapi jauh lebih penting adalah berperan sebagai bahan bakar dinamika politik - mensejahterakan bangsa dan negara - sebagai tujuan, partai hanya sekedar alat tapi bukan tujuan, itulah sistem. Mari kita berhenti menjadi Utopia dan menemukan diri dalam suatu Heteropia, dan jangan seperti kata-kata yang terlukis ini : ”I am a bird, look at my wings; I am a mouse long live the rats”!#

Tulisan ini, catatan lepas, tahun 2010, di Jakarta).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar