Jumat, 28 September 2012

Indonesia Ideal: Perlu Penguatan Akar Kebangsaan



Oleh Akhmad Bumi
------------------------

“Dibutuhkan dalam menyelesaikan problem bangsa yang carut-marut ini adalah perlu adanya komitmen kebangsaan yang dibangun dan dijaga secara konsekwen dan konsisten. Susun ulang barisan diantara orang-orang yang faham, kekuatan itu akan datang dengan sendirinya. Mari bangun kehormatan dan martabat bangsa dengan kejujuran!”.

***

Undang-undang Pemilu yang baru sudah ditetapakan DPR (12 April), pro-kontra mewarnai penetapan Undang-undang tersebut. Pengalaman sejarah, eksistensi sebuah Undang-undang sangat ditentukan, dipengaruhi oleh faktor subyektifitas pembuat Undang-undang berdasar kepentingan. Jika kita membongkar undang-undang yang baru saja ditetapkan, secara substansinya tidak jauh berbeda dengan yang sebelumnya, pemerintahan kita masih pemerintahan partai, dan lebih dari itu kedaulatan negarapun adalah kedaulatan partai. Oleh karena itu, format ideal bangsa ini tidak atau belum tercermin dalam Undang-undang yang salah satunya (Undang-undang Pemilu) yang baru-baru ditetapkan.

Tapi, oleh karena Undang-undang sudah ditetapkan maka mau tidak mau, suka tidak suka---seluruh warga bangsa harus mengikuti, beradabtasi, dan KPU selaku penyelenggara Pemilu perlu menyiapkan penjabaran melalui Peraturan KPU atas pelaksanaan Undang-undang tersebut, agar tidak bias seperti yang sebelumnya.

________________

Dulu, diera Orde Baru, Soeharto terasa sangat absolut karena dilegitimasi Undang-undang dan konstitusi negara secara formal. Demikian hal yang sama terjadi sebelumnya dalam paruh kedua kekuasaan rezim Soekarno (1959-1966). Oleh karena itu, absolutnnya Soeharto, atau lembaga kepresidenan waktu itu tidak terlepas dari kelemahan Undang-undang yang mengatur tentang sistem pemilihan Presiden secara bertahap melalui lembaga MPR. Dengan memanfaatkan kelemahan itu, Soeharto dapat dipilih berulang-ulang dan berkuasa kurang lebih 32 tahun, tujuh periode.

Selama 32 tahun Soeharto menjadi presiden, MPR selalu memilihnya dan menerima pertanggungjawaban Soeharo, sekalipun rakyat memiliki penilaian lain. Hal itu karena MPR oleh pasal 1 (2) UUD 1945 mengatakan kedaulatan ada ditangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya oleh MPR. Dengan kata “sepenuhnya” itu, maka rakyat pada hakekatnya tidak lagi berdaulat. Dilain sisi, dengan kata “sepenuhnya” justru itulah yang menjadi pegangan Soeharto. Dari sinilah sumber Soeharto merekayasa segalanya termasuk Undang-undang, dan seolah-olah keputusan-keputusan tersebut telah sesuai dengan kemauan rakyat. Oleh sebab itu, Soeharto berusaha “memegang kendali” atas MPR sepenuhnya.

Kekuasaan membuat Undang-undang ada ditangan Presiden melalui pasal 5 (1) UUD 1945, DPR hanya sekedar memberikan persetujuan, oleh karena disepanjang perjalanan Orde Baru rancangan Undang-undang semuanya datang dari presiden. Yang menjadi langganan tetap DPR setiap tahun adalah membahas dan memberikan persetujuan terhadap UU tentang APBN induk, APBNP (perubahan) dan tentang perhitungan APBN akhir, hal ini oleh karena dalam sistem, presiden adalah pemegang kekuasaan pembuat Undang-undang bersama DPR.

Titik krusial dalam rumusan rancangan RAPBN sepihak oleh pemerintah dalam sistem yang dibuat Soeharto ini juga menunjukan ketiadaan kedaulatan rakyat. Hanya dinegara fasislah APBN semata-mata dirumuskan sepihak oleh pemerintah. Dalam negara demokrasi, APBN mulai dari perumusan (draff) RAPBN, DPR atas nama perwakilan rakyat sudah harus dilibatkan, bukan hanya membahas sodoran draff RAPBN dan menyetujuinya, atau DPR hanya menunggu dipersimpangan jalan. Apa yang dilakukan pemerintah sejak Orde Baru hingga sekarang pada hakekatnya adalah show of force dari dominasi pemerintah terhadap DPR. Betapa caranya rakyat sebagai bangsa akan hidup dan darimana didapatnya belanja buat hidup, harus diketahui oleh rakyat itu sendiri (DPR).

Lanjut, kemudian dipasal 2 (1) mengatakan MPR ditetapkan dengan Undang-undang, maka Soeharto menyusun MPR dengan cara mengangkat 60% anggota MPR untuk kepentingannya sendiri, yaitu ada fraksi ABRI, Utusan daerah dan Utusan Golongan melalui Undang-undang, maka lahirlah Undang-undang Kepartaian, UU Pemilu, UU tentang Susunan dan kedudukan DPR/MPR sesuai dengan selera Soeharto.

Semua itu untuk menghasilkan Pemilu yang akan dimenangkan oleh partai pendukungnya, yakni Golkar (masa itu). Karena pasal 5 (1) yang memberi kewenangan presiden sebagai pemegang kekuasaan pembuat Undang-undang, sehingga hampir rancangan yang diusulkan pemerintah tidak pernah dirubah satu pasal, satu ayatpun oleh DPR. DPR hanya membuat persetujuan secara politik. Kemudian Soeharto menciptakan pengertian bahwa presiden adalah “mandataris” MPR, olehnya presidenlah penjelamaan dari kedaulatan rakyat (mengorbitkan kedaulatan rakyat yang terbalik).

Demikian pula di pasal 24 dan 25, mengatur tentang pengangkatan hakim dan kekuasaan kehakiman itu berada dibawah kekuasaan presiden. Maka genaplah diera Orde baru, mulai eksekutif, legislatif dan yudikatif berada dibawah kendali penuh presiden.

Selain itu, dibangunlah ABRI menjadi kekuatan politik untuk mendukung rezim Orde Baru, karena presiden sesuai pasal 10 UUD 1945 selaku pemegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, laut dan udara. Politik Soeharto itu agar ikut memudahkan dia dengan mengikutsertakan ABRI  dalam politik penyelenggaraan negara untuk mendukung kekuasannya. Padahal pasal tersebut, hanya berlaku jika negara dalam keadaan perang. Sedang dalam keadaan damai, presiden cukup menyampaikan aspirasi militer (ABRI) kepada wakil rakyat.

Demikian pula Soeharto merekayasa melalui pasal 6 (2) yang mengartikan pemilihan oleh MPR berdasarkan suara terbanyak, suara terbanyak diwakili fraksi-fraksi (fraksisme). Anggota DPR dilarang bersuara lain dari apa yang sudah diputuskan fraksi. Dan jumlah fraksi yang dominan dan berpihak kepada Soeharto itulah yang harus diikuti oleh fraksi-fraksi lain, sehingga terbangun suara aklamasi, sehingga waktu itu tidak ada suara yang terpecah (bulat), dan dengan itu calon presiden harus bulat dan tunggal.

Dengan berbagai alasan-alasan rasional itu, maka Soeharto ditahun 1998 dipaksa mundur, digulingkan oleh Mahasiswa Indonesia (akumulasi dari seluruh persoalan bangsa), karena dianggap merusak tatanan bangsa Indonesia secara permanen. Padahal jika disimak dengan teliti, maka sistem politik Indonesia yang dibangun Soeharto diera Orde baru adalah kemiripin dengan majelis rakyat komunis yang berlaku dinegara-negara bekas komunis fasis, seperti di Jerman dan Jerman Timur. Walau Jerman Timur itu sudah runtuh tapi sejarah politik dapat disimak.

Karena di Jerman Timur, meskipun menjalankan praktek negara komunis dengan menggunakan label negara demokrasi karena ada beberapa partai yang didesign menjadi penguasa yang disebut majelis rakyat (MPR) tapi rakyat dibuat tidak berdaulat. Yang berdaulat adalah das werktaetige volk, kalau diterjemahkan adalah “rakyat golongan karya” ya sebut saja Golkar Orde Baru di Jerman Timur yang direkayasa untuk berkuasa melalui sistem politik yang terpusat.

Dengan carut marut sejarah perjalanan politik Orde Baru dengan menjadikan seorang presiden mempunyai kekuasaan absolut itu menjadi contoh buruk, karena kebiasaan buruk itu diberikan peluang oleh konstitusi dan UU, maka perlu ada konstruki ulang terutama menyangkut batasan-batasan, kewenangan, hubungan antar lembaga mulai dari lembaga Presiden, MPR, DPR, kekuasaan kehakiman, TNI, Polri dan lembaga negara lainnya dengan satu perspektif ideal untuk masa depan Indonesia (cita Indonesia).

Ideal, kita berharap---seorang presiden disaat ia terpilih dan telah mengucapkan sumpah / janji sebagai presiden RI idealnya hubungan atau loyalitas presiden dengan partainya sudah harus diakhiri, loyalitas bisa muncul kembali jika presiden tersebut akan mencalonkan diri kembali untuk berikutnya atau terakhir kali lewat partainya.

Hal ini untuk menghindari presiden sebagai pelindung partai, kelompok atau golongan tertentu, tapi presiden yang terpilih dan telah mengambil sumpah tersebut adalah presiden seluruh rakyat Indonesia, bukan presiden partai Golkar, bukan presiden partai Demokrat, bukan presiden partai PDIP, bukan presiden partai Hanura dll. Hal ini sekaligus untuk menghindari penyalahgunaan wewenang, korupsi, keberpihakan, perlindungan dst.

Demikian juga fraksi-fraksi di DPR yang merupakan perpanjangan tangan partai politik tidak perlu ada, ditiadakan, dihapus. Disaat seseorang dilantik, diambil sumpah sebagai anggota DPR maka seseorang itu adalah wakil rakyat, bukan lagi menjadi wakil partai. Fraksi-fraksi yang ada saat ini adalah model turunan sistem yang diciptakan Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya waktu itu, lagi pula eksistensi fraksi tidak dihapus maka sama dengan kita menguburkan demokrasi secara politik, sebagai wakil rakyat model loyalitasnya adalah kepada Undang-undang, kepada rakyat, apalagi diberlakukan sistem recall oleh partai/fraksi sebagai alat pembunuh wakil rakyat yang kritis (anggota-anggotanya). Karena dalam Undang-undang anggota DPR selain adalah wakil rakyat juga adalah wakil partai. Dengan demikian partai bisa dipaksa oleh kekuatan pemerintah untuk mere-call anggotanya yang suka melawan pemerintah. Atau pemerintah lewat Departemen Hukum dan HAM dapat memproses eksistensi partai yang bersangkutan.

Olehnya Undang-undang politik dan Pemilu harus dibuat dengan semangat  keindonesiaan masa depan, bukan dibuat dengan tergesa-gesa karena kepentingan jangka pendek pembuat Undang-undang dan kepentingan orang yang berkuasa, tapi Undang-undang yang dibuat adalah untuk martabatnya Indonesia dimasa depan dengan memperhatikan gagasan, filosofis, sosiologis dan yuridis sebagaimana kelaziman melahirkan sebuah Undang-undang.

Selain lembaga kepresidenan, kelembagaan politik MPR, DPR juga perlu direkonstruksi soal struktur dan fungsinya kembali. Rancangan Undang-undang diberikan kepada lembaga profesional yang diatur Peraturan Pemerintah, pengaturan lembaga kemasyarakatan dan imigrasi cukup badan semi pemerintah atau swasta yang mengelolahnya yang diatur dengan Undang-undang, tidak perlu diatur oleh sebuah departemen, menteri apalagi ada wakil menteri di departemen Hukum dan HAM, hampir tidak ada urgensinya sama sekali.

Demikian pula presiden dalam menjalankan hak prerogatifnya juga perlu diatur, agar dalam menjalankannya, presiden harus berkonsultasi dengan lembaga tinggi negara lain, semisal pengangkatan duta besar perlu meminta persetujuan pimpinan MPR, hak pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus dikonsultasikan dengan Mahkamah Agung (MA) dll.

Demikian pula masalah pemberian grasi dan rehabilitasi. Khusus untuk masalah rehabilitasi, sejauh ini belum ada badan yang bersungguh-sungguh menangani masalah rehabilitasi ini. Jika presiden memberikan rehabilitasi, maka dalam pelaksanaannya seharusnya dilaksanakan oleh Mahkamah Agung, yaitu lewat lembaga peradilan. Didalam KUHAP hanya disebutkan bahwa keputusan hakim menyangkut soal rehabilitasi, yaitu untuk kasus-kasus yang diputus bebas.

Oleh karena itu prinsip trias politica seharusnya diterapkan dengan sebaik-baiknya, dengan menjunjung tinggi kemandirian kekuasaan negara. Dengan demikian, hukum bisa ditegakkan dan berlaku adil dan sama bagi semua warga negara. Presiden dan anggota kabinetnya bisa diperiksa, diseret ke pengadilan. Kesalahan seseorang tetap melekat sepanjang dia belum diproses pada masa lalu sewaktu ia masih berkuasa. Hal ini berlaku bagi siapa saja termasuk presiden dan wakil presiden bisa diseret penjara melalui lembaga peradilan.

Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, KPK, Mahkamah Agung, Gubernur Bank Indonesia yang dikehendaki adalah menjadi lembaga yang mandiri, dapat diusulkn oleh presiden tapi harus mendapat persetujuan MPR (konstruksi kembali kelembagaan MPR). Mereka mempunyai kedudukan yang kuat dan independen diruang lingkup pekerjaannya. Jadi baik presiden, wakil presiden, menteri-menteri kabinet atau siapa saja tidak boleh melakukan intervensi dalam bentuk apapun, yang berhak melakukan intervensi adalah Undang-undang itu sendiri. Artinya kedudukan mereka setaraf menteri-menteri, tetapi independen dari kekuasaan presiden.

Bagaimana kalau presiden atau wakil presiden melakukan kesalahan secara nyata, melanggar konstitusi? Maka MPR harus meminta pertanggungjawaban presiden melalui lembaga impeacment yang dibentuk untuk menyelidiki indikasi pelanggaran presiden, jika terbukti presiden melakukan kesalahan maka bisa dipaksa mundur, atau menghadapi pengadilan Mahkamah Agung. Meskipun konstitusi negara sudah mengatur hak dan kewajiban presiden/wakil presiden tapi perlu ada ketentuan yang lebih luas dalam konstitusi negara antara lain tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan presiden, misalnya seorang presiden melakukan intervensi terhadap Gubernur Bank Indonesia, KPK, presiden membuat pernyataan sebagai sumber lahirnya konflik, presiden membuat kebijakan yang menyeret rakyat kearah penderitaan. Jika lembaga impeacment tidak diatur dalam Undang-undang, maka bisa dimasukan dalam Undang-undang tentang kepresidenan.

Demikian pula menteri kabinet perlu diatur, terutama pembatasan-pembatasan terutama kepada departemen yang penting dan krusial melalui Undang-undang. Mentri-mentri kordinator yang berlaku di era Soeharto tidak tepat lagi untuk dipertahankan. Lembaga-lembaga non departemen bisa dibentuk untuk membantu kelengkapan kabinet. Misalnya, apa Departemen Dalam Negeri masih dibutuhkan? Dapat dikaji secara mendalam, kita tidak butuh lagi pembina politik, produk aturan-aturan oleh Depdagri yang memasung otonomi daerah (daerah otononm), cukup ada Gubernur di propinsi, Departemen hukum dan HAM tidak diperlukan, dan beberapa departemen lain yang sepatutnya eksistensinya dikaji kembali, karena hanya membuat kekuasaan negara ini secara sentralistik model Orde Baru. Olehnya hak prerogatif presiden termasuk dalam membentuk departemen, mengangkat menteri-menteri negara perlu dirumuskan kembali, diatur Undang-undang, atau paradigama dan sistemnya perlu diluruskan.

Karena, presiden begitu membentuk banyak departemen, gonta-ganti menteri yang hanya membuat kegaduhan politik, karena presiden dalam memiliki hak prerogatif dalam sistem, ditambah lagi penambahan wakil menteri, struktur model ini perlu reorentasi pemikiran dan perlu diatur dengan tegas dalam Undang-undang, agar presiden tidak semau dia, karena atas kekuasaanya dapat berbuat apa saja. Karena ini soal sistem, maka sistem ini perlu dipikirkan, dibongkar kembali, kemudian digodok menjadi sistem kita.

Oleh karena itu, konstruksi bangunan politik Indonesia, semua pihak (ahli, cendikiawan, akademisi, profesional) perlu mendapat ruang untuk memikirkan menyangkut sistem ideal politik Indonesia. MPR yang seharusnya mengakseptasi kedaulatan rakyat misalnya memiliki kedudukan yang lemah bahkan menjadi tangan kedua dari DPR. Padahal MPR adalah penjelmaan dari kedaulatan rakyat. Pada berbagai celah ini semua, kekuasaan eksekutif mencengkramkan kuku kekuasaan dan menguasai hampir diseluru lini lembaga-lembaga negara baik legislatif maupun yudikatif, dan presiden hampir melaksanakan dengan seleranya sendiri-sendiri dengan memproduk sistem melalui Undang-undang, Undang-undang itu kemudian dipaksakan DPR untuk menyetujuinya. Sekedar catatan lepas.#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar